Jeon Jungkook
Tidak mungkin Sifra masih perawan.
Itu tidak mungkin.
Wanita itu adalah senior di perguruan tinggi dan sangat cantik. Dia memiliki banyak sekali mantan kekasih sejak SMA. Mungkin dia tidak melepas keperawanannya pada usia enam belas seperti aku, tetapi aku berpikir bahwa dia mungkin akan melepas keperawanannya pada salah satu mantan kekasihnya itu.
Iya, kan?
Aku dan Sifra sudah bersahabat selama tujuh tahun. Tidakkah seharusnya aku tahu kalau dia masih perawan? Bukankah seharusnya dia bercerita perihal itu padaku?
Tapi dia tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun.
Memang, sih, kami tidak pernah untuk duduk berdua lalu bertukar cerita tentang kehidupan seks dalam hidup kami. Sebenarnya, seks adalah satu-satunya subjek yang tidak kami diskusikan. Bahkan aku saja tidak mau mendengar cerita bagaimana pria lain menyentuhnya atau menciumnya dan aku juga yakin Sifra tidak ingin mendengar kehidupan seks-ku.
Aku fokus pada ruang yang baru saja Sifra tinggali, sebelum akhirnya menggelengkan kepala untuk menjernihkannya. Lalu aku bersumpah akan melemparkan pukulan ke arah Taeyong. Sejumlah darah yang menyembur dari hidungnya dan menetes ke baju polo merah mudanya.
Dia benar-benar brengsek karena menyakiti Sifra seperti ini—dengan hal yang memalukan seperti ini.
Alih-alih bertahan dan memukulnya sampai babak belur, aku memutuskan untuk menemukan Sifra dan memastikan dia baik-baik saja. Taeyong tidak akan mungkin melakukannya. Dia terlalu sibuk mengeluh tentang hidungnya yang baru saja kupukul. Dia tidak peduli tentang Sifra. Mungkin memang tidak pernah peduli. Dia menginginkan satu hal dari Sifra, yaitu keperawanannya dan aku senang Sifra tidak memberikan keperawanannya pada Taeyong.
Sial, tapi aku ingin untuk memukulnya lagi. Terakhir, satu pukulan lagi, sebelum aku benar-benar meninggalkannya.
“Brengsek, hei—” keluh Taeyong, terdengar sengau saat dia memegang hidungnya dengan kedua tangan. Namun itu tidak menghentikan darah untuk tetap menetes dari hidungnya. “Kenapa kau masih memukulku begini, sih?”
“Persetan!” aku menggeram. “Aku akan dengan senang hati memukulmu sampai wajahmu babak belur, but you're not worth it for my punch.”
Aku menyeka tanganku yang terkena darah dari hidung Taeyong, lalu aku keluar dan menatap ke arah kerumunan yang berkumpul dan mencoba mencari tahu apa yang baru saja terjadi. Orang-orang mengambil foto dengan ponsel mereka, bahkan merekam kejadian ini. Pada pagi hari, mereka akan diplester di seluruh Instagram dan Snapchat.
Aku lega karena Sifra sudah pergi dan tidak ada untuk melihat ini.
“Jadi, tentang blowjob nya,” cibir wanita blonde yang mabuk dan masih duduk di tempat tidur.
Mengabaikannya, aku mengambil langkah mengancam ke arah Taeyong dan menunjuk ke dadanya. Dia menegang tetapi tidak mundur.
“Menjauhlah dari Sifra. Dia tidak ingin ada hubungan apapun lagi denganmu. Kau mengerti?”
Taeyong mencibir melalui darah yang menetes ke wajahnya. “Ini persis apa yang kau inginkan, bukan, Jeon? Sudah berapa lama kau menunggu untuk mendapatkan keperawanan Sifra? Sekarang, kau sudah bebas mendekatinya. Mudah untuk mendapat peluang sekarang, bukan?”
Aku mendorongnya mundur selangkah. “Fuck you, cunt!”
Taeyong memutar bola matanya. “Terserahlah, aku tidak peduli.”
Aku memberinya satu dorongan terakhir sebelum berjalan keluar dari ruangan dan menjauhi kerumunan melalui lorong sempit dan menuruni tangga. Kabar bahwa perkelahianku dentan Taeyong telah pecah dan menyebar di pesta seperti api. Semua orang bergerak secara massal seperti kawanan ternak dan pergi ke lantai dua untuk melihat secara langsung.
Begitu aku mencapai tangga, aku berhenti sejenak untuk mencari Sifra. Sial. Perasaan panik mulai menyelimutiku ketika aku tidak menemukannya. Seharusnya aku segera pergi bersamanya, bukannya terus memukul Taeyong. Sekarang, di mana Sifra? Astaga.
“Fuck!” Aku keluar dan pergi dari frat house, lalu aku berjalan untuk mencari Sifra. Jika aku tahu Sifra—dan, ya, aku tahu—dia ingin membuat jarak antara dirinya dan pesta ini sejauh mungkin. Aku tentu tidak bisa menyalahkannya untuk itu. Aku hanya berharap dia tidak akan pergi tanpa diriku. Dia seharusnya tidak berjalan sendirian pada pukul sebelas di malam Jumat. London University adalah kampus yang cukup aman, tetapi banyak insiden yang terjadi.
Segera setelah aku berjalan tak cukup jauh, aku memindai jalan dan menghela napas ketika pada akhirnya aku melihat seseorang yang kukenal—dia melangkah ke arah gedung apartemennya.
Thank fuck!
Butuh waktu kurang dari satu menit bagiku untuk menyusulnya. Bahkan dalam kegelapan, wajahnya memanas dan bibirnya membentuk garis yang suram. Tidak ada air mata yang terlihat di wajahnya, namun itu cukup melegakan. Jika ada satu hal yang aku tidak suka darinya, well, aku tidak suka jika Sifra menangis. Tangisannya membuatku merasa tidak berdaya, dan aku selalu merasa bersalah. Aku merasa tidak berguna di hadapannya sekarang, bahkan aku tidak tahu bagaimana membuat situasi ini menjadi lebih baik.
Dengan high heels hitamnya yang digenggamnya, dia mengabaikanku ketika aku menyusulnya untuk berjalan di sampingnya dan memperlambat langkahku. Sekarang setelah aku menemukannya, pikiranku semua menjadi kosong. Apa yang harus kukatakan?
Keheningan canggung menghampiri kami dan aku berdeham untuk mengusirnya. “Berapa kali aku harus bilang, kau tidak boleh berjalan sendirian di malam hari?” aku berhenti sebelum menambahkan, "kau tahu, ini berbahaya. Kalau ada sesuatu terjadi padamu, bagaimana?”
Sifra hanya mendengus tetapi tidak memberhentikan langkahnya. Justru, dia mempercepat langkahnya seolah mencoba melepaskanku dan menghindadiku—tapi, itu tidak akan terjadi. Sifra itu hampir satu kaki lebih pendek dariku dan jelas saja bahwa kakiku lebih panjang darinya, dan aku bisa menyusulnya dalam hitungan detik. Bukan bermaksud sombong, tapi memang kakiku panjang.
Suara napasnya memenuhi telingaku. Terasa berat dan penuh beban. Aku tahu Sifra baru saja menjalani hal terberat dalam hidupnya. Mantan kekasihnya itu benar-benar berengsek.
Aku memerintahkan otakku untuk bekerja lebih keras, mencari jalan keluar untuk membahas seluruh percakapan mengenai kejadian tadi, tetapi pikiranku tetap kosong. Kami itu sahabat dekat. Aku dan Sifra selalu berbicara mengenai semua hal. Ini seharusnya tidak sulit. Namun, aku lidahku tetap kelu. Entah apa yang harus kukatakan padanya.
Mungkin ini bukan urusanku, tapi aku harus tahu.
“Sifra, apakah itu benar?” aku terdiam sesaat napasnya tersentak. Walau terdengar kecil, tetapi dalam keheningan seperti ini yang menyelimuti kami, napasnya terdengar dua kali lebih kencang. “Apakah yang dikatakan Taeyong itu benar? Kau masih perawan?”

KAMU SEDANG MEMBACA
FRIEND ZONE
FanficMenyukai, mencintai bahkan menyayangi sahabat sendiri itu memang hal tersulit yang sudah dijalani Jeon Jungkook selama tujuh tahun. Keinginan terbesarnya adalah menjadikan Sifra sebagai miliknya. Akankah dia berhasil? STARTED: March 25th, 2020. FINI...