Jeon Jungkook
Aku mengambil botol bir di tanganku, lalu menenggak isinya sembari mataku berkelana menatap seluruh orang yang hadir di pesta tahun semester baru. Ini bahkan baru pukul 10 malam, dan semua orang sudah tergeletak di lantai, di sofa, dan di mana-mana karena mereka terlalu mabuk. Jangan tanyakan keadaan di dalam ruang kamar frat house ini. Tentu banyak yang sedang melakukan seks atau sekadar one night stand dalam pengaruh alkohol.
Untuk malam ini, kurasa penisku baik-baik saja. Aku ingin menghabiskan waktu dengan Sifra. Seks bisa kudapatkan kapan saja jika aku mau. Dan sekarang, aku harus menunggu Sifra. Abigail bilang, dia tengah bersiap-bersiap.
Bersiap-siap untuk apa?
Karena setahuku, Sifra itu bukan tipikal wanita yang menghabiskan jutaan waktu untuk memilih pakaian atau berdandan berlebihan. Dia itu wanita yang biasa-biasa saja, tidak pernah menunjukkan bahwa dia cantik. Walau kalau boleh jujur, dia itu kelewat cantik dan itu yang membuatku suka padanya. She’s down to earth. Tidak pernah menyombongkan dirinya sama sekali.
Terkadang, penampilannya memang aneh. Tapi dia tetap cantik. Dia tidak seperti Abigail yang terlalu hype dalam berpakaian. Melihat Sifra dengan gayanya yang natural, itu lebih bagus dan aku lebih suka dibandingkan jika dia mencoba bergaya mengikuti trend fashion yang tidak pernah dilakukannya sebelumnya.
Aku muak, terkadang. Melihat para wanita berdandan dan berpakaian berlebihan dan menganggap bahwa diri mereka cantik. Maksudku, oke, mereka semua memang cantik. Tapi bagiku, yang paling cantik hanyalah Sifra.
Bodoh ya aku, jatuh cinta pada sahabatku sendiri. Kalau dipikir-pikir, what’s there to not like the girl? Dia baik, cantik, lumayan pintar, natural—banyak yang suka padanya, dan itu membuatku sebal. Rasanya, aku ingin memukul semua pria yang menatapnya hingga gigi mereka patah.
Ah, sudahlah. Aku harus berhenti memikirkan Sifra.
Aku kembali menenggak bir-ku, lalu ada satu teman dari tim hockey-ku, Namjoon, yang menghampiriku dan mengatakan, “Jesus, lihatlah, Jungkook, bukankah itu temanmu? Yang bersama dengan Abigail.”
Aku mengikuti arah telunjuk Namjoon dan—the fuck! Apa-apaan ini? Kenapa dia bisa terlihat menjadi begitu seksi, huh? Ini pasti ulah Abigail. Dia yang mengubah Sifra menjadi seperti ini. Aku tidak membenci Abigail karena menjadikan Sifra beribu-ribu kali lipat lebih cantik dengan gaun seksi yang dipakainya itu. Tapi jelas, aku benci Abigail karena menjadikan Sifra lebih cantik dan seksi untuk datang ke frat house party ini, di mana banyak pria yang menatapnya.
Astaga, Jesus—lihatlah itu, buah dadanya nampak, kaki indahnya juga terpampang. Semua pria menatap ke arahnya layaknya mereka baru saja mendapatkan mangsa yang lezat. Ini tidak bisa dibiarkan.
Kalau aku pakai hoodie atau setidaknya jaket, aku akan memakaikannya pada Sifra untuk menutupi tubuhnya itu. Aku menutup wajahku dengan tanganku. Astaga, Tuhan, kenapa Sifra harus datang dengan berpakaian seperti itu, sih? Hormonku! Shit!
“Bloody hell!” Jung Hoseok, teman tim hockey-ku yang lainnya, ikut menatap Sifra dan dia memuji wanita itu. “Kau tidak keberatan jika aku bermain-main dengannya sebentar, kan? Gila, seksi sekali dia.”
Sebelum aku bisa memukul wajah Hoseok karena berbicara begitu, Namjoon sudah menimpali terlebih dahulu. “Yup. Mungkin kita bisa bagi dua untuk malam ini. Threesome? Kedengarannya menarik. Dan lihatlah itu, bokongnya! Oh, fuck. Bokongnya itu sangat cocok untuk ditampar.”
Hoseok tertawa. “Haha, yup, spanking.”
Mereka berdua bajingan. Aku menatap tajam ke arah mereka. Mereka tahu sekali untuk membuatku kesal dengan membicarakan Sifra seperti itu. Dan mereka sepertinya puas, karena bisa kulihat dari raut wajah mereka. Aku sudah masuk ke dalam jebakan.
“Fuck off.” Ujarku. “Jika kalian berani menyentuhnya, bahkan hanya sehelai rambutnya, aku akan memasukkan kalian ke dalam kolam berisi buaya dan menjadikan kalian santapan.” Dan aku tidak bercanda. Di dekat kampus, ada karantina buaya. “Oh, dan kalian jangan bermimpi. Sifra sudah punya kekasih.”
Namjoon memutar bola matanya. “Aku tahu Sifra punya kekasih, dan kekasihnya bukan kau. Jadi, kenapa kau harus marah begitu?”
Aku menggeram erat botol bir-ku. Sepertinya dia ingin kehilangan giginya. Aku akan dengan senang hati memukul wajahnya dengan botol bir-ku.
“Lagipula, bukan rambutnya yang ingin kusentuh. Hm, dadanya boleh.” Tambah Hoseok, dan kesabaranku hampir habis.
Baru saja aku ingin memukul mereka berdua, tiba-tiba Park Jimin datang dan ia menghentikanku. “Hei, sudahlah. Jangan diambil serius. Kau tahu sendiri kalau Namjoon dan Hoseok suka sekali menggodamu tentang Sifra. Dia satu-satunya yang bisa membuatmu berubah total menjadi pemarah.”
Aku mengendikan bahuku. Perlahan-lahan, amarahku mereka. Jimin benar. Biasanya, aku ini selalu santai. Aku tipikal pria yang tidak pernah peduli pada apapun. Kecuali jika ada teman satu tim-ku yang membicarakan hal tidak baik tentang Sifra.
Atau jika tim hockey-ku kalah, aku bisa berubah menjadi monster. Sialan, aku benci itu.
Garis kompetitifku adalah satu mil. Ini adalah dorongan internalku untuk sukses yang membuatku terpaksa harus bangun dari tempat tidur pada pukul lima pagi untuk pergi ke gym dan dilanjut dengan latihan pertama sebelum akhirnya memasuki kelas pagi kuliah. Aku menghabiskan waktuku di lapangan es, berlatih hockey, hingga berjam-jam. Memakan waktu, memang. Tapi itu sebuah keharusan. Dan saat aku kembali dari berlatih hockey, aku harus mengerjakan tugasku. Jadi, tidak pernah ada kata main-main dalam hidupku.
Hockey adalah hidupku.
Dan aku akan mengutuk diriku sendiri jika aku tidak bekerja keras untuk membuat tim kami bertanding hingga ke NHL. Setelah Papa pergi, hanya tersisa aku dan Mama. Hockey itu aktifitas yang mahal. Mama telah berkorban banyak sehingga aku bisa bermain olahraga yang sangat kusukai. Jadi, aku harus bersungguh-sungguh untuk mencapai mimpiku.
Aku dan Sifra memiliki kesamaan.
Kami berdua tidak berasal dari keluarga yang memiliki banyak uang. Kami menghadiri sebuah sekolah menengah yang berisikan anak-anak kaya yang diberi mobil begitu mereka berusia enam belas tahun dan tidak perlu berebut beasiswa untuk menghadiri kuliah. Aku tidak akan berada di London tanpa beasiswa atletik. Dan Sifra bekerja sekitar dua puluh jam seminggu di kafe untuk membantu meringankan beban orang tuanya. Tak satu pun dari kami yang bisa seenaknya hidup dengan menghambur-hamburkan uang. Kami selalu bekerja untuk itu. Seperti halnya aku yang suka berpesta dan bermain-main, tapi tetap prioritas pertamaku selalu hockey dan kuliah.
Dan Sifra.
Mataku tertarik pada wanita yang selalu mengisi pikiranku belakangan ini. Aku berharap aku bisa mengenyahkannya dari benakku.
Aku sangat benci bahwa dia terlihat sangat seksi. Apakah dia berpakaian seperti itu untuk kekasihnya, si Taeyong? Memikirkan mereka berdua akan pulang bersama, lalu mereka akan menghabiskan malam dengan bercinta—astaga, aku tidak bisa dan tidak mau membayangkan jika seandainya hal itu terjadi.
Aku bahkan tidak tahu sejak kapan perasaanku mulai berubah terhadap Sifra. Entahlah, mungkin saat tahun kedua kami di sekolah menengah?
Sifra adalah kekasih Taeyong dan dia juga sahabat terbaikku. Aku tidak mungkin menghancurkan hubungannya dengan Taeyong, karena pria itu telah membuat Sifra bahagia. Jika memang Sifra ingin bersamanya, baiklah, aku tidak masalah. Meski aku tidak suka, tapi aku juga tidak bisa melakukan apapun.
Aku harus mengambil botol bir lagi untuk menenangkanku. Kalau tidak, maka emosiku akan meluap lagi jika ada seseorang yang berani membicarakan Sifra.
Dan juga, aku harus berhenti menatap Sifra seakan-akan dia milikku.
Kenyataannya, dia bukan milikku. Dan aku harus ingat itu.
————
Aw, poor Jungkookie 😂Well, aku sepertinya akan update banyak di Friendzone, so, mungkin aku akan slow update di Half Night Stand. Sorry 😊
KAMU SEDANG MEMBACA
FRIEND ZONE
FanfictionMenyukai, mencintai bahkan menyayangi sahabat sendiri itu memang hal tersulit yang sudah dijalani Jeon Jungkook selama tujuh tahun. Keinginan terbesarnya adalah menjadikan Sifra sebagai miliknya. Akankah dia berhasil? STARTED: March 25th, 2020. FINI...