Aku membencimu. Tapi, aku juga merindukanmu.
👑"Mama, Ara mau es krim, ya?"
"Ya, ambil saja sayang."
Wanita paruh baya itu mengusap penuh kasih rambut anak perempuannya.
Sebelum berdiri di hadapan kasir, Audrey menatap wanita dan anak perempuan itu. Dia iri. Bersama kantong plastik berisi cemilan yang baru saja dibelinya, dia keluar dari mini market itu. Dia menghela napasnya. Tak ada bintang di langit, ditutupi gumpalan awan gelap.
Pelan saja, dia melangkah menuju rumahnya. Perlu menempuh sekitar satu kilometer. Seperti ada iringan lagu sedih, dia menghayati setiap langkahnya menuju rumahnya. Melihat orang lain bersama keluarga atau seseorang yang istimewa. Tak sama sepertinya, yang berjalan sendirian di tepi jalan raya seperti itu. Menyedihkan.
Dia merindukan ayah dan ibunya. Di dunia yang ramai itu, dia merasa sunyi. Tak ada keluarga yang berbagi kehangatan dengannya.
Antara rasa kesepian itu, tetiba dia juga teringat Clark. Dia membenci Clark. Tapi, apa salah kalau disaat bersamaan dia juga merindukan cowok itu? Tak bisa dielaknya bahwa senyum serta lesung pipit itu ingin segera dilihatnya.
Dia mendongak ke langit kala beberapa tetes air hujan jatuh ke pipinya. Dari kejauhan, suara hujan deras mulai terdengar. Mengedarkan pandangannya, sekitar dua puluh meter darinya ada kios kecil yang sudah tertutup. Sebelum hujan menjadi deras, Audrey berteduh di depan kios itu. Pas sekali ketika dia sudah berteduh di sana, hujan mengguyur, deras.
Dia memegang erat kantong plastik yang ada di tangannya. Lampu temaram menggantung di luar kios, agak gelap.
"Hai gadis cantik, kenapa sendirian saja malam-malam begini? Mau kami temani tidak?"
Dua laki-laki tak dikenal mendekat, berteduh di sana juga. Satu laki-laki dengan tubuh agak kekar, wajahnya terlihat sangar. Satunya lagi, bertubuh jangkung, namun tampak kurus. Dua-duanya terlihat seperti preman.
Audrey mengambil dua langkah menjauh. Dia mulai merasa aura-aura tidak enak apalagi kala dua laki-laki itu melihatnya seperti sedang melihat mangsa. Jantung Audrey berdebar-debar, khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Dia mencengkeram kuat kantong plastiknya. Menatap ke arah lain, berusaha menyembunyikan ketakutannya.
"Hei, gadis manis! Kami sedang berbicara padamu. Jangan sombong! Kami akan menemanimu di sini." Laki-laki kurus itu mendekat. Menyentuh tangan Audrey.
"Jangan sentuh aku!" teriak Audrey. Menepis tangan laki-laki itu.
Laki-laki bertubuh kekar juga mendekat. "Tidak usah gengsi, Nona. Kau terlihat kesepian. Ayo habiskan malam ini bersama kami saja!"
Audrey memang sok berani. Padahal nyatanya, tangannya mulai gemetar. Kendaraan yang berlalu-lalang di jalan sudah tidak banyak lagi. Audrey merinding, sadar di sekitarnya tampak sepi.
Kedua laki-laki itu mengapitnya. Hujan semakin deras. Alangkah baiknya dia menerobos hujan saja ketimbang harus berurusan dengan dua laki-laki yang sepertinya berniat buruk padanya. Namun, ketika dia hendak kabur, lampu kios itu tiba-tiba mati. Ketika dua laki-laki itu masing-masing mengunci tangannya, dia memberontak, dia kalah cepat. Di tempat sepi, gelap, serta suara hujan deras apakah berteriak mempan? Tapi, tidak ada salahnya berusaha. Mungkin akan ada yang menolongnya.
Ketika dia berteriak, laki-laki kekar menutup mulutnya. Dia berusaha menggigit tangan itu, tak peduli apakah tangan yang membungkam mulutnya itu kotor atau tidak. Karena yang lebih penting adalah keselamatan dirinya. Meronta, genggamannya melonggar, kantong plastik berisi cemilan itu terjatuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
111 Days [END√]
FantasyRomance & Fantasy Ketika, Audrey hendak bunuh diri, sosok laki-laki bersayap mencegahnya dari perbuatan dosa itu. Ketika, Audrey kesepian, Clark datang dan mengisi hari-harinya. Ketika, Audrey dan Clark saling jatuh cinta. Keduanya sadar waktu merek...