Karena, kita berbeda. Jika rasa hadir, ada konsekuensi yang harus kuterima.
👑Kai berjongkok di sebelah batu nisan milik seorang gadis yang menjadi alasan mengapa dia tidak bisa kembali ke tempat asalnya, seorang gadis yang sudah meninggalkannya untuk selamanya. Matanya menatap sendu ke arah batu nisan itu. Hatinya menjadi sakit tiap kali mengingat hal-hal menyakitkan yang pernah dialami olehnya dan gadis itu. Dia, amat merindukan senyum manis gadis itu.
Tepat di belakang Kai, Clark menggosok-gosok tangannya yang terasa dingin itu. Tak ada bintang di langit, itu ulah sang awan gelap yang menutupi langit, mendung tepatnya. Suara angin yang berembus bak berbisik ke telinga Clark, embusan itu tanpa izin menusuk-nusuk tulang-belulang Clark. Clark mengedarkan pandangannya. Melihat banyaknya gundukan tanah yang di atasnya ada batu nisan. Ya, benar. Saat ini dia dan Kai berada di pemakaman umum. Tempat itu terlihat mengerikan disaat malam hari.
Clark menepuk pundak Kai dua kali agar temannya itu menoleh ke arahnya. Dia heran, kenapa temannya itu mengajaknya ke pemakaman umum dimalam yang sejuk seperti itu. "Hei! Kenapa kau mengajakku ke tempat mengerikan seperti ini? Lalu, kenapa wajahmu terlihat sedih? Ini makam siapa?"
Kai tidak langsung menjawab pertanyaan Clark. Bangkit berdiri terlebih dahulu dan menatap Clark sekilas. Makam itu terus menyita atensinya.
"Kau kenapa, sih?" Clark begitu tidak sabaran, sangat penasaran. Karena tidak biasanya Kai terlihat sedih seperti sekarang. Cowok berwajah lebih gelap darinya itu biasanya selalu ceria, iseng, dan sangat tidak sopan padanya meskipun tahu background-nya.
"Ini ... hukumanku," ucap Kai dengan suara lirih.
"Maksudmu apa?"
"Karena, kita berbeda. Kau, jangan sampai sepertiku ya? Ini salahku. Inilah alasan kenapa aku belum bisa pulang ke rumahku," ucap Kai lagi-lagi lirih. Ada senyum paksa di wajahnya.
Clark terdiam sesaat. Setelah mencerna maksud dari ucapan Kai, Clark mengangguk. Dia paham.
👑
Malam ini bukan mie rebus lagi. Tapi, mie instan goreng. Mie, mie, dan mie lagi. Seolah-olah itu adalah makanan pokoknya. Audrey tahu makan mie terus-menerus tidak baik untuk kesehatannya. Namun, apa boleh buat? Dia harus berhemat. Dia tinggal sendirian. Dia tidak punya orang tua yang akan menafkahinya.
Saat ini, tubuhnya memang berada di sofa ruang tengah, tepat di depan TV. Namun, pikirannya melayang-layang ke luar sana. Sambil menikmati mie goreng tersebut, Audrey memikirkan kejadian aneh tadi sore. Kenapa toko buku itu tiba-tiba menghilang? Apa itu ada hubungannya dengan sosok bersayap yang menyelamatkannya kala malam itu?
Itu aneh! Dan Audrey masih waras. Walaupun otaknya sering berkhayal, dan dia bahkan pernah menulis novel fantasi, tetap saja apa yang terjadi padanya itu sulit diterima oleh akal sehatnya. Menjadikan kejadian aneh itu untuk ide novelnya mungkin terlihat bagus, tapi, untuk melupakan kejadian aneh itu begitu sulitnya. Ditambah rasa ingin tahunya yang begitu tinggi membuat banyak tanda tanya dalam otaknya.
"Hai!"
Sial, seruan tiba-tiba beserta munculnya wajah cowok bertubuh jangkung itu membuat garpu di tangan Audrey terjatuh ke atas meja dan menimbulkan bunyi. Mata Audrey menyorot tajam ke arah cowok yang sedang tersenyum geli ke arahnya itu. "Kau itu mengagetkanku saja! Kenapa kau masuk ke rumahku tanpa izin dariku? Dasar tidak sopan! TIDAK TAHU MALU!"
Tanpa permisi Clark langsung menarik kursi di seberang Audrey dan duduk di sana. Sekembalinya dari pemakaman umum bersama Kai, Clark memang langsung ke rumah Audrey.
KAMU SEDANG MEMBACA
111 Days [END√]
FantasyRomance & Fantasy Ketika, Audrey hendak bunuh diri, sosok laki-laki bersayap mencegahnya dari perbuatan dosa itu. Ketika, Audrey kesepian, Clark datang dan mengisi hari-harinya. Ketika, Audrey dan Clark saling jatuh cinta. Keduanya sadar waktu merek...