2. Penawaran

257 33 4
                                    

Pembahasan tentang pesan untuk Septian masih berlanjut sampai keesokan harinya. Bedanya hari ini hampir semua anak di kelasnya setuju bersama-sama mengirim balasan untuk pengirim pesan misterius itu. Tentu aja tanpa persetujuan Septian. 

Semalam cowok itu dikeluarkan sementara dari grup chat kelas, lalu mereka menyusun pesan balasan untuk dikirimkan ke Draft PN serentak di jam yang disepakati karena kata Devi yang pesannya sering diposting;

"Kirimnya barengan, di jam istirahat atau lima menit setelah open draft."

Setengah jam menuju jam istirahat tapi beberapa orang udah heboh, termasuk Septian yang udah mencak-mencak dari pagi karena nggak terima nomor WhatsApp-nya tersebar di komentar Draft PN untuknya kemarin.

"Lo pada apaan sih?! Kenapa jadi kalian yang ribet," ujar Septian dengan nada kesal. Wajah manisnya udah merah padam. Tapi hal itu nggak bikin teman-temannya simpati, sebaliknya mereka malah makin ngecengin.

"Nggak ribet, Sep. Nggak ada yang ngerasa diribetin kan ya?" tanya Willy, sang ketua kelas yang memprakarsai gerakan –Septian melepas masa lajang– ini.

"Nggak ada!"

"Kagak ribet, Sep!"

"Gue seneng nih bantuin!"

"Nggak pa-pa Sep! Gue nggak minta traktiran."

"Gue seneng lihat temen seneng, Sep!"

Suara tawa Rizka terdengar, Leila menoleh ke arah teman sebangkunya itu yang langsung berbisik.

"Gue ngirim draft buat Galang kali ya?"

"Lo mau dia diginiin juga?"

Rizka menatapnya ragu. "Nggak sih. Kasihan. Anak kelas kan sadis kalo ngecengin."

Leila mengangguk. Lagian cowok yang ditaksir Rizka ini agak aneh, ngomong kalo perlu aja, kelihatan nggak peduli apa pun tapi tiba-tiba ketawa kalau ada yang ngelawak. Kayak sekarang, tuh cowok sibuk main ponsel tapi bibirnya senyum-senyum sambil sesekali noleh ke arah Septian.

"Menurut lo, Le, Galang pernah ngirim ke Draft PN nggak?" tanya Rizka dengan suara sepelan mungkin.

"Pernah. Tapi nggak penting isinya," jawab Leila sambil memasukkan alat tulis ke tempat pensilnya.

"Tau dari mana lo?"

Leila menggeleng cepat. "Tuh anak kan random. Lo pernah bilang."

Rizka mengangguk mengiyakan. "Kalo lo pernah ngirim ke Draft PN, Le?"

"Apa?" Leila mengernyitkan dahi.

"Lo pernah ngirim draft?" Ulang Rizka yang kini udah sepenuhnya menghadap Leila. Rambut panjang yang dikuncir asal udah sedikit acak-acakan, tatapan mata yang selalu bersinar cerah itu ganti dengan sorot menyelidik.

Leila terdiam sejenak, lalu mengangguk tanpa ekspresi. "Pernah."

"Dipost nggak?"

"Iya, sekali."

Rizka mencondongkan tubuhnya ke arah Leila. "Kapan? Isinya apa?"

Leila menggaruk alisnya. "Kemaren."

Kedua mata Rizka kontan membulat. Tubuhnya makin condong ke arah Leila. "Jangan bilang tebakan gue kemaren bener."

"Apa?" Dahi Leila berkerut, mencoba mengingat kejadian kemarin tapi kalimat Rizka selanjutnya sukses bikin jantung Leila berhenti berdetak sekian detik.

"Lo yang ngirim pesen buat Septian."

•×•


Setelah serangkaian proses kabur dari Rizka akhirnya Leila menghela napas lega di tempat persembunyiannya. Waktunya nggak banyak sampai bel masuk kembali berbunyi. Ia cuma punya waktu 15 menit.

DistorsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang