31. Mimpi Buruk

127 25 2
                                    

"Panjang ceritanya, Riz, sumpah!"

"Gue punya waktu banyak buat dengerin!"

"Nggak bisa sekarang, besok, atau lusa."

Rizka melepaskan kaitan lengannya dari Leila dan menatap sinis. "Bye maksimal!"

Leila tertawa melihat Rizka berjalan cepat meninggalkannya menuju kelas mereka karena bel barusan berbunyi.

Koridor lantai tiga sudah ramai, derap langkah cepat disertai tawa terdengar dari arah tangga, beberapa orang masih betah bercokol di depan pintu kelas dan tepi koridor. Leila mengikuti arus cepat laju di koridor itu untuk sampai di kelasnya.

Tapi, lima langkah sebelum ia mencapai pintu kelasnya, ada tangan besar yang menyentuh puncak kepalanya. Sentuhan sederhana berupa usapan lembut repetitif sebelum kemudian hilang dan menyisakan aroma parfum yang nggak asing.

Leila mematung di tempatnya berdiri, di tengah koridor lantai tiga yang ramai. Lalu lalang orang-orang yang melewatinya nggak mengaburkan pandangannya pada satu titik itu, pada punggung yang makin lama makin jauh. Bibir Leila menyunggingkan senyum tipis yang kemudian berubah jadi senyum geli.

Arya selalu menemukan cara untuk menjangkaunya, kadang dengan cara ekstrim seperti deklarasi sepihaknya waktu itu atau rela jadi tamengnya untuk kabur dari Rizka demi tugas rahasianya. Dan sekarang cowok itu kembali mengejutkannya dengan cara sederhana tapi manis, tanpa kata tapi cukup untuk menerbitkan senyum di wajah Leila.

"Arya sakit juga masih latihan aja tuh anak."

"Mana kucing-kucingan sama nyokapnya, kasihan gue sebenernya."

"Gue nggak kasihan, dia masih punya utang sama gue soalnya."

"Tagih bego, tuh anak kan lupaan."

"Gue tagih malah galakan dia, anjir!"

Leila mengikuti Willy yang masuk kelas setelah berpisah dengan cowok yang tadi berjalan di sampingnya. Obrolan yang nggak sengaja didengarnya tadi membuat ia penasaran.

"Wil."

Yang disebut namanya itu langsung menoleh, mengangkat kedua alisnya dengan tatapan tanya. "Apaan?"

"Tadi lo ngomongin Arya?"

Willy memiringkan sedikit kepalanya, meringis kemudian mengangguk. "Iya, Arya yang mantan lo. Eh, apa udah balikan lagi?"

Leila geleng-geleng kepala tapi nggak menjawab pertanyaan Willy.

"Postingan lo semalem sama, gue kira balikan," imbuh Willy kembali berjalan ke bangkunya.

Leila mengekor di belakangnya walaupun tempat duduknya berbeda arah dengan cowok itu. Saat sampai di mejanya ia disambut tatapan tanya plus sinis dari Rizka.

"Geser bentar, Riz, ada yang mau gue omongin sama Willy."

Rizka mendelik nggak percaya. "Dih, tumben, ngomongin apaan lo?!"

"Geser dulu."

Rizka menuruti permintaannya dan menggeser pantatnya ke kursi Leila, sedangkan ia mengambil alih kursi cewek itu.

"Arya sakit, Wil?"

Pertanyaan itu Leila lontarkan sedetik setelah ia duduk di kursi Rizka. Respon pertama Willy adalah senyum datar dilanjut sikap sok serius dengan kedua tangan terlipat di atas meja dan mata yang tertuju lurus ke arah Leila. 

"Jangan terlalu baik sama Arya, Le."

"Jawab aja yang gue tanya, nggak usah ngedikte gue harus gimana ke dia," balas Leila tegas yang langsung membuat eskpresi Willy berubah masam.

DistorsiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang