Leila menyandarkan tubuhnya di pilar koridor lobi depan, kedua matanya menatap kosong ke arah lapangan yang ramai dengan pertandingan futsal antar kelas.
Setelah berpisah dengan Rizka yang nongkrong di kantin, ia memutuskan ke perpustakaan untuk membaca buku lalu karena bosan ia keluar untuk kembali ke kelas, namun pertandingan futsal di lapangan tengah sepertinya seru karena para suporter masing-masing kelas nggak berhenti berteriak heboh.
Pemandangan di depannya ini mengingatkannya pada seseorang, pada kejadian klise beberapa tahun lalu saat pertama kalinya ia merasakan sesuatu bernama cinta pada pandangan pertama. Teriakan dari tepi lapangan, sinar matahari yang menyorot penuh ke lapangan, orang-orang berlarian dengan jersey, bola yang menggelinding cepat, semua itu masih menempel erat di ingatan Leila.
Leila mengambil ponsel dari saku rok, menekan ikon instagram dan mengetikkan satu nama dengan cepat. Masih sama, nggak ada pembaruan dari profil yang entah sudah berapa kali ia cek hari ini. Postingan terakhirnya masih lapangan berumput tanpa keterangan apapun.
Leila mendecak untuk kesekian kalinya. Berulang kali ia menahan diri untuk nggak mengecek update terbaru dari akun ini, tapi jarinya bergerak lebih cepat dari logikanya, apalagi dengan dukungan hatinya yang terombang-ambing dengan perasaan tak pasti.
"Le!"
Kepala Leila menoleh ke sumber suara dan mendapati Septian melangkah dari lobi depan ke arahnya.
"Sendirian?" tanya Septian yang Leila angguki.
"Dari perpus sih, terus karena rame gue nonton aja walaupun nggak ngerti," jelas Leila tanpa diminta.
"Anak-anak pada di depan sih nunggu voli, lo nggak ke depan?"
Leila menggeleng, ia memperhatikan Septian yang sibuk dengan ponselnya dan tak lama cowok itu menoleh ke arahnya dengan senyum tipis.
"Bener kata lo, Le."
Kening Leila berkerut samar, menunggu Septian menjelaskan ucapannya barusan.
"Nggak lama lagi kita kelas dua belas."
"Dua minggu lagi, resmi jadi anak kelas dua belas," balas Leila dengan senyum separo.
Walaupun rasanya Leila sudah menunggu masa-masa ini datang, masa-masa jadi angkatan tertua di sekolah, masa-masa serunya belajar untuk Ujian Nasional dan masuk ke universitas, masa-masa sibuk mempersiapkan banyak hal. Tapi akhir-akhir ini Leila malah merasa sebaliknya, ia nggak siap, nggak rela, dan nggak mau cepat meninggalkan masa putih abu-abunya.
"Dan udah mulai ditanya mau masuk ke mana setelah ini," ujar Septian dengan kekehan.
Leila ingat percakapannya dengan Septian di rumahnya waktu itu. Tentang Septian, siswa pintar kesayangan para guru yang ternyata masih bingung akan melanjutkan ke universitas mana dan jurusan apa.
"Udah ditanyain berapa orang?"
Septian mendecak. "Baru dua sih, Bu Sri sama Bu Euis."
Leila menahan senyum geli, kasihan melihat ekspresi Septian yang pasti kebingungan tapi juga lucu membayangkan kebohongan apa yang diucapkan Septian untuk menjawab pertanyaan dua guru itu.
"Terus lo jawab apa?"
"Mau lintas jurusan ke Kedokteran."
Kedua mata Leila sedikit membesar mendengar jawaban Septian. "Sumpah lo?!"
Septian nyengir. "Nggak lah."
"Gila banget kalo lo beneran linjur, Sep. Tapi, gue yakin lo pasti bisa sih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi
Teen Fiction"Kenapa lo nggak sekalian hilang dari hidup gue, Ar? Kenapa lo harus selalu ninggalin jejak yang bikin gue nggak bisa lupa sama lo?" Distorsi Elok Puspa | Mei 2020 credit photo from Pinterest