Tidur Leila nggak tenang, makan pun gelisah, pikirannya melanglang buana. Berulang kali ia mencoba untuk fokus, mencoba untuk menarik kesadarannya kembali dan mengingat bahwa hal itu hanya ada di pikirannya saja. Tapi semakin Leila berusaha melupakannya, hal itu semakin menempel di ingatannya.
"Gue nggak bisa kayak gini nih," gumam Leila sebelum menaruh kepalanya di atas meja.
"Lo kenapa Le?"
Leila geleng-geleng kepala. Hal ini makin sulit bagi Leila karena ia nggak punya seorang pun untuk dijadikan tempat berkeluh kesah masalah ini. Rizka jelas bukan tempat yang tepat, yang ada Leila akan dicengin habis-habisan. Leila nggak mungkin cerita sama teman sekelasnya yang lain atau teman-temannya di tim rahasia PN.
Pulpen ditangannya ia ketukkan dalam ritme yang teratur ke kepalanya. Berharap hal itu bisa mengeluarkan segala pikiran aneh yang menghantuinya 24 jam ini.
"Lo lagi mikirin Arya?"
Tanpa mengangkat kepalanya dari meja, Leila mengangguk. Matanya terbuka menatap rok hitam panjangnya.
"Kenapa? Lo mulai kepikiran omongan gue?" tanya Rizka lagi. Leila tau, Rizka masih sibuk mencatat tanpa menoleh ke arahnya.
Leila benci mengakui, tapi itu lah kenyatannya. Semalaman Leila memikirkan Arya, memikirkan kenapa ia bisa kembali jatuh pada mata itu, kenapa dengan mudahnya ia terperangkap pada sikap manis cowok itu, kenapa semua usahanya untuk mengindari Arya selama ini terasa sia-sia karena kurang dari sepuluh hari cowok itu berhasil bikin jantung Leila berdetak nggak normal.
Leila nggak bodoh. Ia tau pasti perasaan itu, perasaan yang akrab dengannya dua tahun lalu. Sialnya Arya masih jadi penyebab Leila merasakan perasaan itu lagi. Leila nggak bisa melupakan senyuman Arya di koridor depan aula kemarin, tatapan teduhnya yang jarang sekali terlihat dan bagaimana cowok itu mengatakan Leila adalah tempatnya untuk pulang.
"Gue bentar lagi gila, Riz," ujar Leila setelah cukup lama terdiam.
"Jilat ludah sendiri nggak pa-pa kok. Kan udah pernah," bisik Rizka tepat di telinga Leila.
Leila kontan menegakkan punggung, menatap Rizka yang tersenyum lebar penuh kepalsuan.
Bel istirahat berbunyi bersamaan dengan Leila yang menendang kaki Rizka di bawah meja. Cewek di sebelahnya itu malah tertawa, sambil menaikkan kakinya yang ditendang Leila ke atas bangkunya.
"Denial kan lo sama perasaan lo sendiri. Bilangnya benci tapi masih suka!" ledek Rizka makin menjadi.
"Nggak! Apaan sih!?"
Rizka tertawa meledek. "Iya, iya, nggak suka tapi cinta!"
Satu pukulan mendarat di lengan Rizka. Cewek di sebelah Leila itu mengusap lengan, masih dengan sisa tawa di wajahnya.
"Udah sana bilang, keburu dia kecantol sama yang lain lagi," ujar Rizka menaruh semua peralatan belajarnya ke dalam laci dan mengganti kotak bekal berwarna hijau di atas meja.
Leila mendengus. "Harusnya lo ngomong gitu di depan kaca. Sadar diri, jomblo."
Rizka melirik sinis pada Leila, gerakan tangannya berhenti mengaduk nasi dan sambal goreng kentang buatan mamanya itu. "Lo mulai diskriminatif status nih sekarang?"
"Lo mulai duluan," jawab Leila enteng sambil mengedikkan bahu.
Mata Leila tiba-tiba berkilat jahil saat cowok yang duduk di bangku seberang berdiri dan menenteng ponsel.
"Eh, Lang!"
Leila terpaksa menelan kalimat yang sudah menggantung di ujung lidah karena Rizka langsung membekap mulutnya begitu ia menyebut nama itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi
Teen Fiction"Kenapa lo nggak sekalian hilang dari hidup gue, Ar? Kenapa lo harus selalu ninggalin jejak yang bikin gue nggak bisa lupa sama lo?" Distorsi Elok Puspa | Mei 2020 credit photo from Pinterest