Yang Leila lakukan setelah sampai rumah adalah menangis. Sesak di dadanya belum berkurang bahkan ketika ia sudah melontarkan kebenciannya pada sumber utama masalah ini muncul, Arya.
Leila sama sekali nggak menyangka Arya akan muncul di saat yang tepat. Melihat cowok itu seketika membuat seluruh kemarahannya meledak, semua kekecewaan yang di hadapkan padanya, semua cibiran yang ia dapatkan, semuanya karena cowok itu.
Leila ingin memukul wajahnya, menendang kakinya atau menginjak perut Arya. Semua itu mungkin bisa melegakan sedikit rasa marahnya, tapi nyatanya itu hanya terjadi dalam kepalanya. Melihat tatapan khawatir di mata cowok itu meluruhkan seluruh energinya yang tersisa.
Sampai detik ini Arya belum menghubunginya lagi. Leila memang memblokir kontak Arya, tapi ia nggak benar-benar menutup akses komunikasi dengan cowok itu. Kemarahannya pada Arya belum sepenuhnya terluapkan, Leila nggak bisa membiarkan cowok itu melenggang seenak jidat tanpa merasa bersalah.
Leila nggak tau, apakah Arya tau alasan dibalik semua kata-kata kasarnya tadi? Apa cowok itu tau mulai besok ia nggak lagi jadi bagian tim rahasia PN? Apa cowok itu bahwa dia lah penyebab semua ini terjadi?
Mengingat hal itu membuat api kemarahan dalam dirinya kembali bergejolak. Leila menggenggam sendoknya kuat-kuat, menyalurkan seluruh emosinya pada benda itu.
"Kamu abis nangis?"
"Iya," jawabnya dengan datar, kembali makan tanpa memperdulikan tatapan ayahnya.
"Kenapa nangis?"
"Pengen aja."
Ayahnya mendecak pelan. "Pengen es krim tuh wajar, pengen pecel lele atau bebek goreng Madura juga wajar. Ayah baru denger ada orang pengen nangis."
"Yaudah, Ayah udah denger dari aku barusan."
"Kamu berantem sama Arya lagi?"
Mendengar nama itu disebut membuat Leila mendengus. "Emang kapan aku sama dia nggak berantem?"
"Berarti lagi berantem?"
"Nggak."
"Tadi katanya."
"Rumit pokoknya, Yah. Aku capek."
Tangan besar ayahnya menepuk pelan puncak kepalanya. Usapan lembut itu masih jadi penenang paling mujarab. Kalau aja bisa ia ingin cerita semua hal ini pada ayahnya, menangis di pelukannya sampai tertidur dan melupakan sejenak segala masalahnya. Seperti yang selalu dilakukannya saat kecil, tapi makin beranjak dewasa ia mulai menyadari ada hal-hal yang nggak bisa diceritakannya pada sang ayah dan itu menyiksanya. Karena cuma ayahnya yang mengerti, yang bersedia mendengarnya tanpa justifikasi dan akan selalu mendukungnya dalam hal apa pun.
"Tuh kan, nangis lagi. Sedih ayah lihat kamu nangis."
Tangis Leila pecah di meja makan, di hadapan tumis kangkung dan tempe goreng serta sambel tomat favoritnya.
"Ayah sih!"
"Lho kok, Ayah?!"
Leila mengusap air matanya di pipi, lalu menatap ayahnya dengan sendu. "Yang ini nggak bisa diceritain, Yah. Pokoknya aku pengen nangis aja bawaannya."
Ayahnya mengangguk, walaupun matanya menyorotkan ketidak setujuan. "Iya, Ayah ngerti. Tapi, Ayah beneran sedih lihat kamu nangis. Kayak, Ayah gagal aja jadi orang tua."
"TUH KAN! AYAH!"
Ayahnya tertawa geli, seolah melihatnya menangis dan merengek seperti anak kecil adalah hal lucu.
"Ah, males sama Ayah!" Leila mengusap air mata di pelupuk matanya yang basah sambil manyun.
Leila nggak suka tiap ayahnya mengatakan hal seperti itu, ayahnya bukan orang tua yang gagal, ayahnya adalah ayah terbaik yang ada di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Distorsi
Teen Fiction"Kenapa lo nggak sekalian hilang dari hidup gue, Ar? Kenapa lo harus selalu ninggalin jejak yang bikin gue nggak bisa lupa sama lo?" Distorsi Elok Puspa | Mei 2020 credit photo from Pinterest