Kami sampai di rumah Bian dan mendapati Iron sedang duduk didepan kursi taman rumah Bian. Secangkir kopi diatas meja dan hp ditangannya yang menemani.
"Iron" panggil ku seraya keluar dari mobil yang terpakir didepan. "Kita balik nih. Ngapain lu ron?"
"Biasalah kegiatan fakboi." Jawab Iron. "Idi bacot." Kataku. "Gray mau masuk dulu?" Ujarku sambil menoleh ke arah mobil Gray yang menurunkan kaca mobil dan menampakkan wajah Gray."Enggak deh gua langsung aja ya. Lagi ada urusan."
"Ohh, yaudah. Sekali lagi makasih ya. Tiati lu."
"Iya sama-sama. Bye."
"Dahhh"Kami masih berdiri didepan pintu sambil melihat Gray keluar dari gerbang rumah Bian menuju keluar. Aku duduk didepan teras sedangkan teman-temanku yang lain sudah masuk.
"Enggak masuk lu?" Tanya Iron tanpa mengalihkan pandangannya dari hp. "Enggak deh, gua mau disini bentar." Jawabku sambil mengeluarkan hp.
Aku mengecek whatsapp dan melihat semua pesanku tidak ada satu pun yang terkirim termasuk kepada Gray karena ternyata tadi aku lupa menghidupkan data seluler juga karena disana tadi memang tidak ada signal. 'Lalu darimana dia tau kami terjebak disana' pikirku.
Ku nyalakan data hp ku dan muncul notif dihp Iron. "Lu pada tadi kejebak?" Tanya Iron sambil membuka notif dari ku dan langsung menoleh ke arahku. Aku hanya terdiam dan mengangguk pelan. Ku lihat pesan yang ku kirim kepada Gray juga baru terkirim.
Centang dua biru. Pesanku sudah dibaca. Dia tidak membalasnya. Ada apa ini. Tiba-tiba Abib keluar dari rumah dan bertanya pada kami. "Eh Alif mana sih? Tadi ikut kita keluar dari tempat itu gak?"
Seluruh tubuhku menegang. Kemana Alif pergi? Kenapa Gray bisa tau kami terjebak ditempat itu? Siapa sosok berhoodie hitam itu sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Seluruh pertanyaan itu meghinggapi kepalaku bagaikan semut yang mengerubuni permen. Kepalaku pusing. Tiba-tiba semuanya gelap dan aku jatuh pingsan.
Alif's Pov
Semakin aku menelusuri tempat ini semakin gelap dan menakutkan suasananya. "Gaes, kok kalian diem aja sih?" Tanyaku pada teman-temanku.
Tak ada jawaban. Aku membuka hp ku dan menyalakan flash hp ku. Aku berbalik dan tak menemukan satupun temanku disana. Kemana mereka? Tanyaku tidak pada siapapun. Aku kembali menoleh ke depan. Aku menyoroti flash ku kedepan dan ku lihat banyak batang pohon tinggi menjulanh hingga menutupi langit. Pantas saja gelap.
Tunggu. Aku kan tadi didalam sebuah gedung. Kenapa disini bahkan tidak ada tembok tapi malah seperti hutan dengan pohon-poho tinggi yang besar disekeliling. Tanahnya basah seperti sehabis hujan. Dimana ini.
Aku berniat berbalik dan mencari temanku tapi tiba-tiba aku mendengar suara piano yang dimainkan. Aneh. Kenapa ditengah hutan begini ada yang bermain piano. Aku mencoba mengikuti suara piano tersebut dan berjalan lurus saja.
Aku menemukan sebuah batu besar dengan cahaya berpendar dari balik batu dan suara piano tadi. Aku berputar berniat untuk melihat ada apa disana. Sebuah piano klasik berwarna putih dengan cahaya yang berpendar dan seorang laki-laki yang kira-kira seumuran denganku memakai baju serba putih dan sepatu putih sedang memainkan piano itu. Matanya berwarna merah terlihat jelas karena disinari cahaya dari piano itu. Laki-laki itu mirip dengan Gray temannya Nesya yang baru-baru ini kami kenal. "Gray?" Panggilku. "Ngapain lo disini?"
Seketika dia berhenti bermain piano itu dan menatap kepadaku. Perlahan-lahan matanya berubah menjadi coklat seperti mata manusia pada umumnya. "Lo siapa? Mana Nesya?" Tanyanya dengan raut wajah bingung yang menghiasinya. "Gua Alif. Lo siapa? Kenapa main piano sendirian dihutan gelap begini?" Tanyaku.
Hening. Dia diam sejenak menatapku. "Lo siapanya Nesya?" Tanyanya lagi dan mengabaikan pertanyaanku. "Gua temennya."
Dia menunduk, menutup tuts piano dan berdiri menghampiriku. "Kenalin gua Fanno. Temen lamanya Nesya." Ujarnya sambil mengulurkan tangannya dan menjabat tanganku. "Oh lo kembaran Gray itu ya?" Tanyaku. "...iya" jawabnya dengan nada yang terdengar sedih dan marah bercampur aduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pitch Black Midnight (END)
Mystery / Thriller"Aku mencintaimu" katanya dengan mawar merah berdarah ditangannya, dia sodorkan padaku. "Tidak, kau bukan dia." Kataku sambil terisak dan sudah tersungkur dilantai. . Entah sejak kapan aku mulai memimpikan teman lamaku terus-terusan bagai sinetron b...