Part 4

108 10 0
                                    

Taman bunga yang indah. Taman bunga yang dihiasi bunga kesukaan ku, bunga daisy. Angin berhembus dengan tenang. Gaun putih ku yang pendek hanya sebatas lutut bergelombang diterpa angin. Aku mencium aroma parfum coklat dan kayu yang menyatu menjadi satu. Aku langsung membalikkan badan. Fanno Gray teman lamaku sedang berdiri dikejauhan. Dia mengenakan kaos hitam berlengan pendek dan celana hitam panjang tanpa alas kaki. Dia berdiri jauh dari taman. Rumput hijau berada dibawah kakinya.

"FANNO" panggilku.

Dia hanya tersenyum. Aku mencoba menghampirinya. Saat jarak ku sudah hampir dekat, dia menghilang. Hilang begitu saja bak angin sepoi-sepoi. Kemana dia pergi?

"FANNO" teriakku. Tapi dia tetap tidak muncul lagi. Tiba-tiba aku merasa sakit hati. Kecewa. Sedih. Marah. Semua perasaan itu bercampur aduk.

Taman bunga yang indah berubah menjadi hutan gelap dengan pohon-pohon besar yang menutupi langit. Cahaya yang masuk hanya sedikit hingga membuat suasana remang-remang. Aku berjalan mencoba keluar dari hutan ini. Aku tetap tak menemukan apa-apa.

Aku mendengar suara piano memainkan lagu yang tak pernah aku dengar. Aku mencoba mencari sumber suara. Berlari kesana kemari. Berputar disana sini. Kulihat kaki ku terluka karena tak memakai alas kaki. Tak ku rasakan sakit sedikitpun. Yang ku rasakan hanyalah hatiku seakan tergores ketika mendengar lagu ini.

Aku terduduk dan terisak. "Fanno..." panggilku dengan lirih. Tiba-tiba seberkas cahaya menyoroti sesuatu didepan ku. Itu Fanno. Dia yang memainkan piano itu. Ku coba untuk menghampirinya. Ketika aku sudah berada didepannya, ku lihat matanya yang berubah menjadi merah bagaikan vampir. "Fanno?". Tak ada jawaban. Aku menyentuh piano bagian atas. Tiba-tiba Fanno melihat kearah tangan ku dan beralih ke wajahku. Tatapan dingin dan mengintimidasi. Aku teringat tatapan Gray waktu itu. Kecuali mata merah itu. Tampak berbeda. Ini bukan Fanno.

"Siapa kau? Kenapa terus-terusan masuk ke mimpi ku seenaknya?" Tanya ku sedikit gemetar. Aku takut tapi mencoba untuk tetap tenang. "Lo masih gak berubah ya Ney." Kata Fanno. Sedikit demi sedikit matanya kembali ke warna coklat terang yang indah seperti mata Fanno biasanya. Dia tersenyum. Aku merindukan senyuman itu. Dia berdiri dari kursinya dan menghampiriku dan berdiri didepan ku. Oh tuhan, aku ingin sekali memeluknya. Aroma coklat dan kayu yang manis masuk kehidung ku. Aku suka aroma parfumnya dari dulu. Air mataku tiba-tiba keluar dengan sendirinya. Ku tatap wajah Fanno. Aku mencoba menyentuh pipinya dan dia memejamkan matanya, menikmati sentuhanku. Entah mengapa tubuhku tak bisa diajak kompromi. Aku langsung memeluk Fanno. Ku lingkarkan tanganku dilehernya dan dia langsung melingkarkan tangannya dipinggangku. Air mata tak kunjung berhenti. Aku terisak dipelukannya. Aku merindukannya.

"Ney" panggil Fanno. Aku tak menggubrisnya dan masih dalam keadaan menangis dipelukannya. "Ney" panggil Fanno lagi. Suaranya sedikit berubah. Aneh. Tapi aku tetap mengabaikannya.

"Ney"

"Ney..."

aku terbangun. Oh astaga, ini hanya mimpi.

Saat ku buka mataku, aku melihat Rara disampingku. "Lo kenapa nangis?" Kata Rara dengan wajah keheranan. Aku menyentuh wajahku dan disanalah air mataku berada bak air terjun yang mengalir deras. "Oh enggak tadi kayanya cuman mimpi buruk." Sahutku mencoba mengelak.

Ku lihat sekitar. Oh, aku masih dipantai. Aku ketiduran dikursi pantai ternyata. Ku lihat teman-temanku sedang main air disana. Mereka terlihat bahagia. "Lo gak main air Ra?" Tanyaku pada Rara. "Udah tadi, ini rencananya mau ajak lo juga. Mau ikutan?" Ajak Rara. "Enggak deh gua disini aja." Kataku pada Rara. "Oh yaudah kalo gitu" Rara melenggang pergi menghampiri teman-teman kami. Mereka bermain air, membuat istana pasir, dan bermain voly bersama. Aku sedikit pusing. Ku putuskan untuk mengecek ponsel ku. Ada 2 notif muncul dari whatsapp.

Grayy : "lagi dipantai?"
"Kayanya seru ya kalian"

"Kok lo tau? Lo dipantai juga?" : Nesya

Grayy : "iya gua ditempat jual kelapa disamping lo."

Aku langsung menoleh ke arah kiri dimana ada pedangang kelapa disana. Ku lihat Gray sedang meminum kelapa dan menoleh ke arahku. "Gray gabung sini." Panggil ku pada Gray. Dia melambaikan tangan sambil berkata "gua masih ada urusan, entar aja ya." Dia langsung membayar kelapa dan beranjak pergi. "Aneh" pikirku. Dia selalu ada ditempat-tempat yang aku kunjungi. Mungkin ini hanya kebetulan. Entahlah aku tak yakin.

***************************

Hari menjelang malam. Kami sudah dirumah Bian sebelum gelap dan menonton tv. Beberapa temanku bermain game barsama. "Yan, gada yang seru gitu disini?" Tanya Zidan. "Ada si, papan ouija dikamar nyokap bokap gue. Mau main?" "Eh boleh boleh." Sahut ku antusias. "Ih jangan lah, serem tau." Sahut Putri. Putri emang penakut sodara-sodara. "Gapapa, kalo lu gamau main yaudah kita aja." Balasku dengan antusias. "Oke" sahut Bian sambil bergegas menggambil papan ouija dikamar orang tuanya.

Kami bermain hanya berenam karena yang lain tidak berani memainkannya. Kami ingin duduk lesehan dikarpet jadi kami memindahkan meja ruang tamu kesamping agar tidak mengganggu kami bermain. Aku, Zidan, Alif, Dani, Rara dan Bian duduk memutari papan ouija yang berbentuk persegi panjang.

 Aku, Zidan, Alif, Dani, Rara dan Bian duduk memutari papan ouija yang berbentuk persegi panjang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kami mematikan seluruh ponsel dan lampu. Nova menyalakan dua lilin didekat kami. Kami memulainya dengan meletakkan planchette pada huruf "G" dengan meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada planchette.

"Teman-teman fokus ya." Kataku pada mereka. "Selamat malam. Apakah ada roh disini?" Kataku sebagai pembukaan.

Belum ada jawaban. Aku mencoba lagi. "Selamat malam. Apakah ada roh disini?" Tanyaku lagi dengan nada suara yang sama karena roh tidak akan suka jika dibentak. planchette mulai bergerak menuju ke kata "yes" yang ada dipapan. Aku melihat Zidan mulai merasa tidak nyaman. "Aku ingin bertanya. Ada berapa roh didalam ruangan ini?" Tanyaku. planchette mulai bergerak ke arah angka 3. Seketika aku merinding tapi aku mencoba untuk tetap fokus. Putri sudah menyelimuti diri dengan selimut yang dia ambil di kamar tadi karena dia ketakutan.

"Apakah anda roh yang baik?" Tanyaku lagi. planchette mulai bergerak lagi ke arah kata "yes". "Siapa nama anda?" Tanya Zidan. planchette bergerak ke huruf G secara perlahan lalu bergerak lagi ke arah F dan berhenti. "Itu inisial ya?". planchette bergerak lagi ke arah "yes". Mungkin dia tidak ingin kami tahu namanya pikirku. "Bagaimana kamu bisa menjadi roh?" Tanya Alif. Planchette bergerak ke arah huruf D, I, B, U, N, U, H dengan perlahan-lahan. Kami mencoba untuk tetap fokus.

Planchette nya tiba-tiba saja bergerak mundur dari huruf Z menuju huruf A secara perlahan. Aku langsung berkata "terima kasih telah datang. Cukup sampai disini saja perbincangannya ya. selamat tinggal." Aku langsung menginstruksikan untuk bergerak ke arah kata "good bye" tetapi planchette menjadi berat. Kami tetap memaksa dan akhirnya berhasil. Tidak ada pergerakan lagi dari planchette.

Dani langsung menghidupkan lampu dan samar-samar aku melihat sosok berhoodie hitam dengan celana hitam diujung ruang tamu tapi setelah aku berkedip dia menghilang.

Aku mencoba mengabaikannya. Kami saling menatap satu sama lain dan langsung bergegas pergi ke kamar masing-masing karena syok roh tadi mencoba kabur dari papan ouija. Aku tetap tak bisa tertidur. Ku buka hp ku dan ku lihat tidak ada notif dari whatsapp. Maklum jomblo. Ku buka instagramku dan ku lihat ada yang menyebutku disebuah komen postingan sesuatu. Aku membukanya dan ku lihat sebuah papan ouija yang dijual di akun tersebut.

Aku mengecek akun itu dan yang ada hanya papan ouija itu sendiri disana juga akun yang menyebutku dikomen itu adalah akun palsu yang tidak memiliki postingan, follower ataupun following. Aku melihat ke foto profilnya yang sedikit familiar bagiku tapi aku lupa itu foto siapa. Seketika aku merinding dan ku paksakan mataku untuk tertidur.

Pitch Black Midnight (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang