Bagian 1

2.1K 109 16
                                    


Siapapun, ada yang bisa membunuhku sekarang?

Aku benar-benar muak! Mereka terus berteriak bahkan telingaku serasa mulai tuli mendengarnya. Kalau di saat-saat seperti ini, biasanya ada teman-teman ku yang bisa membantu. Aku berniat menuju ke tempat di mana kami sering berkumpul.

Tidak, mereka pasti sudah tidur jam segini. Ku putarkan langkah kakiku mencari sebuah bar malam yang masih buka, tapi tak kunjung ku temukan. Kakiku tak merasa kelelahan sama sekali. Saat ini aku sudah berada di sebuah jembatan.

Sungai yang mengalir di bawahnya begitu tenang dan jernih. Aku tersenyum miris, kapan aku bisa merasakan ketenangan seperti air sungai itu? Tiba-tiba kepalaku terasa berat. Ternyata memandangi air sungai bisa membuat kepala terasa pusing ya?

"Apa yang kau lakukan?"

Suaranya terdengar tak asing lagi di telingaku. Kudengar hentakan sepatunya semakin mendekat padaku dan sekarang dia sudah berdiri tepat di sampingku.

"Gunakan otakmu itu! Jangan karena masalah keluarga kau berniat mengakhiri hidup! "

Dia membentakku? Berani sekali. Aku tertawa kecil lalu menoleh padanya. Kulihat dia sedang menatapku tajam, dia pikir aku takut? Dasar si bodoh ini, selalu saja mengganggu.

"Aku tidak sebodoh dirimu."

Kulihat dirinya menghembuskan nafas lega sambil mengalihkan pandangannya dariku. Ia juga ikut memandangi air sungai yang mengalir tenang tepat di bawah jembatan.

"Baguslah. Oh kau mau menginap?"

Kepalaku menengadah ke atas, menatap langit malam yang tidak indah sama sekali. Awannya gelap menutupi bulan dan bintang-bintang, bahkan sesekali terdengar suara gugur yang tak terlalu keras.

"Aku juga ada masalah di rumah. Bagaimana kalau kita menginap di basecamp saja?"

Sampailah kami di tempat ini, basecamp Bangtan. Terlihat seperti sebuah rumah kosan yang tak berpenghuni. Mereka terlalu malas membersihkan tempat ini termasuk aku.

Setiap anggota memiliki kunci masing-masing agar bisa membuka basecamp. Sayang sekali aku lupa tak membawanya. Lagipula bagaimana mungkin aku mengingat kunci kecil itu di saat pikiranku sedang kacau sedari tadi.

Untunglah aku bertemu dengannya. Aku yakin dia tidak akan pernah lupa dengan kunci ini. Dia membuka pintunya dan tampaklah sebuah ruangan dengan dua pintu kamar.

"Kau mau tidur di kamar? Kemarin Jhope juga menginap disini dan dia sedikit membereskan kamarnya."

Aku menggeleng dan langsung merebahkan tubuhku di atas sofa yang berada di ruang tengah. Bisa dibilang basecamp kami ini cukup besar. Dua kamar, satu ruang tengah lengkap dengan televisi, dan terakhir toilet.

Jangan tanyakan mengapa tidak ada dapur di sini. Basecamp bisa saja terbakar karena ulah kami. Seandainya lapar kami bisa dengan mudah memesan makanan secara online bukan?

Aku sedikit membuka mataku, melihat dia mengambil dua bantal dari salah satu kamar.

Buk

Bantal itu tepat mengenai wajahku. Aku menyingkirkan bantal itu dan terbangun. Dia tidak takut padaku ya? Aku lihat wajahnya santai-santai saja. Dia meletakkan bantal yang dirinya bawa di atas lantai kemudian membaringkan tubuhnya di sana.

Aku menyipitkan mataku. "Kau tidak tidur di kamar?"

"Kau juga tidur disini, kenapa aku harus meninggalkanmu sendirian?" balasnya dengan mata yang sudah tertutup.

"Kau takut tidur sendirian bukan?" tanyaku lagi, aku yakin dia tidak se-peduli itu padaku.

Dia membuka matanya dan mendelik padaku. "Aish bawel! Sudah tidur saja, memangnya kau tidak mengantuk?!"

Aku tak lagi menjawab, buang-buang tenaga saja. Dengan bantal yang temanku itu berikan, aku berusaha untuk tertidur. Namun bayangan-bayangan kejadian sebelum aku kabur dari rumah berputar kembali seperti sebuah film di kepalaku.

Kuhela nafasku pelan kemudian menutupi kedua mataku dengan lengan kanan, seakan berusaha menghindari cahaya menyilaukan dari lampu yang menggantung tepat di hadapan ku.

"Jangan dipikirkan, lebih baik kau tidur saja. Lagipula sudah malam dan kita harus sekolah besok."

Menyebalkan, temanku yang satu ini selalu saja mengetahui apa yang kupikirkan seperti cenayang. Aku membuka mata dan meliriknya dengan ujung mataku. Matanya masih terpejam.

"Lalu kau? Ada masalah apa?" Pada akhirnya aku bertanya seperti ini. Dia membuka matanya kemudian mengambil posisi duduk menghadap padaku.

"Nilai Matematika ku jelek. Aku disuruh belajar semalaman, aish--menyebalkan bukan?" Aku mengangguk, dia kembali membuka mulutnya.

"Ayah memarahiku, begitupun dengan ibu. Keduanya sama saja!"

Mendengarnya terus bercerita mengenai keluarga, membuat hatiku serasa teriris. Kuangkat sedikit ujung bibirku dan menatap mata temanku itu lekat.

"Setidaknya kau mempunyai orang tua yang memiliki satu pemikiran."

"Hah?!"

Aku kembali menutup mataku. "Sudah lupakan."

"Tapi--"

"Tidur saja, sudah malam kan kau bilang?"

"Iya iya, tapi--"

"Tidur, Kim Namjoon."

Kudengar temanku itu menghela nafas. Beberapa menit berlalu aku yakin dia sudah tertidur di atas lantai dingin itu. Apa tidak apa-apa? Dia bisa sakit karena kedinginan nanti.

Kubuka mataku, bangkit dari sofa empuk itu lalu berjalan memasuki salah satu kamar. Mataku menangkap selimut bermotif koala berwarna biru cerah yang terlipat rapi di atas kasur. Aku langsung mengambilnya dan kembali ke ruang tengah.

Namjoon sudah tertidur lelap. Dengan susah payah aku menyelimuti Namjoon agar tak membuat suara apapun. Setelah itu, aku kembali ke sofa empuk tadi dan tertidur.

"Semoga besok bisa lebih baik."

TBC

AGUST ' D || myg ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang