Bagian 32 - END

489 34 17
                                    

"Bukankah langit itu sangat indah?"

Suara lembut wanita itu yang selalu kudengar setiap hari. Mataku menatap apa yang juga dilihatnya, langit hitam pekat dengan bintang dan bulan sebagai penghiasnya.

Alisku mengerut. Wanita yang tengah duduk di sampingku tersenyum seraya menutup matanya.

"Menurutku bunga-bunga di halaman rumah lebih indah daripada langit itu."

Terdengar suara tawa kecil darinya. Wanita itu membuka matanya, memandangku lalu mengelus-elus rambutku.

"Konon katanya orang yang telah tiada akan menjadi bintang agar kita yang masih hidup bisa melihatnya dari sini."

"Apa ibu sedang merindukan seseorang?"

Senyuman dari wanita yang kupanggil ibu pun sirna. Ia tak lagi mengelus rambutku, dan matanya kembali memandang langit. Perlahan-lahan kulihat bulan yang tadinya bersinar terang, terhalangi oleh awan-awan hitam.

"Lihatlah, ibu! Bintang-bintangnya hilang karena tertutupi awan! Apa orang yang ibu rindukan juga tak terlihat lagi?"

"Awan hitam itu datang sementara, Yoongi. Memang tak setiap hari kita bisa melihat bintang dan bulan bersinar terang di malam hari, namun meski begitu kita harus yakin bahwa mereka masih ada, walaupun tertutup oleh awan."

Saat itu umurku masih terlalu kecil untuk bisa memahami perkataannya. Kedua alisku mengerut dan menatap wanita itu dengan tatapan penuh tanda tanya. Dia tidak marah, justru dia malah tertawa lalu menepuk-nepuk puncak kepalaku.

"Kau akan mengerti saat dewasa nanti."

Semuanya tiba-tiba saja berubah gelap. Di sini seakan aku sedang menonton sebuah acara di mana aku sendirilah pemeran utamanya. Kini aku berada di sebuah ruangan berdinding putih dengan piano cokelat besar di tengahnya.

Seorang anak lelaki, di mana anak lelaki itu adalah aku tengah duduk di hadapan sebuah piano. Aku memainkan beberapa lagu meski melakukan sedikit kesalahan. Aku terlihat putus asa, hingga tak lama kemudian seseorang tiba-tiba saja datang dan menepuk pundakku.

"Bagus! Bagaimana kalau kau bermain dengan ayah?"

Aku tersenyum lalu mengangguk. Bermain bersama ayah adalah hal yang paling kunantikan saat akhir Minggu. Dia selalu tak punya waktu dan aku selalu takut untuk memintanya bermain bersamaku. Aku tidak ingin mengganggu istirahat yang hanya ia dapatkan satu hari selama seminggu.

"Kau belajar dari mana?"

"Aku melihat beberapa video ayah saat bermain piano dan aku mempelajarinya sendiri."

Pria itu sedikit menunduk dan menatapku iba. "Apa kau merasa sedih?"

Aku tersenyum lebar. "Tidak, aku tahu ayah sibuk jadi aku memakluminya."

Ayahku ikut tersenyum. "Ayo kita makan malam!"

=====


Aku terbangun, itu mimpi yang indah tapi berhasil membuat air mataku mengalir begitu saja. Aku merindukan semuanya dan menyesali apa yang telah kulakukan. Apa aku terlambat?

Meskipun aku sendirian di luar sana, setidaknya aku bisa memandangi langit sebagaimana yang kulakukan setiap malam. Aku bisa kembali bermain piano, bercanda dan tertawa bersama teman-temanku.

Tapi, di sini?

Aku benar-benar sendirian, bukan hanya dingin tapi sunyi. Setiap malam aku tidak bisa tidur, mimpi-mimpi menyesakkan selalu datang dan membuatku takut untuk memejamkan mata. Apa ini akan menjadi akhir dari kehidupanku?

AGUST ' D || myg ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang