Bagian 6

420 58 15
                                    


Malam itu, aku pulang ke rumah. Mereka terus berusaha membujukku untuk menginap di basecamp saja. Katanya malam-malam begini tidak baik bagiku untuk berkeliaran ke luar. Memangnya kenapa? Tidak ada matahari di malam hari, dan lagipula aku masih bisa menahan diri kalau kedinginan.

Taehyung terus merengek padaku, dia ingin sekali mengantarku pulang. Aku berusaha untuk menolaknya dengan baik, aku tahu bahwa Taehyung adalah orang yang cukup temperamen, dia mudah marah dan sulit untuk membuatnya tenang kembali nanti.

Akhirnya dia mengerti, itupun dengan bantuan yang lain. Seperti biasa aku pulang jalan kaki. Tidak seperti kemarin, aku berjalan dengan tatapan kosong. Tanpa memperhatikan orang-orang yang berjalan di sekitarku.

Rumahku terlihat sangat menyedihkan. Pintu gerbang terbuka, gelap, sunyi dan menyeramkan. Aku yakin, orang baru yang melewati wilayah ini menganggap bahwa rumahku sudah tak berpenghuni lagi.

Aku berjalan pelan memasuki rumah besar nan gelap itu. Sampailah aku di ruang tengah, ku lirik sebentar garis polisi yang masih ada di depan kamar ibuku. Aku menunduk, tidak jangan lihat itu. Gumam ku dalam hati.

Ku angkat kembali kepalaku, berjalan menuju ke kamar. Bisakah aku tidur malam ini?

Ku dengar pintu rumah terbuka. Ku hentikan langkahku dan berbalik melihat siapa yang datang malam-malam begini. Dia, datang dengan mata dan hidung yang memerah. Apa dia baru saja menangis sepertiku?

Sekarang dia telah berada dihadapan ku, fengan tatapan yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Dia berjalan mendekatiku kemudian memelukku sembari menepuk-nepuk punggungku pelan. Aku hanya terdiam tanpa membalas pelukannya.

"Ayah tahu, ini sulit bagimu."

Ku pejamkan mataku, berusaha menahan semuanya di dalam hati. Cukup tadi siang saja aku bertindak gila. Jangan lagi. Ku kepalkan kedua tanganku kuat, kumohon jangan lagi.

"Masih ada ayah disini, kau bisa berbagi semuanya denganku."

Beberapa menit kemudian akhirnya dia melepaskan pelukannya. Aku menunduk, masih dengan mata terpejam dan tangan yang mengepal kuat. Aku tidak ingin membuat kekacauan lagi. Tiba-tiba kurasakan tangan kirinya memegang bahuku, sontak kubuka mataku dan menatapnya.

Pria itu memiringkan kepalanya dan tersenyum padaku. "Aku yakin kau adalah anak yang kuat. Kau pasti sanggup menghadapi semua ini."

"Hentikan! Jangan bicara lagi!" ucapku dengan suara yang cukup keras. Namun dapat kulihat, pria itu terkejut dan tak lagi tersenyum.

"Aku ingin tidur, jangan menggangguku."

Aku berbalik lalu berjalan cepat menuju ke kamarku. Ku tutup pintu berwarna cokelat itu dan menguncinya dari dalam. Aku terduduk di balik pintu sambil menangis. Selemah ini kah aku sekarang?

Menyesal, iya aku menyesal. Begitu banyak kenangan bersamanya. Begitu banyak hal-hal yang telah ku lalui bersama ibu dan dia dengan cepat meninggalkan ku? Ku angkat kepalaku, menoleh pada foto yang berada di dekat tempat tidurku.

Aku bangkit kemudian mengambil foto itu. Saat itu aku berumur sembilan tahun. Di fotonya aku terlihat lebih gemuk daripada sekarang. Ibu dan ayah berada sampingku sembari memelukku erat. Aku tersenyum di sana dengan dua jari tangan yang terangkat.

Prang

Ku lemparkan foto itu ke lantai hingga kacanya berserakan ke mana-mana. Aku kembali berteriak, mengacak-acak rambutku sendiri sembari menangis cukup keras. Aku benci diriku yang lemah seperti ini.

Aku kembali duduk di lantai dengan tempat tidurku sebagai sandaran. Mataku terus menatap kosong pada foto yang sudah hancur itu. Tak lama kemudian, perlahan aku menutup mataku.

Entah bagaimana aku bisa tertidur, sinar matahari yang menembus ke kamarku berhasil membuatku terbangun. Setelah merasa cukup bertenaga, aku berusaha untuk bangkit dengan kedua tanganku yang memegang tempat tidur.

Aku berjalan pelan, berniat menuju ke kamar mandi. Tiba-tiba kurasakan sebuah benda tajam menusuk telapak kakiku, ah aku lupa. Pecahan kacanya belum ku bersihkan semalam.

Tak jauh dari pintu kamar, aku mengambil sapu dan mulai membersihkannya. Selain itu, aku juga membersihkan jejak-jejak darah di lantai karena lukaku ini.

Setelah semuanya selesai, aku segera menuju ke kamar mandi lalu berkemas untuk berangkat ke sekolah. Ku sempatkan untuk memperhatikan penampilan ku di kaca. Ternyata sangat buruk.

Tring

Bel rumahku berbunyi. Ku ambil tas hitam ku dan berjalan pincang menuju ke pintu depan. Kulihat Taehyung dengan senyuman kotak khasnya sembari melambaikan tangannya padaku.

"Eh kakimu kenapa, Hyeong?" tanyanya dengan kedua alis yang mengerut. Aku hanya menggeleng.

"Dasar kau ini. Ah iya, dari tadi aku berusaha menghubungi mu tapi kenapa nomornya tidak aktif terus? Apa handphone-mu mati?"

Aku kembali menggeleng. "Handphone-ku rusak."

Taehyung mengerutkan alisnya lagi. "Apa? Kenapa bisa rusak?"

"Sudah jam segini, kau mau kita terlambat?"

Lelaki itu melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian membulatkan matanya karena terkejut. Dia segera memapah ku untuk memasuki mobil hitam miliknya. Baguslah, tidak dengan motor hari ini.

Kami sampai di sekolah tepat waktu. Seperti biasa, para murid perempuan sudah berjejer di depan gerbang hanya untuk melihat ketampanan Kim Taehyung. Memang selalu seperti ini.

"Itu temannya Taehyung Oppa? Kenapa dia tidak tersenyum sama sekali?"

Kudengar beberapa orang mengatakan hal itu. Apa maksudnya? Apa masalahnya jika aku tidak tersenyum? Merugikan bagiku? Tidak sama sekali. Aku tidak peduli, biarkan saja mereka membuang waktu untuk membenciku.

"Suga Oppa!"

Aish, lagi-lagi teriakkan gadis itu. Siapa sih?!

TBC

AGUST ' D || myg ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang