Chapter 3

2.8K 271 5
                                    

VITA POV

Jarum jam menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, aku melangkahkan kakiku dengan santai menyusuri koridor sekolah yang sudah ramai.

Beberapa murid tampak berbincang-bincang di depan kelas mereka, para adik kelas melempar senyum dan menyapaku yang kubalas dengan senyum juga. Ya, hanya senyum, karena aku tidak tahu nama mereka dan tidak ingin repot-repot menghafalkannya.

Seseorang menepuk punggungku, tidak perlu melihat wajahnya pun aku sudah bisa menebak siapa yang melakukannya. Menggangguku setiap hari seperti sudah menjadi rutinitasnya saja!

“Selamat Pagi!” tentu saja si kapten basket itu, tidak ada cowok yang berani mendekatiku selain dia.

Aku terus melangkah tanpa memedulikannya, melihat dia dipagi hari selalu berhasil membuat moodku buruk.

“Tadi malem mimpiin gue gak?”

“Najis!” dia tertawa, sinting emang dikatain malah ngakak.

“Oh iya, nanti siang jangan lupa nonton pertandingan ya! dukung gue juga biar semangat! Nanti kalo menang—“

Mataku menangkap sosok jakung berjalan tidak jauh di depanku, aku langsung mengenalinya.

“Miko!”
Aku meringis pelan, bodoh! Aku lupa dia tidak akan bisa mendengar suaraku walau sekencang apapun aku berteriak.

Aku berlari ke arahnya, tidak mempedulikan si kapten basket yang sudah menjadi perhatian karena memanggil-manggil namaku ditengah koridor.

Selamat pagi!” sapa ku ketika sudah berdiri disampingnya.

Selamat pagi!” balasnya tak lupa dengan senyuman yang berhasil membuatku terpesona berulang kali, walau terlihat tak seriang dulu tapi sampai sekarang senyuman itu masih menjadi favoritku.

Kami tidak berbincang setelah itu karena aku menerima telepon dari Dita yang mengomel menyuruhku cepat datang ke kelas. Katanya dia kesepian, padahal jam segini pasti keadaan kelas sudah ramai.

Maklum saja karena hanya aku satu satunya sahabat sekaligus teman yang dia punya, begitu pula denganku. Bukannya kami tidak ingin bergaul dengan yang lain, tapi untuk apa punya banyak teman jika mereka hanya ingin memanfaatkan.

Aku dan Dita sudah sangat sering bertemu dengan spesies manusia seperti itu sampai kami muak melihat mereka.

Aku melirik Miko yang tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbelok memasuki kelas XI IPS-2, aku menarik tas punggungnya sambil memberinya tatapan bingung.

Kenapa kamu masuk ke sana?” sekarang dia yang terlihat bingung dengan ucapanku.

Aku mau masuk kelas.”

Kelas kita di sebelah, ayo!” aku melangkah mendahuluinya, Miko mengekor di belakangku masih dengan wajah bingungnya.

Aku menghela nafas pelan, ternyata dia tidak berubah, ingatannya masih buruk. Semoga saja dia tidak hilang seperti kejadian beberapa tahun lalu karena lupa dimana alamat rumahnya.

Aku memasuki kelas bersama dengan Miko, beberapa murid menyambut kami di depan pintu dengan senyuman mengejek. Aku tidak ambil pusing dan melanjutkan perjalananku menuju bangku, tapi mereka menahanku.

“Minggir.”

“Dih, buru-buru amat sih. Kita kan pengen ngobrol sama lo,” ucap Naya dengan pandangan tidak suka padaku.

“Sama pacar lo juga,” Bilqis menimpali sambil melirik Miko yang berdiri di sampingku.

Aku mulai paham dengan tingkah mereka, percuma saja  menghabiskan menit-menit berhargaku untuk meladeninya, lagi pula ini masih terlalu pagi untuk menghajar orang.

“Minggir!”

“Eh, siapa sih pacarnya si Vita? Kok gue gak tau?” Farah mulai membuka mulut lebarnya yang lebih sering ia pakai untuk menggosip dari pada ikut berdiskusi dalam tugas kelompok.

Bukannya suudzon, kebanyakan orang seperti Naya dan teman-temannya itu tipikal pendiam jika disuruh berdiskusi, menjawab soal, ataupun musyawarah dalam kelompok tapi sangat aktif jika diajak membahas aib orang lain. kalian pasti punya banyak teman seperti itu kan😉

“Itu loh, anak baru yang tuli itu! masa lo gak tau sih?” Dhea ikut berbicara, kini lengkap sudah mereka berhasil membuat telingaku terasa panas.

“Oh, yang tingkahnya kayak anak idiot itu ya.”

Naya and the gang memang tidak menyukaiku dari dulu, biasanya mereka hanya menyebarkan gosip tentangku atau Dita dan terkadang mengadu domba murid lain agar memusuhiku, tapi baru kali ini mereka berani mencari masalah denganku secara terang-terangan.

Aku menatap mereka dengan pandangan datar.

“Ini masih pagi,” aku merenggangkan otot tangan dan leherku sampai terdengar bunyi gemeletuk tulang memenuhi ruangan ini.

Entah sejak kapan suasana kelas menjadi hening, semua murid dikelas menatap kami bahkan Alex yang biasanya tidur ikut menonton dengan wajah bantalnya.

“Dari pada adu mulut mendingan maju satu-satu lawan gue, mumpung gue udah sarapan,”  aku meraih sebuah sapu dan mematahkannya dengan satu kali pukulan, aku tersenyum miring saat mereka bergidik ngeri melihat sapu yang sudah menjadi dua ditanganku.

“Kalian cari masalah sama orang yang salah,” aku melemparkan sapu itu sembarangan lalu maju selangkah, Naya and the gang mundur dan memberi kami jalan.

Aku berbalik dan tersenyum pada Miko yang masih mematung ditempat tadi sambil melihat sapu yang tergeletak di lantai.

Kelas masih hening seperti ketika guru matematika paling killer sedang mengajar, sampai suara Farah memecah keheningan ini.

“Itu… bukan sapu asli kan?” tanyanya, enggan percaya pada benda yang sudah patah di depan matanya itu.
Aldi mendekat dan meraih sapu itu, sepertinya dia juga tidak percaya.

“Ini… sapu asli, kayu beneran!” pekiknya, semua mata tertuju padaku dengan pandangan ngeri. Tapi berbeda dengan Naya and the gang yang sudah terlihat pucat.

Aku melipat tangan didepan dada, memasang wajah paling sombong dan angkuh yang aku punya untuk menatap mereka semua.

“Mulai sekarang siapapun yang berani gangguin Miko harus berhadapan sama gue!” aku berbalik meninggalkan kelas tak lupa menarik tas yang dipakai Miko agar ia mengikutiku.

Satu kelas dengan mereka benar-benar membuatku muak. Padahal ini baru awal tahun ke dua sedangkan kami harus berada di kelas yang sama sampai lulus nanti.

“FYI nih, Vita udah sabuk hitam dari dua tahun yang lalu.”

Suara Dita terdengar jelas di telingaku padahal aku sudah melangkah keluar dari kelas, sepertinya dia memang sengaja.
Entah bagaimana ekspresi mereka setelah mendengar kalimat itu, karena baru kali ini aku menunjukkan keahlianku di depan mereka. 

Dari kelas sepuluh dulu meskipun mereka mencari gara-gara denganku atau membuatku marah, aku hanya memilih diam karena tidak ada gunanya membalas. Tapi semakin lama sepertinya mereka memandang remeh dan menganggapku lemah karena sikap diamku waktu itu.

Kali ini dengan kemampuan yang aku miliki, tidak akan aku biarkan kejadian yang sama menimpa Miko untuk kedua kalinya!

***

Uwaaaaaah, entah kenapa di cerita ini ataupun lapak sebelah karakter heroinnya lebih kuat. Aku  juga agak bosen sama cowok-cowok ikemen atau bad boy yang sering muncul dicerita-cerita lain, itulah sebabnya karakter cowok disini aku buat khalem…

Fyi: kalimat percakapan antara Vita dan Miko jika hurufnya miring berarti pakai bahasa isyarat yaaaa….. (karena aku belum lancar bahasa isyarat:p)

Hope you like it!

Not Perfect [END✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang