Rekomendasi lagu
Story — Radio Romance🐨
Pukul 03.00
Aku terbangun karena merasa haus. Aku beranjak dari kasur.
Sesampainya di dapur aku menuangkan air di gelas dan menegaknya hingga habis. Saat ingin balik ke kamar aku lihat sheva di tangga. Menuruni tangga dengan langkah tertatih-tatih.
Aku mendekatinya "Kok lo udah bangun?" tanyaku dan menuntunya berjalan kebawah.
"Haus," jawabnya singkat.
"Lo duduk dulu, Gue ambilin minum"
Aku kembali lagi ke dapur dan mengambilkan air putih buat sheva.
"Nih," ujarku memberikan air putih ke sheva.
Ia menatapku lalu mengambil minumnya dan menegak habis.
Sheva menaruh gelas yang kosong dia atas meja dan berdiri. Aku masih mengamatinya berjalan ke luar. Di teras. Aku mengikutinya ke teras.
Sheva memilih duduk di kursi kayu yang tersedia di teras rumah. Aku juga ikut duduk di sampingnya.
Kami berdua hanya diam. Tidak ada yang berniat membuka pembicaraan. Aku masih mengamatinya yang sedang menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.
Aku menghadap ke depan "Mau cerita?" tanyaku. Tapi tidak ada jawaban.
Aku menoleh ke samping. Dia menatapku "Lo mau cerita?" tanya ku sekali lagi meyakinkannya. Dan dia hanya menatapku dingin.
Aku kembali meluruskan pandangan ke depan. Hawa dingin malam hari semakin terasa.
Aku menghela nafas "Lo di apain sama mereka?"
Aku meliriknya dan dia masih enggan membuka mulutnya untuk bicara. Apa mungkin masih sakit jika di buat berbicara?
Aku bediri "Masuk. Kalau mau pulang besok aja," ujarku dan melangkahkan kaki masuk ke dalam.
"Thanks."
Aku berhenti saat ingin membuka pintu. Aku membalikkan badan menatapnya.
Dari sorot matanya aku dapat melihat kesedihan yang mendalam di sana. Siluet yang tajam, tatapan yang dingin. Pandangan yang selalu kosong namun memiliki banyak pikiran di kepala. Aku memilih kembali duduk.
Dia menatap bibirku yamg terluka dan pipi yang memar lalu beralih ke tanganku yang di perban dan berakhir menatapku kembali.
"Lo gapapa?"
Aku tersenyum "i'm fine."
Aku menatap langit di atas "Gue masih gak nyangka aja lo bisa di keroyok kayak gitu. Kalau ngga ada gue mungkin lo udah mati kali ya" aku bicara ngawur.
Aku mendengar helaan nafas dari mulutnya "Gue berharap iya" ucapnya dingin lalu masuk ke dalam meninggalkan diriku di sini yang termenung dengan ucapanya.
"Gue berharap iya?" aku mengulang ucapanya tadi.
"Berharap mati gitu? Emang tuhan sebaik apa ke lo buat lo mati dengan gampangnya? Dosa segede gunung, pahala sekecil pasir. Tapi harapanya mati dengan mudah. Kocak."
.
Paginya
Saat ini kami berlima sedang sarapan pagi bersama. Kami makan dengan tenang yang hanya di iringi dengan suara dentingan sendok dan piring.
"Kamu udah mendingan?" tanya bunda.
Aku meliriknya sekilas yang tersenyum tipis ke arah bunda.
Ngeselin nih cowok. Ke gue aja gak pernah senyum. Oh iya, gue kan bukan siapa-siapa nya.
Tapi kan bunda juga bukan siapa-siapanya. Lah?
"Alhamdulillah udah tan," jawabnya singkat
"Kok bisa kemarin kejadian kayak gitu?" kepo banget sih bun.
"Mereka maling. Niatnya mau ngambil mobil saya. Tapi karena saya gak segera turun akhirnya saya di turunkan paksa dan berakhir dengan di keroyok," jelasnya panjang lebar.
Aku langsung menatapnya kagum dan menggelengkan kepala tidak percaya. Gimana mau percaya tadi malam aja ngobrol sama aku dia nya cuek. Ngeselin.
Aku hanya menjadi pendengar yang baik. Tiba-tiba ayah menyahut "Kamu juga. Gak usah sok hebat kalau ujung-ujungnya luka juga. Kamu teriak aja mereka pasti kabur. Ngapain pakai berantem segala. Kamu itu perempuan," ucap ayah sambil memukul pelan tangan ku yang di perban.
"Sakit ayah! Kok di pukul sih?!" aku memanyukan bibirku dan mengelus tanganku yang sedikit perih. Aku dapat melihat sheva menatapku. Zzz aku lagi malas menebak arti tatapanya. Mungkin kasihan.
"Kalau udah tau nantinya bakalan sakit, terus kenapa masih di lakuin."
"Ya namanya membantu orang emang salah?"
"Halah nge les aja mulu."
"Ayah kok nyebelin sih! Yang seharusnya cerewet kan bunda bukan ayah. Ini kok malah kebalik?!"
"Emang kenapa gak boleh? Sombong amat!"
"AYAAAHH!"
Aku merengek seperti anak kecil. Sedangkan ayah, bunda dan kenan tertawa melihatku. Aku jadi ikutan tertawa karena recehnya keluarga kami.
Dapat ku lihat Sheva yang menatap keluarga kami iri. Aku tersenyum padanya. Tapi, tunggu— dia membalas senyumanku walau hanya senyuman tipis yang tidak dapat di lihat orang banyak, kecuali kalau mereka jeli.
Bentar, ini beneran dia senyum ke gue? Kok manis banget bangsat? Jarang-jarang loh dia senyum. Aaaa gilaaa! Gak boleh baper, gak boleh baper. Pekik ku dalam hati.
Entah perasaan hangat apa yang menjalar ke seluruh tubuhku saat melihatnya tersenyum. Aku memang tidak sedekat seperti sahabat-sahabatnya. Namun, aku dapat merubah kata tidak dekat menjadi dekat.
Yang sejauh matahari, kemudian sedekat nadi.
🐨
_____________________
— A L S H E V A —
A/n:
Part ini cukup sedikit ini aja ya. Lagi gak ada ide.
![](https://img.wattpad.com/cover/203026646-288-k120505.jpg)