🐨
Video itu benar-benar tersebar. Ancamannya bukan main-main. Satu sekolah dan isinya tau. Tapi, Aku mencoba tidak peduli.
Mereka semua menghujatku lewat akun sosial media, entah itu instragam, line, atau pun whatsapp. Aku memilih private account untuk akun instragamku, ini usulan dari bunda.
Setelah kejadian lusa, aku di jemput bunda dan langsung pulang lebih awal. Sempat mampir sebentar ke dokter psikiater. Karna aku mengalami trauma besar akan cairan berwarna merah, darah. Sempat juga kena shock attack, tapi allhamdulillah sekarang udah baik-baik aja. Kara minum obatnya banyak. Ummm, sekitar lima pil mungkin. Padahal anjuranya dua pil.
Alasannya ya karena kejadian Almarhumah ibu kecelakaan banyak sekali darah yang tumpah. Tidak, aku tidak bisa merincikan bagaimana kejadian itu. Yang jelas banyak darah berceceran.
Aku sungguh tidak mengerti, di jaman modern yang seperti ini masih ada pembullyan. Hanya karena seorang laki-laki mereka menyakiti fisik dan juga psikis seseorang.
Aku memutuskan untuk tetap masuk sekolah setelah satu hari aku tidak masuk. Padahal, bunda melarangku untuk masuk. Namun aku kekeuh dengan keinginanku. Biarkan aku menyelesaikan masalah ini tanpa campur tangan orang lain.
Ayah sempat mengamuk seperti orang kesetanan setelah tau aku di bully oleh seseorang. Bahkan ayah memarahi adikku Kenan yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Namun, ayah bilang 'Seharusnya kamu bisa jaga Kakakmu di sekolah. Ayah suruh kamu satu sekolah sama kakakmu supaya bisa jaga kakakmu' kata ayah dengan setiap kata penuh penekanan.
Bukan kah itu terlalu kejam? Bagaimana jika adik manisku satu-satunya terluka akan ucapan ayah yang dilontarkan? Tapi, Kenan bilang dia tidak terluka dengan apa yang ayah ucapkan, malahan ayah yang mengingatkan tanggung jawab seorang anak laki-laki yang wajib menjaga saudara perempuannya. Aku tersentuh.
Mobil Ayah berhenti tepat di depan gerbang sekolah. Kenan turun terlebih dahulu setelah salim dan pamit.
"Kalau ada apa-apa bilang ayah. Jangan sampai kejadian kemarin terulang lagi," ucap ayah. Aku hanya mengangguk pertanda iya.
Aku mencium punggung tangan ayah lalu turun dari mobil. Aku memakai jaket kulit hitam, topi hitam dan juga masker hitam.
Udah kayak artis aja gue di liatin.
Aku berjalan memasuki area sekolah dengan dagu sedikit terangkat seolah menantang. Aku tidak peduli. Toh, bukan aku yang berbuat. Prinsipku gini, kalau aku berani berarti aku benar. Tapi, kalau aku takut berarti aku salah.
Semua mata langsung mengarah kepadaku. Aku menghiraukan mereka semua, menganggap mereka tidak ada. Terdengar bisik-bisik para murid yang menatapku.
"Oh jadi dia yang ngelakuin kekerasan."
"Sombong banget sih."
"Jangan deket-deket dia gengs, entar lo mati di tanganya."
Emang gue tuhan gitu yang berhak mencabut nyawa manusia? Goblok banget jadi orang.
"Masih punya nyali dia buat dateng ke sekolah setelah ngelakuin hal keji."
Hal keji apaan bangsat, kalau gak tau gak usah sok tau.
"Mungkin habis ini dia pasti di keluarin dari sekolah."
Halah bacot, bisik-bisik kok satu negara dengar. Ghibah aja teroosss.