Part 21 - Kedua kalinya

16 4 0
                                        


🐨


"Maaf lama."

Seseorang yang ku tunggu dari tadi telah datang dengan menenteng jaket denimnya di bahu. Dia tersenyum, senyum yang menurutku indah, senyum yang menurutku spesial karena aku mampu mendapatkannya.

"Dari mana aja?" Tanyaku dengan nada yang seolah kesal menunggu dia lama.

Telapak tangan lebar mendarat di pucuk kepalaku lalu mengusaknya pelan "Maaf, dari ruang guru."

"Mau ikut olimpiade?"

"Enggak, gue tolak."

"Ngapain di tolak? Kan lumayan nambah prestasi lagi," Penasaran kenapa alasan dia menolak untuk ikut olimpiade.

"Males, bosen."

Aku menatapnya tak percaya, bagaimana bisa dia mengucapkan kata iti dengan mudahnya? "YANG BENER AJA, GILA" Teriakku.

"Hush, mulutnya" Tanganya menyentil mulutku yang baru saja teriak.

"Oke, maaf."

Hening.

Tidak ada percakapan lagi di antara kami. Aku dan Sheva berjalan menuju ke arah tempat mobilnya di parkirkan.

Risih.

Gimana engga, banyak mata yang menatap ke arah kami. Seolah tidak ada pemandangan menarik yang lainnya selain kami.

Disaat aku risih dengan tatapan mereka, ada tangan yang menggenggam erat tanganku tanpa meminta izin terlebih dahulu kepadaku. Kuturunkan pandanganku menatap tangan kami yang saling menggenggam. Hangat. Hanya itu yang ada dipikiranku.

Sesampainya di mobil tautan tangan kami terlepas. Aku membuka pintu kemudi, Sheva memutari kap mobil depan membuka pintu pengemudi.

Aku memasang sabuk pengaman dengan benar, lalu duduk dengan tenang.

Malas untuk memulai pembicaraan, aku memilih memperhatikan pemandangan sekitar. Merenungkan tentang apapun.

Bulan ini, bulan kelahiranku. Namun juga bulan kepergian ibuku. Menghela nafas sejenak, merasakan sesak di dada ketika mengingat kembali.

Sekarang masih tanggal lima. Kurang sepuluh hari lagi. Aku hanya berharap dapat merasakan bahagia tahun ini dari pada tahun-tahun yang kemaren.

Aku meremas ujung rok, mencoba menguatkan diri agar tidak mengeluarkan air mata saat sedang bersama orang lain.

Aku mengerjapkan mata, yang baru sadar bahwa kecepatan mobil ini berkurang lalu menepi di pinggir jalan. Aku menatap Sheva bertanya-tanya.

"Kenapa berhenti?" tanyaku.

"Lo baik-baik aja?"

"Orang tanya malah nanya balik."

"Gue tanya, yakin lo baik-baik aja?"

Menghela nafas kesekian kalinya "Yakin."

"Gue cuma ngeliat lo yang kayaknya lagi gelisah," Ujarnya dengan tatapan yang teduh menatapku.

"Oh itu, cuma memori lama yang muncul sekilas."

"Yakin, baik-baik aja kan? Atau mau di beliin biskuat?" Tawarnya.

ALSHEVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang