Part 22 - Mom

10 4 0
                                    


Rekomendasi lagu
Mom - Jin BTS



🐨


Hari ini tanggal lima belas

Tok tok

Bunyi pintu di ketuk mengalihkan atensi ku yang sedang memandangi bingkai foto mendiang almarhumah ibu di tanganku.

Aku meletakkan bingkai tersebut di atas meja rias lalu beranjak dari kursi berjalan menuju ke arah pintu. Aku memutar kenop pintu lalu membuka pintunya.

"Bunda? Masuk aja Bun" ujarku sembari memberi jalan agar bunda bisa memasuki kamarku.

Aku membiarkan pintu kamarku terbuka lalu menghampiri wanita yang paling aku sayangi di dunia setelah ibu. Ia sedang duduk di tepi ranjang, lalu tangannya menepuk-nepuk kasurku menyuruhku agar duduk di sampingnya.

Bunda menarik kepalaku lalu mengecup keningku dengan lembut, aku memejamkan mataku menikmati perlakuan dari kasih sayang seorang ibu. Perlakuan ini persis seperti apa yang dilakukan oleh mendiang almarhumah ibu terdahulu.

Bunda melepaskan bibirnya yang menempel pada keningku lalu kedua tangannya beralih pada pipiku dan mengelusnya lembut.

Senyuman paling manis yang dimilikinya muncul dan tatapan teduh, nyaman, sekaligus dalam mampu membuatku terenyuh. Ya meskipun ada kerutan di wajahnya karena faktor usia, tapi tak membuat kencantikkannya memudar begitu saja.

"Selamat ulang tahun ya putrinya bunda yang paling cantik," ujarnya lembut.

Tangan bunda yang berada di pipiku turun mengambil tanganku lalu menggenggamnya.

"Bunda minta maaf kalau masih belum bisa jadi ibu yang baik seperti mendiang almarhumah ibumu dulu," tatapannya jatuh ke bawah menatap genggaman kami.

Aku menggeleng dan lantas tersenyum "Enggak, bagi aku bunda itu udah perfect bahkan perlakuan bunda sama persis kayak ibu dulu."

Bunda mendongakkan kepalanya dan memandang ku hangat "Nak, jangan pernah dengerin perkataan mereka yang jahat itu. Ibumu, ibumu meninggal bukan karenamu tapi karena memang sudah kehendak dari yang mahakuasa."

"Tapi, tetep aja. Kalo aja waktu itu aku gak keluar rumah dan menetap di rumah aja, ibu pasti nggak akan ninggalin aku," aku menundukkan kepalaku.

Sebuah telapak tangan mendarat di pucuk kepalaku lalu mengelus suraiku yang panjang dengan lembut.

"Sava, yang namanya kehendak Tuhan itu nggak ada yang bisa mengganggu gugat. Kalaupun ibumu bukan meninggal karena kecelekaan, tapi di kemudian hari pun dia juga akan pergi dari dunia ini."

"Iya tau, tapi tapi sedihnya bunda kecelakaan karena aku, ini juga gak bisa dibantah," demi apapun pembicaraan ini membuatku lebih emosional dan mudah menangis. Shit, air mataku memaksaku keluar.

"Kecalakaan, itu murni kecelakaan bukan karena kamu. Jangan pernah benci hari kelahiranmu nak, bunda sedih kalo kamu terus-terusan kayak gini. Bundaa.. bunda mau kamu bahagia," lirih bunda.

Aku menatap bunda yang pandanganya mulai berkaca-kaca sama kayak aku "Sava, Sava juga pengen Bun.. tapi, tapi entah kenapa aku ngerasa kayaknya nggak pantes buat dapat kebahagiaan." sial, aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi dan aku kembali menundukkan kepala membuat rambutku jatuh menutupi wajahku.

Ibu, kenapa setiap kali menyebut namamu membuat hatiku sakit?

"Jangan ngomong begitu sayang, kamu pantes dapat kebahagiaan. Setiap orang pantas, dan setiap orang pasti dapat porsi kebahagiaanya masing-masing. Jangan nangis," ujar bunda sambil mengangkat kepalaku supaya membuatku menatapnya.

ALSHEVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang