🌧
Kita berdua — aku dan Sheva — memasuki pekarangan rumah miliknya setelah terjadi perdebatan kecil diantara kami. Finalnya aku memaksa untuk tetap masuk dari pada pulang. Jauh-jauh kesini terus pulang lagi? Huh, gak etis banget.
Sial, saat berada di halaman rumahnya terdapat mobil yang di letakkan di garasi rumahnya. Bukan, bukan karena bagusnya mobil itu. Tapi karena — Ah sudahlah mungkin aku salah lihat.
Kembali melanjutkan jalan yang sempat terhenti beberapa detik tadi. Sheva mengetuk pintu rumahnya beberapa kali, sedang aku masih memikirkan apa itu benar miliknya?
"Lo kena— "
Ucapan dia terpotong karena mamanya sudah membuka pintu terlebih dahulu. Baguslah, aku lagi malas di tanyai. Mamanya membukakan pintu lebar-lebar, membiarkan kami masuk terlebih dahulu lalu kami disuruh duduk di sofa warna turqoise miliknya di ruang keluarga. Yang menurutku, umm... ini lebih dari ekspetasi yang aku kira di luar tadi.
Dalam rumahnya mampu membuatku mendecak kagum. Bangunan yang begitu luas dan megah, sepertinya mereka orang kaya.
"Duduk dulu, mama panggilin papanya Sheva sekalian buatin minuman, mau minum apa?"
Tawarnya."A-ah air putih aja tan, makasih."
"Panggil aja mama."
"I-iya tan— eh.. Ma," Jawabku gugup.
"Santai aja gausah kaku, saya gak akan gigit kok" Ucapnya. setelahnya dia berlalu pergi dari hadapan kami.
Huft, aku bernapas lega, setelah tadi kurasa pasukan oksigen di udara menipis ketika berbicara dengan orang tua perempuannya. Ini masih mamanya, gimana papanya? Masih gak habis fikir semudah ini aku mampu di terima keluarganya yang kaya? Ya, yaudah sih. Harusnya aku kan bersyukur.
Tentang mobil itu... Apa aku salah lihat ya? Tapi.. Nomor plat mobil itu persis dengan mobil orang itu. Empat angka, yaitu 1—
"Woi! Ngelamun aja elah!" Sentaknya di depan mukaku membuatku mengerjapkan mata beberapa kali.
Sial.. Kenapa wajah kami sedekat ini. Oh astaga, ini gak baik buat jantung. Aku memundurkan wajahku beberapa inci darinya setelahnya dia ikut menjauhkan wajahnya juga lalu kembali dengan posisi semulanya yang duduk di sampingku.
"Lo kenapa gak banyak ngomong kayak tadi?" tanyanya.
"Gapapa kok, beneran. Cuma ya.. Kepikiran sesuatu aja," ucapku yang diakhir kata semakin memelan.
Setelahnya tidak ada percakapan dari kami. Sheva memilih untuk bermain dengan ponselnya. Sedangkan aku masih memandangi seluruh penjuru rumah ini satu-satu.
Mamanya datang menuruni tangga lalu berbelok ke arah dapur, sepertinya. Lalu kemunculan seseorang seperkian detik mampu membuatku diam membisu. Rasanya ini seperti—
Gak mungkin
Demi apapun tolong katakan ini mimpi.
Aku mencubit pipiku dan itu rasanya sakit, berarti ini bukan mimpi, ini... Nyata.
Orang itu, bukan, maksudku orang yang menabrak ibuku ada disini? Di rumah... S-sheva? Aku spontan menolah ke sampingku dengan pandangan terkejut. Dan dia masih fokus dengan gadgetnya.
Suara langkah kaki dari tangga sana mengalihkan atensi Sheva dari ponselnya lalu menatap orang itu dan bergantian menatapku yang sedari tadi tak berkedip memandanginya. Dan reaksi selanjutnya adalah sama terkejutnya denganku.
"Dia... siapa?" tanyaku menuntut meminta jawaban sembari menunjuk dia siapanya.
"Dia... Papa gue."