Bagian Kedua

10.7K 114 0
                                    

"Hai Na, jadikan kita kencan hari ini?" sapa seseorang di sana, siapa lagi kalau bukan Theo, lelaki yang kemarin resmi jadi pacarku.

"Iya bawel, nanti sehabis aku kerja. Dahh..." Aku menutup panggilan dari dia.

Tadi pagi, dia mengirimkan beberapa pesan tentang kencan hari ini dan sangat terlihat dari isi pesannya, bahwa dia senang sekali.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, belum terbiasa dengan semua ini.

Akhirnya pekerjaanku selesai, aku meregangkan otot pundakku yang terasa keram banget. Gini sih risiko kalau jadi asisten manajer, paling tidak harus dapat bertahan di depan komputer berjam-jam.

Aku melihat hpku, sudah jam 16.30 Wib waktunya aku ketemu Theo.

Sebenarnya aku masih agak risih bertemu seseorang di luar kantor, jujur aku belum pernah pacaran.

Sebenarnya dulu aku pengen banget punya pacar dan pernah menyukai seseorang tapi orang itu secara terang-terangan menolakku dan aku sangat patah hati. Mulai saat itu, aku memutuskan bodo amat untuk berhubungan lagi dengan yang namanya rasa suka, terlalu menyakitkan.

Disatu sisi aku bersyukur, ternyata ada juga orang yang menyukaiku walaupun sebenarnya aku masih belum memiliki rasa sama dia, tapi tidak masalah, aku coba dulu, lagian umurku sudah cukup untuk menikah.

"Hai Nana, kamu mau pulang? Mau aku antar?" sapa seseorang yang aku kenal jelas suaranya. Dia partner aku di kantor dan orangnya luar biasa baik.

"Eh, emang kamu pulangnya ke arah mana?"

"Gak papa, ayok aku antar kamu kemana aja."

"Okedeh, yes dapat tumpangan gratis. Hehehe..." Aku tertawa kecil dan membawa tasku mengikuti Beni.

Iya benar, nama dia adalah Beni, seumuran sama aku dan kami sudah saling kenal sejak kuliah.

***

"Aku di sini aja Ben." Aku menunjuk ke sisi kiri jalan dekat tempat aku janjian dengan Theo.

Aku tersenyum kepada Beni karena dia sudah rela ambil jalan berlawanan dengan rumahnya, dan mengantarkanku sampai ke sini.

"Oke siap, hati-hati ya."

Aku keluar dari mobil Beni dan mencari lelaki yang sudah menjadi pacarku itu.

Mataku tertuju kepada seorang laki-laki yang sudah terseyum lebar dan dia mengangkat salah satu tangannya melambai ke arahku.

Dia mengenakan kaus oblong dan jaket jeans yang terkesan santai namun tetap rapih. Aku berjalan mendekat ke arahnya.

"Tunggu Na, hp kamu ketinggalan." Beni keluar dari mobil dan menarik tanganku menghentikan langkahku.

"Oh iya, untung kamu lihat, makasih ya Ben."

Tiba-tiba Beni memelukku entah kenapa dan aku kebingungan, hanya bisa melongo melihat dia melakukan itu.

"Ben..."

"Lain kali hpnya jangan ketinggalan ya, nanti kalau kamu ada apa-apa dan hpmu ketinggalan, kan kamu gak bisa ngabarin aku."

"Gila, emang kamu siapaku, lagian aku gak akan hubungin kamu lah, lepasin cepat, sesak nih..." nadaku bercanda.

Beni menanggapi perkataanku dengan ringan dan tertawa.

"Hahaha... Iya bawel." Beni melepas pelukannya dan dia masuk kembali ke dalam mobilnya.

"Dahhh, hati-hati..." Aku melambaikan tangan dan Beni pun berlalu.

Aku kembali mencari laki-laki yang sudah dari tadi menarik perhatianku.

Dia masih di sana berdiri dengan tegap dan melihat ke arahku, sayangnya ekspresinya berubah, tidak seperti yang tadi tersenyum lebar, sekarang dia cemberut, memalingkan wajahnya dariku.

Aku mendekatinya dan mencoba untuk melihat wajahnya kembali.

"Hei..." Aku menyapanya.

"Ada apa?" Aku bertanya memastikan kenapa dengan ekspresinya tadi.

Dia berbalik dan melihatku. Ekspresinya masih sama seperti yang tadi masih cemberut dan sekarang dia menyilangkan tangannya.

"Kamu tahu bahwa kamu adalah milikku?" Dia mulai berbicara tetapi dengan nada sedikit ditekan.

"Hah?" Aku bingung, arah percakapan ini kemana.

"Kamu kenapa sih?" Aku bertanya lagi memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dia tiba-tiba berkata seperti itu.

"Aku gak suka melihatmu dipeluk laki-laki lain, apalagi tepat di depanku."

Mendengar perkataan Theo barusan, jantungku berdetak kencang, aku merasakan pipiku panas dan kepalaku sesaat tidak dapat berpikir apa-apa.

Omaigat, ini perasaan apa? Seseorang memperhatikanku, seseorang sedang cemburu padaku.

Aku langsung mengembalikan pikiranku dan mulai berbicara.

"Aaaaa... ayo kita pergi." Aku menarik lengannya dan berusaha untuk mengalihkan perhatiannya, padahal sebenarnya aku sedang menyelamatkan jantungku yang mungkin suaranya bisa dia dengar.

"Bae..." Dia berhenti, melepaskan genggaman tanganku, membuatku berhenti melangkah.

"Aku gak suka kamu melakukan itu lagi." Dia berkata tegas dan menatap lembut ke arahku.

Aku bingung, aku harus bagaimana. Aku mengelus alisku dan berpikir bagaimana caraku untuk mengalihkan perhatiannya.

Aku dengan spontan menarik bajunya dan mendekatkan wajahnya ke arahku. Aku mencium pipinya dengan mata tertutup.

Cupp, sebentar aku menciumnya dan melepasnya kembali.

"Iya bawel, aku tidak akan melakukannya."

Aku merasakan pipi dan kepalaku panas, jantungku berdetak cepat. Aku melihatnya, dia terdiam seperti es beku dengan mata terbuka lebar.

"Kamu menciumku di depan umum?" Dia memegang pipinya yang sudah aku cium itu dan melihatku.

"Kenapa? Kamu kan pacarku."Aku berusaha bertindak sok cool dan ternyata tidak bisa, pipiku makin panas, dan sepertinya juga sangat merah.

Aku melangkahkan kakiku dan semakin cepat. Aku mencoba untuk kabur darinya namun sia-sia, dia mengikutiku dari belakang.

Ahh malunya, batinku.

Namun tanpa kusadari jarak kami semakin jauh, apa aku yang berjalan terlalu cepat atau dia yang semakin melambat, aku tidak tahu.

"Kamu kenapa? Sini dekat sama aku." Aku memanggilnya. Aku masih dapat melihat dengan jelas warna merah di telinganya.

"Sini, aku tidak akan memakanmu. Kalau kamu mau, aku tidak akan menciummu lagi."

Perkataanku itu membuat dia sedikit terkejut dan langsung mendekat kepadaku. Sekarang dia sudah di sampingku memegang tanganku.

"Aku masih mau kamu melakukannya. Aku menunggu kejutan darimu." Dia tersenyum membuatku memalingkan wajahku dan menutupnya dengan salah satu tanganku. Aku masih malu atas apa yang aku lakukan.

"Gak akan, sana pergi..." Ucapanku berbeda dengan apa yang kuinginkan. Aku sedikit menghempaskan tangannya namun masih tetap memegangnya.

Astaga, aku mencium pipi pacarku di depan umum, rasanya seperti makan ayam goreng, renyah sekali.

"Kita mau kemana?"

"Yuk, kita makan dulu sekalian makan malam."

"Oke..."

Kamipun pergi mencari tempat untuk makan malam.

AmoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang