“Na, kamu gak papa kan?” Beni menghampiriku ke kursiku.
Aku melihatnya, mencoba untuk tetap kuat dan aku tersenyum, seakan tidak terjadi apa-apa.
“Yah, gak bisa dibilang gak papa, tapi aku baik-baik saja.”
“Ada masalah apa sih Na?”tanya Beni.
“Sepertinya aku membuat kesalahan pada laporan salah satu produk kita, dan itu kemarin di presentasiin sama bos kita, yah mau gimana lagi. Aku yang salah sih.”
“…”
“Tapi gak seperti itu juga, dia tidak seharusnya membentakku. Kan bisa dibilang baik-baik.” Mulutku tiba-tiba mengucapkan kalimat ini. Aku hanya merasa kesal dengan apa yang aku alami.
“Aku mengerti maksudmu. Aku mungkin gak bisa menghiburmu, tapi aku selalu ada kalau kamu pengen cerita.”lanjut Beni.
“Iya Ben, makasih ya.” Aku tersenyum kepadanya.
“Oh iya, ntar sore habis kerja kita keluar mau?” Beni menaikkan salah satu alisnya sembari tersenyum kepadaku.
“Boleh sih, mau kemana?”
“Hmmm… kemana ya? Makan malam aja gimana?”
“Boleh. Oke…”
“Oke sampai jumpa.”
Aku melanjutkan tugasku, ku coba untuk mengalihkan perhatianku agar tidak teringat lagi dengan kejadian tadi pagi. Sesekali aku melirik ke ruangan Theo, tapi dia tidak ada di ruangan.
Kesel, batinku.
***
Hpku berbunyi, kulihat bahwa Theo mengirim pesan. Aku tidak tahu apa lagi yang mau dia sampaikan.
Pikiranku mengatakan untuk tidak memperdulikannya setelah apa yang telah dia lakukan, tapi hati kecilku mengatakan untuk membaca pesan darinya, siapa tahu penting. Dan ya kata hatiku menang. Aku membuka pesannya.
Kamu ada waktu? Aku ingin ketemu.
Itu isi pesannya, membuatku semakin kesal.
Tidak bisa dipungkiri, pikiranku kadang merenggut tindakanku. Kuketik apa yang ada dipikiranku dan ku kirim padanya.
Aku ada janji lain, maaf.
Setelah kerjaanku selesai dan jam sudah menunjukkan waktu pulang, aku merapihkan mejaku dan pergi.
Hari ini sesuai dengan janjiku, aku mau makan malam dengan Beni.
Sebenarnya aku tidak tahu apa yang aku lakukan ini benar atau tidak, tapi satu hal yang pasti ingin aku lakukan adalah menjauh sejenak dari Theo.
Tidak papa kan? batinku. Sebenarnya aku cukup cemas.
Tapi...
Kalau aku nekat dekat dengan Theo sekarang dengan kondisiku yang masih kesal padanya, mungkin aku akan marah dan mungkin akan melukai hatinya.
Bagaimana pun juga, aku masih tetap menyukainya.Aku keluar dari ruangan dan berjalan di lobi kantorku.
Astaga ada Theo. Aku harus bagaimana? Aku panik, aku melihat sekitarku untuk mencari tempat bersembunyi.
Semoga dia belum melihatku, batinku.
Setelah dia berlalu, aku keluar dan segera menuju tempat parkir. Aku naik taksi dan berlalu dari sana.
Lebih baik seperti ini dulu, batinku.
***
Akhirnya aku sampai dan kulihat Beni sedang duduk di salah satu kursi memainkan hpnya.
“Hei Ben… lama ya? Maaf tadi ada sedikit hal…”
“Gak papa. Ini kamu pesan aja, aku udah pesan.”
Aku menerima daftar menu makanan di sana, kulihat makanan yang menarik dan mungkin bisa mengubah suasana hatiku sekarang.
Kami berdua ngobrol sambari makan.
Aku menyukai suasana seperti ini, suasana dimana aku bisa bicara sepuasnya tanpa beban, walaupun bukan dengan Theo.
Sebenarnya aku suka kepribadian Beni. Dia jujur, ngomong apa adanya, pendengar yang baik, dan gampang banget ketawa. Hanya saja dia sedikit tertutup tentang dirinya, dia gak pernah cerita tentang keluarganya atau hubungannya dengan orang lain, dia hanya cerita pekerjaan, fenomena, dan kadang ibu-ibu di kompleksnya.
Katanya pakaian mereka tidak sesuai dengan umur dan itu sangat menjengkelkan untuknya.
“Haha.. Itu gak papa, asal mereka senang berpakaian seperti itu. Tidak masalah menurutku.” Aku sedikit tertawa.
“Heh… kamu bisa ngomong gitu karena kamu tidak melihatnya.” Dia pura-pura memasang muka serius.
Aku hanya tersenyum, dia lucu sekali, batinku.
***
Besoknya di kantor, aku mencoba untuk bersikap biasa aja, walaupun sebenarnya mungkin tidak bisa.
Kemarin malam, Theo meneleponku, dan karena tidak tahu harus ngomong apa, dan ya.. aku tidak mengangkatnya.
Sikapku sangat buruk, aku sadar itu. Kalau pacarankan gak harus senang aja, tapi pasti ada sedihnya, dan aku masih tetap belum bisa terima kalau Theo kemarin membentakku, dan semua teman-teman kantorku mungkin melihatnya.
Aku berjalan mendekati mejaku, kucoba untuk tenang dan fokus ke tugas-tugas yang hari harus kukerjakan.
Aku tidak berani melirik ke ruangan Theo, takut kalau dia ada di sana dan melihatku juga.
Aku tetap fokus dan kembali mengetik, sesekali ku minum kopi yang sudah kubeli tadi pagi.
“Halo Na…” Seseorang mengagetkanku dan pikiranku buyar.
“Beni…”
“Kamu kaget ya… Hahaha… maaf.”
“Lagian kamu hening banget.”
“Hahaha… masih sibuk seperti biasa ya sampe lupa waktunya makan siang.”
Aku melihat jam di komputerku, benar waktunya istirahat.
Aku salut pada diriku sendiri yang ternyata bisa fokus juga hingga lupa waktunya istirahat.
“Kamu gak mau ke kantin?”
“Mau, bentar…” Aku mematikan komputerku dan kami berdua keluar dari ruangan itu.
Saat aku berjalan sembari berbicara kepada Beni, Theo mendekati kami dari arah yang berbeda.
Aku melihatnya sebentar, mata kami berdua bertemu, namun aku segera mengalihkan pandanganku.
Dia sepertinya pucat, batinku.
Kami tetap berjalan dan semakin dekat.
“Halo pak…” Beni menyapa Theo dan aku melihatnya tersenyum. Begitu juga dengan Theo, dia tersenyum kembali.
Sepertinya dia baik-baik saja, batinku.
Aku melanjutkan langkahku di samping Beni.
Astaga, aku lupa menyapanya, bagaimanapun juga dia kan bosku, dasar Nana parah, batinku.
“Kamu gak makan?” Beni menghampiriku dengan nasi beserta lauk di piringnya.
“Aku? Sepertinya aku tidak lapar, aku minum jus saja.” Aku berdiri dan memesan jus kesukaanku, jus jeruk.
Jus jeruk? Astaga… kenapa si aku tidak bisa lupa sama kejadian kemarin, batinku.
Jus jeruk memang menjadi salah satu saksi kejadian kemarin.
Bodo amat, aku tetap suka jus jeruk.
Setelah kami makan siang dan hendak kembali ke ruangan tempat bekerja, Theo berjalan menuju meja kami. Ekspresinya tidak dapat ku tebak, namun wajahnya masih terlihat pucat.
Jantungku berdetak cepat, tidak tahu harus berbuat apa-apa, aku memutuskan untuk tidak melihatnya dan menunduk.
“Halo Bu Nana, bisa kita berbicara sebentar?” Dia memecahkan keheningan dan membuatku tiba-tiba berdiri karena paniknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amore
Romance"Oke deal. Kalau dari aku, pertama, tidak ada seks selama pacaran, tidak ada megang payudara atau kemaluan. Itu dilarang." Dia terlihat syok melihat aku mengungkapkan semua itu secara terbuka dan tidak ada keraguan di raut wajahku.