Aku terbangun saat mendengar alarm hpku berbunyi.
Aku membuka mataku, kulihat langit-langit kamarku dan tersenyum.
Selamat pagi Bapaku yang di sorga, sapaku.
Aku memang senang melakukan itu, seakan rasa ucapan syukurku masih diberi kesempatan untuk menjalani hari baru.
Aku kemudian mengambil Alkitab di sebelah bantalku dan mulai saat teduh.
Selesai saat teduh, aku melangkahkan kakiku menuju kamar mandi.
“Semangat!” ucapku kepada diri sendiri.
Saat mandi kuingat kembali kejadian kemari malam.
“Awww… so sweet.”teriakku cukup keras.
Selesai mandi dan sarapan roti, aku pergi menuju kantorku.
***
“Na, kamu dengar gak katanya kepala bagian pemasaran diganti.” Beni tiba-tiba menghampiriku yang sedang duduk di kursi kerjaku dan mengatakan seperti itu.
“Hah?” Aku masih bingung.
Kulihat sekitarku untuk memastikan. Kulihat ke arah ruangan Theo, namun dia tidak ada di sana.
“Iya, katanya sih begitu.” Beni menambahkan.
Aku masih memutar pikiranku dengan semua perkataan Beni itu. Kemudian ku ambil hpku dan kulihat ada pesan atau tidak.
Tidak ada, apa yang terjadi, batinku.
“Kalau kamu gak percaya coba tanya langsung aja. Aku juga masih ragu sih ini benar atau gak.”
Aku melihat Beni dengan wajah seriusnya. Aku mengangguk tanda mengiyakan perkataannya.
Aku mengirim pesan kepada Theo dan kutunggu balasan dari dia.
Sembari menunggu aku melanjutkan tugasku, seperti biasa aku harus memasukkan data penjualan produk dan mengolahnya.
Kok belum ada balasan juga ya, batinku.
Aku sedikit khawatir, sudah hampir istirahat makan siang namun belum ada balasan pesan dari Theo. Hari ini juga dia tidak datang ke kantor.
Pikiranku kemana-mana, aku takut dia melakukan hal yang membahayakan dirinya karena semua ini.
Berulang kali kucoba telepon tapi tidak diangkat.
Kamu di mana sih, batinku.
***
Akhirnya aku pulang dari kantor.
Biasanya aku pulang bareng Theo, namun sekarang tidak.
“Anak ini dimana sih…” Aku mencoba menghubunginya lagi namun sama aja, tidak ada jawaban.
Aku memutuskan untuk menghampirinya ke rumahnya.
Sesampai di sana, aku menekan tombol bel rumahnya dan berulang kali memanggilnya namun tidak ada jawaban. Ku coba menghubungi juga namun tidak diangkat.
“Oh iya, Michael…” Aku teringat salah satu teman Theo dan mencoba menghubunginya.
“Halo Michael…”
“Iya benar. Ini siapa ya?” ucap Michael.
“Ini aku Nana, kamu ingat kan. Sebelumnya kita pernah ketemu di bar waktu Theo mabuk.”
“Oh Nana, pacarnya Theo. Ingat, ingat. Ada apa Na?”
“Ini, kamu tau gak kira-kira Theo di mana?”
“Theo? Theo gak ada bersamaku. Aku juga sudah jarang melihatnya. Emangnya ada apa dengannya?”
“Hmmm… gitu ya, gak ada apa-apa kok. Yaudah makasih ya.”
“Ohh… oke.”
Aku mengakhiri percakapanku dengan Michael.
Aku masih tidak tahu Theo di mana. Dia juga jarang cerita tentang tempat yang sering dia kunjungi.
Aku memutuskan untuk mencari di setiap tempat yang sering kami kunjungi bersama, namun hasilnya nihil. Theo tidak ada di sana.
Sudah jam 19.00 Wib namun aku belum bisa menemukan Theo.
Aku hanya bisa berdoa di dalam hati, kiranya Tuhan menjaga dan menyertai Theo. Jangan sampai dia berpikiran aneh dan melakukan hal yang membahayakan dirinya.
Sepanjang perjalanan ke apartemenku, aku selalu memikirkannya. Kulihat kiri dan kananku, sekiranya aku menemukan Theo di jalan, namun tidak ada.
Aku sangat khawatir.Kamu di mana sih Theo, batinku.
Sesampai di depan apartemenku, aku mencari kunci kamarku dari tas yang ada di lenganku.
Aku memutuskan untuk menyudahi pencarian Theo hari ini.
Saat aku mencari kunci kamarku tiba-tiba seseorang berdiri di depanku.
Aku terkejut dan melihat bahwa seorang laki-laki berdiri di depanku.“Theo…” Aku melihatnya terkejut memastiksan kalau itu benar Theo.
Aku melangkahkan kakiku agar lebih dekat ke dia dan memeluknya.
“Kamu…” Aku tidak melanjutkan kalimatku. Aku hanya bisa melepaskan kekhawatiranku dengan memeluknya.
Dia tidak berkata apa-apa, namun membalas pelukanku.
“Kamu kenapa?” Aku berbicara dengan masih memeluknya.
Karena tidak ada jawaban dari dia, aku melepas pelukanku dan melihatnya.
Kulihat wajahnya sedih dan matanya merah.
Aku hanya bisa menghela napas dan mengelus lengannya.
“Ayo kita ngobrol.” Aku menarik tangannya dan membawanya masuk ke apartemenku.
Aku tidak tahu lagi harus membawa dia kemana. Tempat yang paling aman untuk cerita adalah di sana.
Mungkin saja nanti dia akan menangis, batinku.
Aku membuka pintu kamarku dan mengajaknya masuk.
Kutaruh tasku dan kami duduk saling berhadapan.
Kulihat wajahnya masih sedih dan dia tidak menatapku. Aku berdiri hendak mengambil segelas air untuknya.
Namun dia tiba-tiba memegang lenganku, menghentikanku.“Kamu mau kemana?”
Aku terkejut dan kulihat wajahnya sekali lagi.Aku tersenyum dan melepaskan genggamannya.
“Aku mau mengambil segelas air minum untukmu.”
Kuserahkan gelas berisi air minum yang ada di tanganku dan kembali duduk di depannya.
“Bae, ayo kita pergi dari sini.” Dia tiba-tiba mengucapkan itu.
Aku bingung, mencoba mencerna apa maksud perkataannya tadi.
“Kita mau kemana?”
“Kemana aja, negara lain seperti Eropa, Amerika, atau Australia mungkin.”
Aku terdiam, ternyata maksudnya begitu. Aku kira pergi maksudnya ke suatu tempat selain kamarku sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amore
Romance"Oke deal. Kalau dari aku, pertama, tidak ada seks selama pacaran, tidak ada megang payudara atau kemaluan. Itu dilarang." Dia terlihat syok melihat aku mengungkapkan semua itu secara terbuka dan tidak ada keraguan di raut wajahku.