Sesampainya di depan rumah Theo, aku masih belum bisa berpikir jernih. Kulangkahkan kakiku mengikuti dia dari belakang.
Sesampainya di depan pintu, dia berbalik badan untuk melihatku dan menghampiriku.
Jarak kami berdua memang agak jauh, aku memang sengaja melambatkan langkahku agar dia masuk duluan.
Sekarang dia tepat di depanku dan melihatku lekat.
“Kamu sedang memikirkan apa?” Dia bertanya.
“Aku? Aku tidak memikirkan apa-apa.” Aku berusaha untuk terlihat tenang.
Dia tersenyum melihatku dan tiba-tiba dia mengelus kepalaku.
Aku terkejut, baru kali ini dia mengelus kepalaku. Aku sedikit panik.
“Kamu tenang aja, aku sepenuhnya sadar kok.” Dia tersenyum lembut dan menggenggam tanganku dan kami berjalan mendekati pintu rumahnya.
Karena kamu sepenuhnya sadar, aku makin… ahh sudahlah, batinku.
Kami berdua masuk ke rumahnya sambil bergandeng tangan.
“Kamu mau minum dulu?”
“Boleh, air putih aja.”
Dia tersenyum dan mengangguk.
Dia pergi dan aku memutuskan untuk duduk di sofa.
Rumahnya bersih dan rapih, aku heran dia bisa melakukan itu sebagai seorang laki-laki. Biasanya kan laki-laki jarang memperhatikan kebersihan.
Dia kemudian datang dengan gelas berisi air di tangannya.
“Makasih…” Aku menerima dan meminumnya.
“Aku mau mandi dulu sebentar. Kamu mau di sini atau ikut?”
“Ikut?” Aku terkejut dan panik hingga membuatku terbatuk.
Dia menepuk-nepuk punggungku, ekspresinya sedikit khawatir.
Aku melihatnya, bingung maksud dia apa.
Seakan dia tau maksud tatapanku, dia mengalihkan tatapannya dan aku sempat melihat wajahnya memerah.
“Maksudku, kamu mengunggu di kamarku, bukan di sini. Tentu saja aku akan mandi di kamar mandi.” Dia menjelaskan tanpa melihatku.
“Yah tentu saja.”
Terkadang mulutku memang tidak bisa dikontrol. Aku tiba-tiba saja mengucapkan apa yang ada di pikiranku tanpa memikirkannya dulu.
Dia melihatku dan tersenyum manis.
Dia berdiri dan menuntunku berjalan mendekati kamarnya.
Setelah dia membuka pintu, dia berhenti dan melihatku.
“Silakan masuk.”
Aku sedikit ragu namun kuputuskan untuk masuk.
“Kamu bisa menunggu di situ.” Dia menunjuk ke salah satu sofa yang ada di kamarnya.
“Wah, kamarmu bersih ya. Boleh aku melihat-lihat?” Aku senang dengan dekorasi kamarnya, terlihat sangat nyaman dan bersih.
Dia tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya.
Kemudian dia pergi ke kamar mandi.
Aku masih terpukau dengan kamarnya. Dinding kamarnya yang berlapis warna coklat dan terlihat sangat elegan. Beberapa foto menempel di dindingnya. Aku bisa melihat betapa senangnya dia di foto wisudanya. Disana masih ada ibunya.
“Wah, dia anak yang baik…”
Aku berjalan melihat setiap dekorasi kamarnya, sangat menarik lebih menarik dari kamarku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amore
Romance"Oke deal. Kalau dari aku, pertama, tidak ada seks selama pacaran, tidak ada megang payudara atau kemaluan. Itu dilarang." Dia terlihat syok melihat aku mengungkapkan semua itu secara terbuka dan tidak ada keraguan di raut wajahku.