"Pagi Nana..."
"Pagi Ben..."
"Gimana kemarin, lancar?" Beni menaikkan kedua alisnya, wajahnya berekspresi penasaran.
"Apa?" Aku bingung. Aku enggak paham bagian yang mana yang lancar.
"Itu loh yang ngomong sama pacarmu." Beni memperjelas dengan menunjuk ke ruangan Theo tapi dengan mulutnya.
Aku tersenyum melihat tingkahnya, memang hanya orang Indonesia yang menunjuk arah dengan mulutnya.
"Dasar..." Aku masih tertawa kecil.
"Gimana?"
"Ya begitu, lancar-lancar."
"Seriusan nih gak mau cerita lebih?"
"Gak... pergi sana." Nadaku sedikit memerintah tapi masih tersipu dengan apa yang kulakukan kemarin. Aku berani memeluk pacarku dan kami ngobrol banyak.
Menurutku pacaran itu bukan soal senangnya aja, tapi harus bisa saling membangun, memeluk saat sedih, tertawa saat senang, dan bahkan kangen setengah mati. Yang terpenting keduanya saling bertumbuh menjadi lebih baik.
Lamunanku terganggu saat kulihat Theo berjalan bersama dengan seorang wanita cantik dan Theo sedang menggendong seorang anak perempuan yang lucu. Mereka berjalan bersama menuju ruangan Theo.
Aku tidak mengenal wanita itu, siapa ya, batinku.
Aku melihat sekilas apa yang mereka lakukan di ruangan Theo. Terlihatku bahwa anak kecil itu memeluk Theo dan menciumnya dengan wajah gembiranya. Theo sedikit bermain dengan perempuan kecil itu.
Ternyata dia suka anak-anak ya, batinku.
Kemudian aku mengalihkan pandanganku saat ku lihat bahwa Theo melihat diriku. Aku malu setengah mati.
Apakah dia melihatku? batinku.
Sekitar 10 menitan, akhirnya perempuan kecil dan wanita itu keluar dari ruangan Theo. Mereka terlihat sangat ceria dengan senyuman lebar di wajah mereka.
Aku hanya bisa melihat. Senang rasanya melihat keluarga yang penuh dengan senyuman.
Tentu saja sebenarnya aku gak mau Theo dengan wanita lain selain diriku, tapi dengan senyuman seperti tadi, sangat menyenangkan hati bagi siapa pun yang melihat.
Aku melanjutkan tugasku.
***
Aku berjalan berdua dengan Theo.
Setelah semua urusan kantor selesai, dia mengajakku pulang bersama, dan tentu saja aku mau.
"Tadi pagi, wanita yang di ruanganmu itu siapa?"
"Oh itu, dia Jane dan anak kecil itu namanya Michel. Dia sepupuku, anak paman yang pernah bertemu kita di kantor. Kamu ingat gak?"
"Paman?" Aku mencoba mengingat-ingat yang mana.
"Itu loh, hari pertama aku di kantor dan kita ngobrol tapi ada laki-laki yang melihat kita."
"Ohhh.... Aku ingat, iya kau ingat. Kamu memang bilang paman sih waktu itu."
"Iya..."
"Oh, jadi wanita itu berarti istri pamanmu?"
"Iya."
"Aku kira dia..." Aku terdiam tidak melanjutkan kata-kataku.
"Kenapa?" Dia mengerutkan keningnya.
"Hehehe... aku kira anak perempuan itu anakmu bersama dengan wanita itu."
"Hah? Ngaco kamu..." Dia sedikit melihatku dan kembali berjalan memegang tanganku.
"Yah, kan aku gak tau. Lagian kalian memang terlihat seperti keluarga. Sangat bahagia."
"Hahaha... Aku memang sangat menyayangi mereka, apalagi sepupuku itu. Sangat menggemaskan."
"Kalau aku?" Aku menghentikan langkahnya dan menatapnya.
"Kamu? Kamu pacarku." Dia kembali menarikku dengan genggamannya dan kembali berjalan.
"Kamu gak menyayangiku?" Aku berjalan mengikutinya.
Dia terdiam sejenak, seakan sangat sulit untuk mengatakan hal itu.
Melihat dia seperti itu, aku ikut terdiam dan melanjutkan langkahku.
"Aku lebih dari menyayangimu."
Aku terkejut dan tersipu mendengar ucapan dia.
"Ohhh..." Aku mempercepat langkahku sehingga berjalan sedikit lebih depan dari dia.
"Ayo makan, aku lapar." Dia mempercepat langkahnya.
"Kita makan dimana?" Aku bertanya sembari memasang sabuk pengamanku.
"Kita makan di rumahku saja." Dia menghidupkan mobilnya dan kami pun berlalu dari parkiran kantor.
Aku hanya terdiam, berpikir dan berpikir. Bagaimana jadinya di sore hari seperti ini aku makan di rumah pacarku. Tidak apa-apa kan, batinku.
"Kenapa? Kok kamu diam aja." Lamunanku buyar dengan kata-katanya.
"Gak ada apa-apa."
Aku berpikir lagi, memastikan kembali apakah yang kupikirkan benar dan gak apa-apa.
"Kenapa kita makan di rumahmu?" Akhirnya mulutku menanyakan hal ini. Aku hanya ingin melakukan pencegahan saja.
"Kenapa? Gak ada alasan khusus. Aku hanya ingin pacarku mengunjungi rumahku." Dia santai menjawabku, melihatku sebentar dan fokus menyetir kembali.
"Kita tidak akan melakukan hal aneh kan?" Kuberanikan diriku menanyakan hal ini.
Astaga Na, kamu frontal sekali, batinku.
Dia sedikit terkejut, diam sejenak.
"Yah, maksudku.. yah kamu tau maksudku." Aku bingung menjelaskannya. Aku menjelaskan namun kurasa tidak jelas.
Dia tersenyum dan melihatku sebentar dan lebih tersenyum lagi kembali fokus menyetir.
"Hmmm..." Dia mengelus keningnya namun masih tetap fokus menyetir.
Dia melihatku sebentar, seakan hendak menyampaikan sesuatu.
"Kamu usia berapa?" Tiba-tiba dia menanyakan hal itu.
"Aku? Aku 25 tahun."
"Aku juga 25 tahun... Lalu, menurutmu kalau kamu usia 25 tahun begitu juga dengan pacarmu, dan pacarmu mengajakmu ke rumahnya, menurutmu akan melakukan apa?"
Aku terdiam, pikiranku entah kemana-mana. Kurasakan wajahku mulai panas. Kuputuskan untuk memalingkan wajahku dan melihat keluar sepanjang jalan. Aku tidak bisa menjawabnya.
"Hahaha... Melihatmu seperti itu, aku tidak sabar sampai ke rumahku." Dia memperjelas lagi namun dengan nada bercanda, dan dia masih tetap tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amore
Romance"Oke deal. Kalau dari aku, pertama, tidak ada seks selama pacaran, tidak ada megang payudara atau kemaluan. Itu dilarang." Dia terlihat syok melihat aku mengungkapkan semua itu secara terbuka dan tidak ada keraguan di raut wajahku.