Bagian Kedelapan

2.7K 68 4
                                    

"Pagi Bae..."bisik Theo ke telingaku membuat bulu kudukku berdiri.

Aku tidak menyapanya balik, aku hanya mencubit pelan lengannya seakan mengatakan aneh banget pagi-pagi di sapa sama atasan.

Aku memberikan kode sama dia dengan menggeleng-gelengkan kepala untuk menyuruhnya pergi, namun dia tetap melihat wajahku. Dia masih tetap berdiri di sampingku dengan wajah kebingungan.

Aku langsung berdiri mengejutkan dia.

"Maaf Pak, saya ke toilet dulu." Aku pergi meninggalkan Theo di sana.

Aku berharap Theo mengikutiku tapi tidak, ternyata dia susah banget mengerti bahasa tubuh.

"Dasar anak itu, giliran di depan semua orang aja berani, kok dia gak menyusul ya? Ahh... pusing banget."

Setelah dari toilet, aku kembali ke mejaku dan mulai bekerja seperti biasa, namun tiba-tiba terganggu karena Theo hendak memberikan pengumuman.

"Maaf sebelumnya mengganggu sebentar, ada hal penting yang ingin saya sampaikan kepada kalian semua. Jadi, kantor kita akan mengadakan seminar di Bogor selama tiga hari dan masing-masing divisi akan memberikan perwakilan termasuk divisi kita, yaitu pemasaran. Sebenarnya saya sudah memiliki nama yang sesuai dengan ini namun tidak menutup kemungkinan saran dari yang lain akan saya pertimbangkan."

"Wahhh, siapa ya, apakah aku?" Beberapa orang saling melihat satu sama lain dan penasaran.

"Aku tidak tertarik." Aku berbicara kepada Beni yang ada di sebelahku.

"Saya telah mempertimbangkan untuk Bapak Beni sebagai perwakilan dari kita."

"Wah, ternyata Beni...." Bisik yang lain.

"Bagaimana Pak Beni, apakah Bapak bersedia?"

"Saya bersedia Pak, tapi bolehkah saya mengusulkan nama untuk menemani saya. Sayang rasanya kalau ilmu ini hanya satu orang saja yang mendapatkannya."

"Dua orang ya, nanti saya coba konfirmasi lagi dengan yg lain."

"Baik Pak."

"Ngomong-ngomong, siapa nama yang kamu sarankan untuk menemanimu?" lanjut Theo.

"Ini Pak, teman terbaik saya, Ibu Nana."

Aku terkejut mendengar Beni menyebut namaku.

"Hah?" Aku menyenggol tangannya, mengerutkan keningku dan melihatnya.

Beni hanya tersenyum kegirangan.

"Bagaimana Bu Nana, ibu bersedia?" Theo melanjutkan, seakan dia menerima saja aku pergi dengan Beni.

Hal itu membuatku sangat kesal dan tidak mampu berkata apa-apa.

"Tapi nanti untuk keputusan fiksnya belum, karena saya juga harus memastikan apakah kita bisa mewakilkan dua orang. Bagaimana Bu?"

"Saya mengikuti keputusan Bapak saja." Aku menunjuk dan melihat ke arah Theo.

"Baiklah kalau begitu. Untuk yang lain, adakah yang keberatan kalau Bapak Beni yang mewakili divisi kita?"

"Tidak ada Pak." Semua serentak menjawab.

Beni memang salah satu karyawan teladan di kantorku dan hampir semua orang menyukainya karena dia pandai bergaul.

"Baiklah sekian pengumumannya, mari silakan lanjutkan pekerjaan masing-masing."

Semua kembali ke kursi masing-masing, termasuk aku.

Aku masih sedikit kesal dengan perkataan Theo tadi, masa dia gak merasa berat sedikit pun kalau aku pergi dengan Beni.

Apaan sih dia, bikin kesal aja, batinku.

AmoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang