Bagian Keduapuluh Satu

1.5K 42 3
                                    

Aku sampai di kamarku. Aku meletakkan tasku dan merebahkan tubuhku di atas kasurku.

Aku masih terbayang-banyang dengan cerita Beni dan apa yang aku lakukan.

Apa yang aku lakukan tidak salah kan, batinku.

Tiba-tiba hpku berbunyi, ada panggilan masuk.

“Halo Theo iya ada apa..”

“Kamu di mana?”

“Aku? Aku baru saja sampai. Aku sedang di kamar, kenapa?”

“Begitu… Boleh kita bertemu?”

Kulihat jam di hpku, ini sudah jam 11 malam. Bagaimana aku bertemu dengannya, ini udah hampir tengah malam, batinku.

“Hmmm… sebenarnya aku lelah. Aku baru saja sampai dan bahkan belum mandi. Jadi…” Aku tidak melanjutkan kalimatku. Aku ingin mendengar apa responnya.

“Baiklah, aku sekarang otw ke sana ya.”

“Hah? Kamu mau ke sini? Apa gak ngerepotin?”

“Gak, ini aku ke sana. Kamu mandi aja dulu.”

“Ya udah… hati-hati. Dahh..”

Aku mematikan hpku dan bergegas ke kamar mandi.

“Dingin bangetttt…”teriakku dari dalam kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan rapih, aku melihat hpku, ada 2 panggilan tak terjawab. Ya benar itu dari Theo.

Aku meneleponnya balik.

“Kamu udah dimana?”ucapku.

“Sudah lama di depan pintu kamarmu.”jawabnya dingin.

Aku mematikan hpku dan membuka pintu.

Aku tersenyum kepadanya dan mempersilakan dia masuk.

“Udah lama nunggunya?”tanyaku kepadanya.

“Lumayan…”

“Lagian kamu tiba-tiba banget mau datang. Ini juga udah hampir tengah malam.”

“Iya deh, aku nih yang salah..”jawabnya dengan ekspresi cemberut.

Apa aku salah ngomong? batinku.

“Mau minum?”tanyaku untuk mengalihkan perhatiannya.

“Boleh…”jawabnya singkat.

Aku memberinya minuman hangat. Mungkin dia kedinginan nunggu di luar, jadi biar hangat, aku kasih dia teh hangat.

“Gimana tadi?”

“Yah begitulah. Seperti biasa gak gampang ngomong sama dia. Tapi semua yang pengen aku sampaikan udah aku sampaikan, mungkin besok aku harus ke sana lagi menanyakan bagaimana keputusannya.”

“Hmmm… begitu ya.” Aku mengangguk-aguk merespon dia.

“Tadi di jalan aku lihat Beni. Kamu pulang bareng Beni?”tanyanya tiba-tiba.

“Iya, tadi kami makan bareng, terus pulang deh sekalian bareng juga.”

“Oooo…”jawabnya.

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa.”jawabnya singkat. Ekspresinya tidak dapat kutebak.

Kemudian dia berdiri dan mendekati pintu kamarku hendak pergi.

“Kamu mau pulang sekarang?”tanyaku menghentikan langkahnya.

“Iya, aku capek…”balasnya.

“Oooo begitu, tapi…” Aku tidak melanjutkan ucapanku.

“Kenapa?”tanyanya.

“Tidak papa.”jawabku.

Aku terdiam, apa aku salah ngomong? Aku tidak tahu.

“Sepertinya kamu juga capek.”ucapnya.

“Aku? Aku belum terlalu capek.”balasku.

“…”

Dia tidak melanjutkan langkahnya untuk keluar dari kamarku.

Aku melihat wajahnya, ada apa gerangan, namun sulit ku tebak.

“Kamu kenapa?”tanyaku.

Aku tidak suka melihat raut wajahnya seperti itu.

Dia mendekat kepadaku dan menatapku. Aku masih tetap bingung dengan tingkah lakunya.

“Peluk aku Bae.”ucapnya tiba-tiba.

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Aku melihatnya dengan wajahnya yang masih dengan ekspresi yang sama.

“Kenapa?”tanyaku.

“Aku ingin dipeluk juga.”balasnya.

“Kamu? Jangan-jangan kamu melihatku tadi di …”

Dia tidak menjawab dan masih tetap melihatku.

Aku hanya bisa menghela napas. Aku lebih mendekat kepadanya dan memeluknya.

Salah satu tanganku mengelus rambutnya dan satu lagi menepuk pundaknya.

“Kamu kenapa ingin dipeluk?”tanyaku dengan posisi kami masih berpelukan.

“Aku…” Dia tidak melanjutkan ucapannya.

“Kamu kenapa?”tanyaku.

“Aku kurang suka kalau ada laki-laki selain aku yang memelukmu.”jawabnya.

“Berarti benarkan, tadi kamu ngeliat aku dan Beni pelukan?” Aku memberi ruang untuk melihat wajahnya.

“Iya…”

“Astaga, kamu jangan salah paham. Aku tadi hanya ingin menghibur dia.”

“Iya, tapi...”

Dia melepaskan pelukannya.

“Gini, kalau aku memeluk wanita malam hari tanpa sepengetahuanmu, bagaimana menurutmu?” Theo bertanya kepadaku dengan ekspresinya yang pasti ingin mengujiku.

“Aku?”

Aku terdiam sejenak, membayangkan apa yang dia ucapkan.

“Aku sepertinya tidak menyukainya.”

“Nah, kamu taukan perasaanku.”lanjutnya dan memelukku kembali.

“Sebenarnya tidak masalah kamu memeluk siapa aja, karena aku tau banyak orang di sana yang suka pelukanmu. Mungkin…”candanya.

“Tapi, setelah kamu memeluk laki-laki selain aku, kamu harus segera datang menemuiku dan memberiku pelukan juga. Aku tidak suka bekas pelukan mereka nempel kepadamu. Gimana?”lanjutnya.

Aku terdiam di pelukannya, berpikir sejenak.

“Baiklah…”jawabku.

“Tapi, kalau kita sedang jauh gimana?”lanjutku.

“Hmmm… paling tidak kamu harus meneleponku dan memberitahukan semuanya.”

“Repot juga ya kalau aku memeluk orang lain, lebih baik tidak memeluk kalau begitu.”ucapku.

“Kamu sengaja tidak mau memeluk agar tidak berpelukan denganku?”tanyanya dan menyipitkan matanya.

“Tentu saja…”jawabku sedikit bercanda.

Dia melihatku dengan sedikit ekspresi kecewa.

“Aku bercanda… sini aku peluk erat.”

Aku memeluknya erat. Ku elus pundaknya dan kuresapi aroma parfum yang biasa dia pakai.

Sekarang aku tau kalau pacarku ini sebenarnya memang sedikit manja.

AmoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang