Bagian Keduapuluh Dua

1.6K 38 0
                                    

“Hai Bae… aku membutuhkanmu sekarang. Kamu dimana?”ucap Theo melalui panggilan yang kami lakukan.

“Aku? Tentu saja aku sedang bekerja. Aku masih di kantor.”jawabku.

“Aku akan datang menjemputmu sekarang.”

“Kamu mau menjemputku? Ini masih jam kerja tau.”

“Iya, aku tau. Nanti aku bicara sama bos barumu dulu.”

“Bye…” Dia mematikan hpnya.

Terkadang memang aku tidak tahu apa yang ada pikirannya.

Ada apa ya? batinku.

Sekitar 10 menit kemudian, Theo muncul di kantorku. Aku melihatnya berjalan buru-buru menuju ruangan bos baruku sekarang.

Aku hanya bisa melihatnya dengan penasaran namun dia tidak menoleh sama sekali ke arahku.

Tidak menunggu bergitu lama, dia keluar dari ruangan tersebut. Kulihat dia berjalan mendekat ke arahku.

“Ayo Bae, kita pergi sekarang. Aku sudah meminta ijin kepada bosmu.”

Aku sedikit panik dengan ajakannya. Kubereskan barang-barangku dan berjalan mengikuti dia dari belakang.

Di dalam mobil, aku hanya bisa diam, tidak tahu apa yang terjadi.

Sepertinya ada masalah. Aku harus mulai dari mana? batinku.

“Mmm Babe, kita mau ke mana?” Akhirnya aku memberanikan diri bertanya.

Dia melihatku sekilas dan kembali fokus menyetir.

“Kita akan bertemu ayahku.”ucapnya.

Sekarang suaranya sudah cukup tenang dari yang sebelumnya.

Ayah… Astaga, aku harus bagaimana? batinku.

“Mmmm baiklah..”jawabku.

Sebenarnya masih ada yang ingin kutanyakan, namun melihatnya dengan ekspresi seperti sekarang, aku lebih baik tenang dan mengikut saja.

“Kamu tenang aja, kamu tidak perlu berkata apa-apa saat bertemu ayahku.”ucapnya.

Sekarang dia sudah tersenyum kepadaku. Aku merasa semakin tenang saat dia tersenyum kepadaku.

“Baiklah…”jawabku santai dan tersenyum juga, walau tidak bisa dipungkiri kalau aku sedikit deg-degan.

***

“Ayo, ayahku ada di dalam.”ajaknya.

Dia menggenggam tanganku dan kami memasuki rumah yang begitu mewah. Mungkin itu adalah rumah orang tua Theo.

Kami berjalan memasuki rumah itu, dan kami bertemu seorang laki-laki yang sedang duduk santai dengan gelas di atas meja.

“Ayah…” Theo berbicara memecahkan keheningan.

Laki-laki itu melihat kami dengan ekspresi datar. Dia melihat kami cukup lama. Aku dapat merasakan suasana yang tidak nyaman.

Melihat ayah Theo sedang melihat kami tanpa kata sedikit pun, aku hanya bisa menunduk.

“Jadi ini pacarmu?”ucap ayahnya.

“Iya…”balas Theo singkat.

“Kamu sungguh tidak sopan, kenapa kamu tidak mempersilakan dia untuk duduk?”

Ayahnya berdiri dan mendekat ke kami berdua.

“Halo… Senang bertemu denganmu. Aku James Parkin.”

Dia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan denganku.

Aku sedikit panik, kulihat Theo dan kulihat ayahnya kembali.

“Halo Om, nama saya Nana Robert.”

Aku menerima jabatan tangan ayahnya itu.

“Silakan duduk Nana.”ucap James.

Akhirnya kami duduk.

Ayahnya juga memanggil seseorang untuk menyediakan kami segelas minuman.

“Jadi kamu ingin menikah dengannya Nona Nana?” Ayahnya bertanya kepadaku.

Aku kebingungan, ku lihat Theo yang sedang di sampingku. Aku teringat perkataan Theo kalau aku diam saja, namun nyatanya malah aku yang lebih banyak bicara, sepertinya.

“Tentu saja….”jawab Theo tiba-tiba mendahului ucapanku.

“Betulkah?” sekarang ayahnya betul-betul menatapku lekat.

“Iya Om, saya memang sudah menerima lamaran Theo.”jawabku sedikit gugup.

“Baiklah, kapan rencananya kalian menikah?”

Aku terkejut. Menikah? batinku.

Aku tidak menjawab pertanyaan itu.

Sebenarnya kami berdua belum mendiskusikannya kapan.

“Jadi kalian belum berencana untuk menikah?”

Ayah Theo melihat kami berdua dengan kedua tangannya menyilang di depan dadanya.

“Kalau begitu masih ada harapan kalau kalian akan berakhir…”

“Tidak, kami akan menikah minggu depan.”ucap Theo tiba-tiba.

Perkataannya membuatku terkejut dan sedikit panik. Aku melihatnya seakan mengatakan kalau kapan rencana itu terjadi.

“Oh ya? Apa benar Nona Nana?”

Ayahnya menatapku penasaran.

Aku bingung, tidak tahu harus bilang apa.

Aku tersenyum panik dan melihat ayahnya itu.

“Tentu saja Om.”jawabku dengan suara sedikit bergetar.

“Oh begitu. Sudah sampai mana persiapannya?”

“Kami sudah…” Theo tidak melanjutkan ucapannya.

“Kenapa?” Ayahnya bertanya kepada Theo.

“Tidak ada, Ayah tidak perlu khawatir. Biar pernikahan ini kami yang urus.”jawab Theo.

“Hmmm… Apakah kamu sudah ijin ke ayahnya Nana?”

“Tentu saja sudah dan mereka juga setuju.”

“Baiklah… Kalau memang sudah sejauh itu, apalagi yang harus ditunggu? Menikahlah…”

Mereka berdua berbicara seakan aku tidak ada. Aku tidak tahu apa-apa tentang pernikahan ini.

“Ayah jangan sampai lupa dengan janji yang sudah ayah buat.”ucap Theo sembari menggenggam tanganku.

Kami berdua berdiri dan berjalan hendak keluar dari ruangan.

Aku menghentikan langkahku dan melepaskan genggaman Theo. Theo terkejut.

Aku mendekat ke ayah Theo dan berpamitan pulang.

“Kami permisi pulang Om.”ucapku.

“Baiklah. Hati-hati.”balasnya.

Kami berjalan keluar dan memasuki mobil Theo.

“Sekarang kamu jelasin sama aku, ada apa sebenarnya? Kenapa tiba-tiba minggu depan kita akan menikah?”tanyaku dengan nada suaraku sedikit naik.

Aku hanya bingung, kenapa jadi begini tiba-tiba. Dia bahkan tidak mendiskusikan dulu denganku.

Aku sedikit kesal.

AmoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang