Bagian Keduapuluh

1.6K 33 1
                                    

Hari ini terasa berbeda. Biasanya aku melihat Theo dengan senyuman manisnya di kantor, namun sekarang tidak. Tidak ada lagi senyuman itu, sekarang yang biasanya tempat dia duduk sudah digantikan orang lain. Aku merindukannya.

Namun aku harus tetap bekerja, bagaimana pun di sini tempat kerjaku dan aku memiliki tanggung jawab juga.

Aku harus profesional. Gak papa, bersikaplah seperti biasa Nana, kamu pasti bisa, batinku.

Kuambil hpku dari tas ku dan mengirim pesan kepada Theo.

Sedang apa, tanyaku.

Aku menunggu balasan dari dia sekitar dua menitan.

Aku sedang di kantor ayahku sekarang, balasnya.

Kamu ingin menyelesaikannya dengan ayahmu? balasku.

Tentu saja.

Baiklah, semangat!! God bless you Babe.

Balasku terakhir mengakhiri percakapan kami.

Tuhan, bantulah dia, batinku.

***

“Na… sepulang kerja makan bareng yuk.” Beni mengajakku.

Kami memang masih bekerja tapi sebentar lagi waktunya untuk pulang.

“Makan?” Aku berpikir sejenak.

Beni menaikkan kedua alisnya dan tersenyum kecil.

“Boleh…”jawabku akhirnya.

Tidak ada salahnya makan berdua, dari pada aku makan sendiri. Kemungkinan hari ini Theo pasti repot dengan urusannya, apalagi dia bilang hari ini dia bertemu ayahnya.

Akhirnya jam dinding kantor menunjukkan untuk kami pulang. Kuregangkan kedua tanganku karena lelah mengetik dan kulemaskan bahuku.

“Akhirnya… ayo kita pulang..”ucap Beni.

Kami berdua pulang keluar dari kantor dan menuju tempat makan yang biasanya kami datangi.

“Kamu mau pesan apa?” Beni memberikan menu makanan kepadaku.

“Sepertinya aku makan nasi goreng aja..”jawabku.

“Baiklah…”

Kami pun menunggu makanan kami dibuat sembari ngobrol.

“Gimana pacarmu? Apakah dia tetap bekerja?” Beni tiba-tiba menanyakan hal itu.

“Dia? Dia sedang mengurus sesuatu.”

“Mengurus apa?”

Aku hanya tersenyum, “Sepertinya hal itu privasi.” jawabku.

Beni hanya mengangguk seakan mengerti maksudku.

“Gimana denganmu? Kamu tidak apa-apa?”

Aku melihatnya dan menaikkan salah satu alisku.

“Aku? Aku baik-baik saja.”jawabku dengan tenang.

“Hmmm baiklah…”

“Kamu gimana? Kamu baik-baik saja?”balasku.

“Aku? Hmmm gimana ya…” Beni menyilangkan kedua tanganya.

Aku menunggunya memberi jawaban.

Sepertinya dia punya masalah, batinku.

“Aku memang sedang tidak baik..” Dia menghentikan kalimatnya dan menatapku.

“Ada apa?”tanyaku.

“Sebenarnya aku butuh saranmu, dan mungkin doamu juga, kalau kamu gak keberatan.”

“Hmm…”

“Sebenarnya aku punya masalah. Sepertinya dalam waktu dekat ini orang tuaku akan bercerai. Mereka selalu saja ribut dan tidak pernah akur. Disatu sisi aku senang mereka cerai biar keributan di rumah berkurang tapi aku masih punya adik perempuan dan dia masih terlalu cepat untuk menerima keadaan kalau orang tua kami harus bercerai. Mereka berdua sama-sama egois, tidak ada yang mau mengalah.”

Aku hanya bisa melihatnya dan terdiam dengan semua yang diucapkannya. Aku berpikir berulang kali bagaimana aku meresponnya. Aku takut kata-kataku malah menyakiti dia.

“Aku memang egois, senang kalau mereka cerai, tapi harus bagaimana lagi. Hampir setiap hari mereka ribut.”

Aku melihat Beni sekarang yang duduk menghadapku. Aku melihat raut wajahnya yang sedih dan matanya berkaca-kaca.

Tiba-tiba, ibu yang mengantar makanan kami datang, membuyarkan suasana di sini. Aku membantu ibu tersebut menata makanan kami di meja.

“Makasih Bu.”

“Kamu mau minum dulu?” Aku menawarkan air mineral kepadanya untuk membuatnya tenang.

Beni menerimanya dan mulai meminumnya.

Aku tidak berani menyentuh makananku, aku masih tetap melihatnya menunduk.

“Makan aja Na, gak papa..”ucapnya.

“Kamu yang makan dulu..”jawabku.

“Seriusan gak papa.”balasnya.

“Yaudah, kita berdoa dulu yuk. Aku yang pimpin doa.”

Kami pun berdoa sebelum makan.

Selesai berdoa, kami menyantap makanan yang sudah dihidangkan.

Setelah semua makanan telah kami santap habis, kami memutuskan untuk pergi.

“Menurut kamu gimana? Aku harus bagaimana?” Beni bertanya kepadaku.

“Hmmm… Aku sebenarnya gak punya pengalaman sepertimu, tapi aku bersyukur kamu mau cerita. Aku sebenarnya gak pintar juga kasih masukan, tapi… gimana ya, menurut aku selagi orang tuamu masih bisa baikan kenapa tidak. Aku terkadang merasa bahwa orang tua kita itu dipertemukan bukan karena kebetulan, tapi memang Tuhan telah merancangkannya begitu. Dan… seperti kamu juga tau kalau pasangan yang sudah dipersatukan Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Jadi menurut aku, kamu doain dulu mereka. Aku juga akan coba bawain dalam doa kondisi kamu dan keluargamu.”ucapku.

Aku berjalan bersama dengan Beni. Sekarang sudah agak gelap, namun aku masih bisa melihat raut wajahnya yang sedang bersedih dan hendak menangis.

Kami berjalan di sepanjang trotoar dan tiba-tiba Beni berhenti membuatku berhenti juga.

Dia menatapku dengan wajah sedihnya. Dia mendekat kepadaku dan membuka kedua lengannya hendak memelukku.

Aku bingung apa yang harus aku lakukan, apakah aku akan memeluknya dengan kondisinya sekarang, atau bagaimana? Aku berpikir sejenak.

Melihat wajahnya yang masih sedih dan matanya yang berlinang, aku memutuskan untuk memeluknya.

Dia memelukku erat dengan kedua tangannya melingkar di badanku dan kepalanya yang bersandar di bahuku.

Aku menerima pelukannya sembari menepuk-nepuk punggungnya.

“Kamu memang tinggi banget..”candaku sedikit tertawa.

“…”

Dia tidak menjawab sama sekali.

Kurasakan sepertinya dia menangis di pelukanku.

“Ayo semangat… kita doakan yang terbaik.”ucapku menghiburnya.

“Makasih Na..”

AmoreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang