“Maafkan aku Bae tidak mengatakan sebelumnya. Aku memang merencanakan ini tapi hanya sebagai plan B. Plan A yang aku sudah susun dan lakukan tapi gagal berantakan. Aku tidak menyangka kalau plan B ini terjadi.”jelas Theo.
“Apa? Kenapa begitu?”jawabku.
“Maafkan aku Bae. Sebenarnya ini juga rencana dari Papamu dan dia sangat mendukung rencana ini.”lanjutnya
“Hah? Ini dari Papaku juga. Tapi, kenapa kamu gak kasih tau ke aku?” Aku sedikit kesal, ternyata Papaku juga ikut dengan semua rencana menikah tiba-tiba ini.
Dia terdiam dan menunduk.
Aku hanya bisa menghela napas melihatnya.
“Aku takut kalau aku bilang, kamu akan membatalkan semuanya.”
“Membatalkan? Aku gak mungkin melakukan itu. Tapi rencana seperti ini terlalu mendadak.”ucapku dan masih tetap melihatnya sedangkan dia tetap menunduk.
"..." Dia tidak berkata apa-apa lagi.
Aku memegang kedua pipinya agar dia melihatku.
“Aku gak mungkin membatalkan lamaran yang sudah aku terima.”lanjutku.
Sekarang dia melihatku dengan ekspresi wajahnya yang masih merasa bersalah.
“…”
“Hmmm…” Aku menghela napas dan memeluknya.
“Kamu tidak mau menikah denganku?”tanyanya tiba-tiba, sementara kami masih berpelukan.
“Aku? Aku bukannya tidak mau menikah denganmu. Aku kira pernikahan itu butuh proses dan persiapan yang matang, dan sekarang.. aku bahkan belum mempersiapkan apa-apa.”
“Tidak perlu Bae, cukup hanya kamu saja.”
Aku melepas pelukannya dan melihatnya.
Aku menghela napas.
“Baiklah, ayo kita menikah.” jawabku singkat.
“Betulkah?”
Sekarang dia tersenyum lebar kepadaku. Seakan semua bebannya telah sirna dan matahari pagi telah terbit.
Kemudian dia memelukku dan mencium kepalaku.
“Iya Babe…”jawabku.
Dia melepaskan pelukannya dan melihatku lekat.
“Ada apa?”tanyaku.
“Aku ingin menciummu..”jawabnya.
“Aku…”
Belum selesai aku melanjutkan ucapanku, bibirnya sudah menyentuh bibirku.
Kami berciuman di dalam mobil sedangkan mobil kami masih di depan rumah orang tuanya.
Dia mencium bibirku dengan lembut dengan kedua tangannya di leherku.
Ciuman kali ini terasa berbeda, semakin lama semakin dalam dan sangat menuntut hingga aku sepenuhnya terpojok ke pintu mobil.
Aku menerima ciuman itu, kurasakan wajahku panas dan pikiranku kosong. Aku menikmati setiap sentuhan bibir dan tangannya padaku.
“Takkk…” kepalaku terantuk.
“Awww.. sakit…”ucapku dan ciuman kami terlepas.
Dia tersadar dan melihatku memegang bagian kepalaku yang terantuk ke pintu mobil.
“Kamu gak papa?”ucapnya panik.
“Sakit..”ucapku.
Dia menyentuh kepalaku dan mengelusnya lembut.
“Maafin aku Bae…”ucapnya namun sedikit tertawa kecil.
“Kamu sih…”ucapku sedikit merengek.
Dia masih tertawa kecil melihatku dan menarikku ke pelukannya.
“Hahaha… Maafkan aku ya.”jawabnya sembari masih mengelus kepalaku.
“Sepertinya kita harus pindah tempat.”lanjutnya.
“Lagian kamu gak lihat ini masih di depan rumah orang tuamu?”ucapku.
“Gimana? Kita pindah tempat aja?”tanyanya dengan ekspresi senang.
“Tentu saja..”jawabku.
“Ke rumahku?”ucapnya.
“Jangan…. Kita ke tempat makan saja, aku lapar.”ucapku sedikit panik.
Sebenarnya aku tidak begitu lapar, aku hanya mencegah kami berdua pergi ke salah satu rumah kami.
Terlalu berbahaya dan mungkin aku akan mengikuti keinginanku dari pada kata hatiku.
“Kamu lapar? Padahal aku tidak terlalu lapar.”ucapnya.
“Aku lapar, ayo kita makan.”ucapku.
Kami pun melaju dan berlalu dari depan rumah orang tua Theo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amore
Romance"Oke deal. Kalau dari aku, pertama, tidak ada seks selama pacaran, tidak ada megang payudara atau kemaluan. Itu dilarang." Dia terlihat syok melihat aku mengungkapkan semua itu secara terbuka dan tidak ada keraguan di raut wajahku.