"Bi, Angah mau ngomong." Ucap Irsyad pada suatu malam yang terasa dingin menusuk tulang. Sambil mengisap rokoknya, Irsyad berbicara dengan ayahnya menggunakan sambungan telefon genggam. Dibanding berbicara dengan Cindy, ibunya, Irsyad lebih memilih berbicara dengan sang Ayah yang biasanya lebih logik dari pada ibunya.
"Iya,"
"Angah mau membatalkan perjodohan antara Angah dan Sabila." Irsyad berbicara dengan nada serius dengan wajah sedikit tegang.
"Kamu ngomong apa, Irsyad Setiawan?" tanya lelaki enam puluhan tahun itu dengan tegas. "Sebelum ngomong kamu tuh mikir dulu, jangan gegabah."
"Abi, Angah serius dan udah mikirin ini sepanjang malam."
"Apa alasannya?"
Irsyad menceritakan semula kejadian yang Ia lihat saat hari itu bertandang ke apartemen Sabila dari awal hingga Ia pergi meninggalkan hunian bertingkat itu.
"Kamu udah dengar penjelasan Sabila?"
Irsyad tak menjawab namun kepalanya menggeleng yang jelas tak dapat dilihat oleh lawan bicaranya itu. Lantas, mendapati sang anak yang tak menjawab pertanyaan, Ikram langsung menyimpulkan bahwa Irsyad belum melakukan itu.
"Kalian butuh komunikasi. Dengar dulu penjelasan dia. Kesalahan apa sih yang nggak bisa dimaafkan, Irsyad ? Terlebih jika ini hanya salah paham." Irsyad hanya diam mendengarkan tanpa niat menyela perkataan ayahnya.
"Cinta dan kasih selalu memaafkan. Kasih kesempatan buat diri kamu sendiri sekali saja untuk egois, bisakan? Biar dia kekasih orang, rebut aja." Ujar Ikram tegas menasehati putra nya itu walau itu ajaran sesat, "Konyol bangetx kalau kamu batal menikah jika kejadian itu cuma salah paham. Bikin malu aja." Cemooh Ikram pedas.
"Terus Irsyad harus gimana, Bi?" Ikram berdecak mendengar pertanyaan itu.
"Pakai nanya lagi sama gua lo, kampret. Pulang ke Jakarta malam ini juga, bacot lo. dikit-dikit kabur, mental tempe. Ada masalah itu diselesaikan." Semprot Ikram dengan suara paling sewot sejagat raya. Irsyad sangat paham jika Ikram sudah dengan mode lo-gua itu tanda lelaki itu amat gemas atau dalam kondisi santai tanpa beban. Namun yang ini tentu saja pertanda bahwa sang Ayah sedang gemas setengah mati padanya.
"Iya Bi, Iya."
"Kalau terlalu bodoh, jangan jadi anak gua lagi lo. Dah ya, Assalamualaikum."
Tut..tut..
Eh kocak nih tua bangka. Decak Irsyad dalam hati. Belum lagi selesai Ia mengadu, ayahnya itu langsung mematikan sambungan telefon sebelah pihak, ditutup dengan kalimat yang paling menyebalkan pula.
Tak lama kemudian, satu chat dari ayahnya masuk ke ponselnya.
From : Abi Ikram
To : Irsyad Stw
Abi sudah transfer ke rek kamu. Beli tiket pulang, sebelum jam 12 siang sudah berada di jkt. Ambil penerbangan paling cepat. Abi tunggu.
Ck..
[***]
Jam 10 pagi, Irsyad sudah sampai di depan pintu rumah yang sudah Ia tempati sejak kecil itu. Rumah besar yang sudah dibangun oleh ayahnya sebelum menikahi sang ibu. Rumah yang berisi kenangan pahit, manis, asin dan pedas di dalamnya.
Penerbangan dari Jogja ke Jakarta sedikit menguras waktu, beruntung ada tiket yang mau menampung perjalanannya. Rencana awalnya yang berencana bekerja dan mengurus cabang kafe nya yang berada di luar kota Jakarta itu berantakan dengan sempurna. Alih-alih bekerja dan mengurusi kafenya, Irsyad asik menghabiskan waktu untuk menggalaui Sabila dan menjadi pengikut semua aktifitas perempuan itu di Instastrorynya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Glory of Love ✔
Romantizm[Definisi dari he fell first and she fell harder] Sabila belum mau menikah saat sang ayah memaksanya menikah dengan anak kenalan nya. Beliau sengaja melakukan nya agar Sabila ada yang menjaga di perantauan. Lantas, bagaimanakah Sabila menanggapi...