15. because something
"Omg, kebetulan banget ketemu lo di sini," ujar gadis tomboy itu, siapa lagi kalau bukan Nasya. Entah ada keharusan apa sampai-sampai gadis itu bisa datang kemari. Apa seniat itu Nasya menyuruh Angga untuk mengakui kesalahan mamanya?
Moza meremat tangannya kuat-kuat. Ia ingin membicarakan tentang tantangan itu. Moza tidak mau Angga akan tambah membencinya karena dia terus ikut campur ke dalam masalah pemuda itu.
"Moza mau ngomong sama kamu." Berkata seperti itu setelah memutuskan semuanya. "Moza ... Moza nolak tantangan kamu."
Nasya langsung terdiam tanpa kata-kata. Detik selanjutnya ia mengibaskan rambut ke belakang kemudian bersedekap dada.
"Oke, bagus banget malahan. Karena lo nolak tantangan gue, mau gak mau Angga harus ngikutin semua kemauan gue. Dia harus mau ngakuin kesalahan mamanya, habis itu dia harus tinggal bareng sama bokapnya lagi."
Moza mendengus malas. "Kamu bisa gak sih, berhenti ikut-ikut masalahnya Angga mulu?" Tanya Moza jengah. "Biarin Angga nyelesaiin masalahnya sendiri."
Nasya bersorak tak setuju. Gadis itu memasang raut tak percaya karena bisa-bisanya gadis polos di depannya bilang seperti itu seenaknya. "Lo gak tahu seberapa kesiksanya temen gue anj--"
"--Terus, kamu kira Angga enggak tersiksa?" Pertanyaan Moza mampu membungkam Nasya selama beberapa detik.
"Ya seenggaknya dia hidup enak bareng selingkuhan mamanya, sedangkan temen gue menderita. Temen gue sibuk ngurusin papany--"
"Belum tentu mamanya Angga itu beneran selingkuh. Kamu gak bisa lempar tudingan lewat satu sudut pandang aja."
Tak dapat membalas argumen Moza, Nasya menggeram kesal dan berakhir mendorong Moza hingga gadis itu jatuh mengenaskan di lantai. Banyak pasang mata yang langsung menjadikan itu sebagai tontonan gratis.
Lalu tak lama satu gadis amat cantik menarik tubuh Nasya untuk menjauhi kerumunan. Ia berbisik, "Nas, baru gue tinggal ke ruang Kepsek sebentar, lo udah buat masalah aja."
"Dia yang resek, Sya," sahut Nasya. "Gimana? Sekolah kita jadi kerjasama buat satu tim cerdas cermat Internasional bareng sekolah ini?"
Moza meringis pelan merasakan lututnya berdenyut tak karuan seraya meratapi kepergian Nasya bersama satu orang gadis yang bisa dilihat dari seragamnya merupakan murid Horius High School juga.
Moza menunduk, baru sadar ternyata kakinya tak sengaja mengenai pecahan beling tipis yang entah dari mana asalnya.
Ia menoleh ke sekelilingnya. Mengulum bibir dengan pandangan merunduk karena malu dijadikan tontonan seperti ini. Bahkan sebagian dari mereka melempar umpatan padahal Moza tidak melakukan apa-apa padanya.
Kemudian sedikit tersentak saat seseorang menyodorkan tangannya. Moza menerjab tak percaya, begitupun anak-anak yang melihatnya.
"A-angga ..." Moza langsung menggelengkan kepalanya cepat. Tak mau Angga salah paham dan beranggapan bahwa dirinya masih ikut campur ke dalam masalah pemuda itu. "Moza ... Moza udah nolak tantangan cewek itu. Moza enggak ikut campur masalah Angga lagi. Beneran--"
Angga menghela napasnya melihat raut ketakutan gadis di hadapannya. Ia melempar tas Moza hingga tepat mengenai wajahnya. Kemudian berkata, "Balik bareng gue."
Berjalan mendahului Moza sambil melempar tatapan tajam kepada semua pasang mata yang tengah menjadikan ini sebagai tontonan.
Sedangkan Moza melongo melihatnya. Masih tak mengerti atas tindakan Angga. Kenapa pemuda itu memberikan tasnya pada Moza? Kan ini belum jam pulang.
Berakhir bangkit dan mengejar ketertinggalan langkahnya untuk menyusul pemuda berearphone di depan sana. Moza mrmundurkan langkah saat jarak dirinya dan Angga sejajar.
"Angga, emangnya kita udah pulang ya?" Tanya Moza sambil sibuk memakai ransel merah. Berjalan tertatih-tatih sebab sakit di sekujur kakinya semakin menjadi.
"Itu yang lain belum pulang, kok kita--"
"Berisik. Sebentar lagi ada rapat dinas."
Angga tidak bohong. Memang kenyataannya seperti itu. Tadi saat melewati ruang Ketua Osis, ia tak sengaja mendengar Kepala Sekolah berkata ingin memulangkan Siswa-Siswinya lebih cepat karena akan mengadakan rapat dinas bersama sekolah tetangga.
"Terus kalau ada rapat dinas kenapa?" Tanya Moza lagi.
Angga mendengus kesal. "Menurut lo?"
Moza mengulum bibirnya seraya memikir, tak lama dia manggut-manggut setelah paham. Ia kembali berkata, "Tapikan Moza pulangnya sama Abang Moza."
"Abang lo tahu kalau sekarang lo udah pulang?"
Ah, iya juga. Benar apa yang dikatakan Angga, Abangnya belum tentu tahu bahwa sekarang Moza sudah pulang sekolah. Kemudian cekikikan sendiri membuat Angga meliriknya sinis. Moza kembali mendongak, mendekatkan diri beberapa langkah pada Angga namun tak sampai beriringan.
"Angga. Kata Arkan, Angga irit ngomong. Tapi buktinya enggak. Angga sering marah-marah malahan."
Angga langsung terdiam. Baru menyadari apa yang Moza katakan. Benar juga, ia lebih sering mengeluarkan kata-kata akhir-akhir ini. Kendati mengeluarkan kalimat banyak akibat kesal pada Moza.
"Oh, apa Angga banyak ngomong kalau lagi bentak-bentak Moza ya?" Mengambil tanggapan sendiri kemudian menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Iya, mungkin Angga banyak ngomong kalau lagi marah-marah," gumamnya.
Angga berdecak dalam hati. Suka-suka gadis itu lah ingin beranggapan seperti apa, ia tak perduli. Angga memilih untuk memasukkan tangannya ke dalam saku celana sambil fokus mendengarkan musik.
Tanpa tahu ada sosok pemuda di ujung sana memperhatikkan keduanya dengan senyum miring.
Rafka : takut banget ya ceweknya gue culik? Haha, keep calm, selagi cewek lo nerima tantangan Nasya, gue gak bakal gangguin dia.
Rafka : btw, cewe lo punya gangguan mental juga ya. Sama dong kaya nyokap lo
••••🌈••••
"Angga, motornya sama kayak punya Abang Moza. Bedanya bang Galang warna hitam, kalau Angga merah."
"Ini naiknya sama kayak motor bang Galang juga kan? Tapi ini tinggi banget, Moza gak nyampai."
Melihat Angga mengenakan helm, Moza kembali bersuara. "Moza gak pakai itu juga? Nanti kalau Moza ditangkap Polisi gimana?"
"Polisi banyak tahu, itu yang lagi boboan aja ada. Kata bang Galang, polisi tidur kalau malam bangun, terus ngasih tahu ke polisi Lalu Lintas kalau ada yang enggak pakai helm."
Ingin membuka suaranya lagi namun melihat tatapan tajam dari Angga membuat Moza mengurungkan niatnya dan berakhir melempar senyuman lebar hingga matanya menyipit.
"Hehehe, enggak jadi. Kata Bang Galang Polisi tidurnya udah dikasih obat tidur biar enggak bangun-bangun. Jadi dia gak bisa ngasih tahu ke Polisi Lalu Lintas kalau Moza gak pakai helm."
Angga membuang wajahnya, jengah. Bisa gak sih mulutnya dijual aja biar gak ngoceh terus?
KAMU SEDANG MEMBACA
3 WISHES
Ficção AdolescenteTahu hal apa yang paling Angga benci di dunia ini? Melihat gadis gila bertubuh mungil yang selalu mengenakan gardigan dan bando merah datang menghampiri dengan senyum amat lebar sampai matanya itu menyipit. Gadis bersuara khas layaknya orang flu y...