17. Langit Malam

7.4K 1.2K 49
                                    

Badan gue terasa sangat lelah. Seharian ini banyak kegiatan di sekolah yang menguras pikiran, fisik, dan batin gue. Mulai dari ulangan Ekonomi mendadak, laporan tugas akhir gue yang terkena tumpahan minuman, dimarahi oleh kakak ekskul, dan lupa membawa laptop untuk presentasi Geografi.

Duh, pusing!

Gue benar-benar dibuat lelah hari ini. Commuter line sore ini cukup ramai. Mau tak mau, suka tak suka, gue tetap harus menaikinya. Tas yang gue pakai saat ini terasa begitu berat. Tubuh gue seperti kehilangan tenaganya, bahkan untuk sekadar berjalan dari stasiun menuju kosan saja terasa berat sekali.

"Oce? Kau kenapa?" tanya Hayam Wuruk sembari menghampiri gue yang sedang membuka sepatu di depan kosan.

"Aku hanya lelah," ucap gue sebelum merebahkan diri di atas kasur. Singgasana gue ini benar-benar nyaman! Gue menutup mata, mencoba untuk menenangkan diri gue dahulu sebelum mandi.

Hayam Wuruk tidak banyak berkomentar, ia tahu kalau saat ini gue sedang tidak ingin diganggu. Dengan mata terpejam, gue masih dapat mendengar suara piring yang diambil dari rak piring. Laki-laki itu tengah membuat sesuatu sepertinya. Mungkin roti selai cokelat kacang kesukaannya. "Oce, kau mau makan tidak?"

"Nanti saja, aku sedang tidak ingin makan."

"Aku mau membuat roti selai cokelat kacang, kalau kau mau nanti ambil saja di piring," katanya. Gue mengangguk, masih dalam keadaan merebahkan diri di kasur. Tangan gue bergerak mencari ponsel di saku seragam, lalu membukanya untuk mengecek notifikasi yang masuk.

Setelah mengumpulkan segenap nyawa dan tenaga, gue mengambil handuk dan mandi. Saat gue selesai mandi, Hayam Wuruk tengah menonton televisi ternyata. Tangan kanannya ia gunakan untuk memegang roti, sedangkan tangan kirinya untuk memegang remote.

"Oce, nanti malam mau lihat langit?" tanyanya.

"Di sini sulit untuk melihat bintang, Hayam Wuruk. Sudah tercemar oleh polusi," jawab gue sembari menjemur kembali handuk yang baru gue pakai itu.

"Kita bisa melihatnya. Aku akan menunjukkannya padamu."

"Baiklah, aku ikut saja apa yang kau katakan."

Hayam Wuruk menarik gue untuk duduk di sampingnya. Ia memegang kedua pundak gue dengan tangannya, kemudian memijitnya. "Bagaimana? Terasa lebih baik atau tidak?"

"Ini enak sekali. Apa aku akan dihukum oleh sang mahapatih jika aku memintamu untuk memijitku lebih lama lagi?"

"Tidak akan ada yang berani menghukummu, Ce. Jika ada yang berani menghukummu, maka aku pastikan orang itu akan menghilang."

Ah, kata-kata Hayam Wuruk sudah seperti Dilan saja.

"Terserah kau, Hayam Wuruk," balas gue terkekeh.

Kini, gue dan Hayam Wuruk tengah duduk berhadap-hadapan. Gue dapat melihat dengan jelas wajah tampannya itu. "Hayam Wuruk, hari ini rasanya berat sekali. Aku sangat lelah saat ini."

Hayam Wuruk tersenyum mendengar perkataan gue. "Aku tahu, Ce. Harimu terasa sangat melelahkan. Beristirahatlah."

Gue mengiyakan ucapan Hayam Wuruk. Saat gue hendak membaringkan tubuh di atas kasur, tangan Hayam Wuruk justru menahan tubuh gue. Ia membawa tubuh gue ke dalam pelukannya, kemudian membaringkan tubuh kami bersamaan. Gue tertidur di dalam pelukan Sang Rajasanagara. Rasanya nyaman, gue tidak mau melepaskan pelukan ini. Jari-jarinya mengusap lembut rambut gue, embusan napasnya meniup rambut gue yang tengah ia elus. "Tidurlah, kau butuh istirahat sejenak."

Gue mencoba untuk memejamkan mata dan tidur hingga tidak terasa sudah dua jam gue tertidur, sekarang sudah pukul delapan malam. Hayam Wuruk menepuk-nepuk pipi gue, mencoba menyadarkan gue yang nyawanya belum terkumpul seutuhnya. "Oce, bangun. Bukankah kau harus mengerjakan tugas?"

Another Time [MAJAPAHIT] (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang