24. Waktu Kosong

6.3K 1K 44
                                    

Rintikan hujan yang turun sejak pagi tadi tidak kunjung berhenti, bahkan hingga senja mulai menyapa.

Hayam Wuruk hanya diam memandang keluar jendela, as always suara hujan akan selalu membuatnya teringat pada kerajaannya, Majapahit.

Kopi yang baru selesai gue seduh masih terasa panas. Sejenak gue membiarkannya sampai sedikit mendingin.

Kacau! Rencana gue dan Hayam Wuruk hari ini untuk mengunjungi Monumen Nasional gagal total akibat hujan yang tak kunjung reda! Gue menghela nafas, padahal ini adalah hari terakhir di liburan semester ini!

Sudah hampir tiga minggu gue libur, dan selama itu pula gue dan Hayam Wuruk pergi menjelajahi kota Jakarta. Mulai dari Kota Tua, Taman Mini Indonesia Indah, Kebun Binatang Ragunan, dan masih banyak lagi tempat yang kami kunjungi.

Seharusnya hari ini adalah hari penutup liburan semester! Gue dan Hayam Wuruk sudah berencana untuk mengunjungi Monas sebagai destinasi terakhir kami untuk liburan kali ini.

"Oce, minumlah kopimu. Tidak enak jika kopinya terlalu dingin," ucap Hayam Wuruk memecah keheningan di antara kami.

Gue mengambil kopi tersebut, kemudian meneguknya perlahan. Walau sudah gue biarkan beberapa saat, rupanya panas dari kopi ini masih cukup terasa untuk membakar kerongkongan gue.

"Hayam Wuruk, maaf ya. Rencana kita untuk pergi ke Monas jadi dibatalkan," kata gue.

Hayam Wuruk mengalihkan pandangannya yang semula tertuju pada jendela, kini ia menatap gue lekat-lekat. "Tidak apa-apa, Oce. Ini bukan salahmu. Dewa yang menurunkan hujan ini."

"Iya. Aku hanya tidak enak saja, kita jadi gagal pergi ke Monas hari ini, sedangkan besok aku sudah mulai masuk sekolah," keluh gue kesal.

Ya, setelah pengambilan rapor beberapa waktu silam, Hayam Wuruk memberikan saran pada gue untuk berkeliling kota selama liburan sebagai bentuk apresiasi terhadap diri sendiri karena nilai rapor gue yang cukup memuaskan.

"Oce, apa kau tidak bosan berdiam diri seperti itu?" tanyanya mengamati gue yang hanya terduduk manis sembari sesekali menyeruput kopi yang mulai mendingin.

"Aku bosan, Hayam Wuruk. Karena aku bosan, aku jadi tidak tau mau melakukan apa," balas gue.

"Kalau begitu, ayo kita memasak!"

Hayam Wuruk berdiri dari duduknya, ia membuka pintu kamar kos, bermaksud mengajak gue pergi ke dapur.

"Mau masak apa?" tanya gue sebelum bangkit dari bangku yang gue duduki.

"Aku tidak tau, ayo kita lihat apa yang bisa kita olah di dapur."

Gue mengecek isi kulkas, mencoba mencari apa yang bisa kami masak untuk saat ini. Gue memejamkan mata geram saat melihat kulkas ini hanya diisi oleh frozen food.

"Hayam Wuruk, hanya ada nugget dan sosis sekarang. Kau mau masak apa?" ucap gue sembari menutup kembali pintu kulkas.

"Bagaimana dengan telur? Ada atau tidak?" tanyanya.

Gue merespon ucapannya dengan anggukan. Hayam Wuruk yang semula berdiri di dekat pintu pun berjalan ke arah kulkas dan mengambil sosis beserta dua butir telur.

"Kita masak nasi dengan margarin saja seperti yang waktu itu kau buat, Ce!" kata Hayam Wuruk dengan tangannya yang penuh dengan bahan masakan itu.

Sebuah kerutan terlihat di dahi gue. "Masakan yang mana?"

"Yang kau buat saat kau bilang kita tidak punya uang untuk membeli nasi goreng!" jawab Hayam Wuruk.

Ya Tuhan, kenapa cara mengingatkannya harus dengan 'tidak punya uang untuk membeli nasi goreng' sih?

Another Time [MAJAPAHIT] (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang