6. Daun Pisang

11.6K 1.8K 61
                                    

author's note:
haloo! double update karena hari ini aku lagi seneng nct dream mau comeback dan fix unit ^_^ tapi bsk aku ada ulangan harian matematika T_T
tetap jaga kesehatan yaa! yuk berdoa supaya pandemi ini bisa cepat selesai, aamiin! see yaa! ><

happy reading!!!

👑👑👑

Usai mencari makan, gue dan Hayam Wuruk memutuskan untuk pulang ke kosan karena hari sudah mulai gelap. Kami berjalan kaki menuju stasiun, tapi baru beberapa langkah berjalan ternyata rintikan hujan mulai turun.

"Mau berteduh dulu tidak?" tanya gue kepada Hayam Wuruk yang dibalas dengan anggukan olehnya. Kami akhirnya berteduh di halte, ada cukup banyak pengendara motor atau pun pejalan kaki yang ikut berteduh bersama kami di sini.

Banyak banget pohon pisang di belakang halte, seram ....

Hayam Wuruk terlihat kembali termenung, entah apa yang sedang dipikirkannya, mungkin ia masih memikirkan kerajaannya.

"Tuh kan! Kau melamun lagi! Apa kau masih memikirkan tentang Majapahit?" kata gue.

Hayam Wuruk menoleh. "Iya ... suara hujan ini membuatku rindu dengan Majapahit."

Gue bingung harus membalas ucapannya bagaimana, jadi gue hanya memegang tangannya dan mengelusnya lembut. Hayam Wuruk tersenyum dan menggenggam balik tangan gue.

Sudah hampir satu jam hujan turun dan belum ada tanda-tanda hujan akan reda hingga sekarang. Beberapa pengendara motor yang sempat berteduh tadi memilih nekat menerobos hujan dengan jas hujan yang mereka bawa.

Shit! Gue gak bawa jas hujan atau pun payung!

Di sisi lain, waktu juga terus berjalan. Sekarang sudah pukul tujuh malam dan jarak tempuh dari Bogor ke kosan gue bisa memakan waktu sekitar satu jam, belum termasuk waktu untuk menunggu keberangkatan kereta.

Kalau gak pulang sekarang, pasti bakalan lumayan malam sampai di kosannya. Sedangkan, gue dan Hayam Wuruk saja baru tidur tiga jam tadi, kami butuh istirahat.

"Ce? Kenapa sekarang malah kau yang melamun?" tanya Hayam Wuruk yang sedari tadi menyenderkan kepalanya di bahu gue.

"Eh, tak apa-apa kok. Aku hanya kepikiran kalau kita tidak pulang sekarang, pasti kita akan sampai di kosan malam sekali. Tapi, kan ini masih hujan, kita tidak mungkin nekat menerobos hujannya."

Hayam Wuruk berdiri dan merapikan pakaiannya, kemudian berlari ke arah belakang halte yang penuh dengan pohon pisang itu.

Eh? Untuk apa Hayam Wuruk pergi ke pohon pisang? Ini kan sudah malam. Apa dia gak takut bertemu dedemit?

Ternyata Hayam Wuruk berlari ke arah tumpukan daun pisang yang ada di atas tanah, kemudian ia merapatkan tangannya seperti sedang berdoa dan mengambil salah satu daun tersebut.

Mungkin lagi minta izin sama penjaganya.

Hayam Wuruk kemudian berlari menghampiri gue dengan bajunya yang setengah basah. "Ayo kita ke stasiun! Aku sudah mengambil ini, jadi kita tidak akan kehujanan!"

Jelas saja perkataan Hayam Wuruk tersebut membuat gue dan dirinya menjadi pusat perhatian di halte. Beberapa orang tertawa melihat tingkahnya. Sejujurnya gue gak yakin sih dengan idenya, secara daun pisang kan tidak selebar itu? Pasti akan tetap basah juga pada akhirnya.

"Ayo, cepat! Daripada kita pulang larut malam, kan?" Hayam Wuruk kembali mengulang ajakannya. Akhirnya setelah menimang-nimang beberapa saat, gue putuskan untuk menerobos hujan dengan daun pisang.

Heroik sekali!

Hayam Wuruk berjalan di sebelah gue, kedua tangannya memegang daun pisang tersebut sebagai "payung" kami.

Ya ... tak mungkin juga kalau gue yang memegang daunnya, kan? Toh, Hayam Wuruk jauh lebih tinggi daripada gue.

Kami berjalan cepat menuju stasiun, tentunya kami masih menjadi sorotan orang-orang yang kami temui di jalan. Setelah sepuluh menit berjalan, kami akhirnya sampai di Stasiun Bogor. Baju Hayam Wuruk terlihat jauh lebih basah daripada milik gue.

"Bajumu basah ... aku juga lupa bawa baju ganti atau pun jaket. Bagaimana, nih?" kata gue panik.

"Tenang saja, Ce. Aku ini Rajasanagara. Lebih baik sekarang kita menaiki kereta, sepertinya kereta ini akan segera berangkat." Hayam Wuruk menarik tangan gue dan berjalan ke arah kereta tersebut.

Kami duduk di bangku pojok salah satu gerbong kereta. Hayam Wuruk terlihat tak masalah dengan bajunya yang basah. Tapi, tetap saja gue tak tega! Perjalanan dari Bogor ke kosan tidak sebentar! Di dalam kereta juga dingin, ditambah lagi dengan ia yang kurang istirahat, Hayam Wuruk pasti rentan sakit setelah ini!

"Senderkan kepalamu di bahuku saja," kata gue sambil menepuk pundak gue. Hayam Wuruk menyenderkan tubuhnya, kemudian menutup matanya perlahan.

"Bangunkan aku jika sudah sampai, ya," ucapnya. Gue mengangguk, salah satu tangan gue mengelus kepalanya lembut dan satu tangan lainnya gue gunakan untuk menggenggam tangannya yang kedinginan itu. Selama di kereta, banyak orang menatap kami dengan tatapan yang sulit gue definisikan.

"Suaminya ya, Mbak?" tanya penumpang di seberang gue.

Kemarin dikira pacar sama Bude Asri, sekarang dikira suami. Aduh aduh aduh ....

Alih-alih menjawab dengan jujur, gue malah mengiyakan ucapan penumpang tadi.

"Lucu banget ya mba, pasti pengantin baru."

Gue terkekeh mendengarnya, dan tak lama kemudian kereta telah sampai di Stasiun Duren Kalibata.

"Hayam Wuruk, bangun .... Hei, ayo banguuun .... Sudah sampai, ayo turun." Hayam Wuruk langsung terbangun dan melangkah keluar bersama gue. Mata Hayam Wuruk terlihat menyipit, sepertinya ia sedang menahan rasa kantuknya. Jarak dari stasiun ke kosan gue memang tak begitu jauh, tapi kaki ini rasanya sudah sangat lelah untuk dipakai melangkah.

Gue merogoh isi tas, meraih kunci dan membuka pintu kamar kos gue, kemudian berkata, "Kalau mau tidur, mandi dulu, ya."

Tanpa basa-basi Hayam Wuruk langsung masuk ke dalam kamar mandi. Ah, gue jadi kepikiran dengan omongan penumpang kereta di seberang gue tadi.

Pengantin baru, ya? Hahaha.

Belum ada sepuluh menit di kamar mandi, Hayam Wuruk sudah keluar dari kamar mandi. Gue melirik Hayam Wuruk sekilas, wajahnya terlihat kelelahan.

Wajar sih, kita kan seharian ini jalan berkilo-kilometer. Pasti dia lelah, gue juga lelah sih ....

Gue pun membersihkan diri gue sebelum akhirnya ikut merebahkan diri di atas kasur bersama Hayam Wuruk. Sepertinya hari ini ia sangat kelelahan, Hayam Wuruk sudah terlelap lebih dulu dalam tidurnya. Sementara itu, gue memilih untuk memainkan ponsel, kemudian membuka galeri untuk melihat foto-foto yang kami ambil hari ini. Ada cukup banyak foto yang gue dan Hayam Wuruk ambil ternyata. Gue pun mengamati satu-persatu foto itu.

Ada satu foto yang menjadi favorit gue, yakni foto gue dan Hayam Wuruk saat di Griya Anggrek. Berlatar bunga anggrek yang indah, foto ini jadi terlihat sangat estetik. Gue pun menjadikan foto tersebut sebagai wallpaper ponsel gue. "Ini gemas banget ya ampun lucuu!"

Rasa kantuk yang sudah menyerang gue sejak tadi kini semakin terasa, gue menaruh ponsel di atas meja, dan kembali berbaring di atas kasur. Gue menatap Hayam Wuruk dari dekat, lalu membenarkan selimutnya.

"Selamat malam, Hayam Wuruk."

👑👑👑

Another Time [MAJAPAHIT] (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang