Semilir angin menampar wajah, membuat beberapa helai rambut Lisa jadi menutup sebagian wajahnya. Lisa bosan di kamar, jadilah dia memutuskan untuk berjalan-jalan di taman. Di tempat dimana untuk pertama kali eksistensinya disadari.
Sejak mengenal Jungkook, Lisa merasa hari-harinya jadi lebih berwarna. Sebelumnya yang bisa dia lihat hanya ruang kamarnya, juga tangisan Jisoo tiap malam. Membuat Lisa mengerti, Jisoo tidak pernah marah sekalipun Lisa memasukkan ayah mereka ke dalam jeruji besi. Lisa jadi merasa bersalah karena berpikir terlalu pendek.
Dan kemudian Lisa mulai mengenal satu-persatu teman Jungkook. Kamar rawatnya terasa lebih hidup dibandingkan sebelumnya. Dan karena Jungkook pula Lisa bisa dengan jelas melihat wajah malu-malu Jisoo kala Seokjin mendatanginya. Juga Yoonji yang belakangan jadi lebih sering menemuinya. Lisa senang.
Bukankah semua itu terlalu gemas untuk dilewatkan?
"Jangan melamun." Sebuah suara menginterupsi Lisa, dia menoleh, mendapati presensi Jungkook tepat di depan matanya.
Panjang umur juga rupanya. Baru dipikirkan, malah sudah muncul.
"Aku tidak melamun, hanya sedang berpikir." Lisa mendadak teringat sesuatu. "Bukankah hari ini tidak ada jadwal terapi?"
"Memang tidak." Jungkook duduk, meletakkan tongkat di sisi kirinya. "Aku sengaja datang memang untuk menemuimu saja."
"Kau tidak ada kerjaan, ya?"
"Ada."
"Kenapa ke sini?"
"Kerjaanku memikirkanmu. Jadi daripada hanya berpikir, lebih baik kudatangi saja."
Jungkook berucap kelewat santai, tapi sukses membuat pipi Lisa bersemu. Jungkook itu, selalu mengucapkan hal-hal manis yang membuat rona kemerahan di pipi Lisa tercetak jelas. Kalau begini terus, Lisa jadi takut tidak bisa lagi menekan perasaannya.
Entah sejak kapan Jungkook jadi mampu menjungkir-balikkan perasaan Lisa.
"Hei, ayo berkencan denganku. Seperti Kak Jisoo dan Kak Seokjin," ucap Jungkook ringan.
"Aku sudah lima belas kali mendengarmu bicara begitu, itu juga kalau aku tidak salah hitung." Lisa mendengus.
"Aku tidak akan berhenti mengatakannya sampai kau bilang iya," balas Jungkook.
"Kalau aku tidak mau bagaimana?" tantang Lisa.
"Aku akan terus mengejarmu, walau harus ke ujung dunia sekalipun."
"Mulut-mulut pendusta," cibir Lisa. Jungkook tertawa, hampir mengacak rambut Lisa kalau tidak ingat mereka sedang di tempat umum.
"Tunggu, ya, nanti lima tahun lagi aku pasti jadi orang pertama yang kau lihat setelah bangun tidur," ucapnya percaya diri.
Lisa memutar matanya, meski tak memungkiri sensasi menggelitik di dasar perutnya. Jungkook berucap sambil tertawa-tawa, tapi Lisa tidak bisa untuk tidak mengiyakan ucapannya di dalam hati.
Ah, benar, kan? Jungkook sudah berhasil memporak-porandakan hatinya. Ucapannya itu juga benar-benar tidak bagus untuk kesehatan jantung.
****
"Apa ada perkembangan?" Yoongi mendatangi meja Hoseok.
"Beberapa mulai menemui titik terang. Aku masih terus berusaha," jawab Hoseok.
"Aku tahu kau selalu bisa diandalkan."
Hoseok tersenyum saja, menimbang-nimbang apakah harus menunjukkan hasil penyelidikannya pada Yoongi.
"Kak," panggilnya.
Yoongi menoleh. "Apa?"
"Kasus kecelakaan Paman Min, itu disengaja," ujar Hoseok.
Yoongi menatap Hoseok lamat-lamat, sebelum akhirnya kembali fokus pada ponsel di genggaman.
"Ya, aku sudah menduga. Ayah memiliki banyak musuh, jadi aku tidak heran kalau memang ada yang mau mencelakakan kami."
Hoseok mengusap wajah, tambah bingung lagi. "Tapi kali ini berbeda, Kak. Orang ini juga orang yang sama dengan yang waktu itu menyerang Jungkook. Dia jelas ingin menyingkirkan kalian satu-persatu."
Lantas Hoseok membuka laci mejanya, menyerahkan selembar foto pada Yoongi.
"Kak Seokjin pernah menabrak sebuah mobil di jalan. Pemilik mobil menuntut ganti rugi meskipun jelas dia yang menyalahi lalu lintas. Dan ini mobilnya."
Yoongi mengamati foto itu dengan seksama. Ingatannya memutar kembali kejadian dimana Seokjin datang dengan wajah kusut, mengatakan kalau dia baru saja menabrak sebuah mobil.
"Lalu ini," tangan Hoseok bergerak memutar laptopnya untuk ia hadapkan pada Yoongi.
"Aku sudah ratusan kali memutar CCTV ini. Awalnya aku tidak sadar, tapi mobil ini tidak pernah terasa asing bagiku. Lihatlah, hyung, bahkan setelah mobil Paman menabrak pembatas, dia masih ada disana. Baru pergi ketika mobil Paman mulai mengeluarkan percikan api. Memang tidak terlalu jelas karena dia mengambil jarak yang jauh dari mobil Paman, tapi aku yakin ini mobil yang sama dengan yang ditabrak Kak Seokjin."
Yoongi mulai memperhatikan foto dan rekaman CCTV yang diperlihatkan Hoseok.
"Bagaimana kalau ternyata itu hanya kebetulan? Lagipula platnya tidak terlihat dengan jelas di video ini." Yoongi menunjuk.
"Kak, kebetulan mana ada yang berkali-kali? Bagaimana kalau aku bilang mobil ini sering terlihat di sekitar rumah kalian? Mengambil posisi yang cukup jauh dan tertutup agar tidak terlihat. Percayalah padaku, Kak, aku terbiasa melihat segalanya dari berbagai sudut. Aku yakin pemilik mobil inilah dalang dari semuanya."
Yoongi memutar lagi laptop Hoseok, juga mengembalikan foto yang tadi diserahkan. Kepalanya dipenuhi dengan ucapan Hoseok, juga praduga miliknya.
"Aku percaya padamu."
Yoongi berdiri, mengambil ponsel yang sempat dimasukkannya ke saku celana. Dengan gerakan cepat, Yoongi menunjukkan sebuah gambar pada Hoseok.
"Aku butuh bantuanmu lagi."
****
Seokjin mengantar Jisoo hingga tiba di depan resepsionis. Mereka baru saja menyambangi ayah Jisoo di penjara. Mengucap sepatah-dua patah kata. Juga, meminta restu untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Jisoo dan Seokjin memang tergolong belum lama mengenal, tapi pernahkah kalian merasa cocok dengan seseorang dalam sekali lihat? Dan itulah yang dirasakan keduanya. Jadi, tanpa pikir panjang, juga pendekatan yang singkat, Seokjin mantap mengajak Jisoo melangkah bersama. Bersiap mengucap janji suci di depan pendeta.
Nanti, setelah semuanya selesai.
"Sebentar lagi, aku janji akan membawa ibu dan adik-adikmu untuk kembali. Tunggu sebentar lagi, aku berjanji," ucap Seokjin.
"Tidak apa-apa, Kak. Begini saja aku sudah sangat berterima kasih. Harusnya ini tanggung jawabku sebagai kakaknya, tapi aku justru tidak bisa melakukan apa pun," balas Jisoo.
Seokjin meraih jemari Jisoo. "Secepatnya, Jisoo-ya. Secepatnya kau akan kembali bersama mereka. Dan secepatnya aku akan membawamu ke altar."
Jisoo tampak resah, menatap ragu pada Seokjin. "Tapi, bagaimana kalau Lisa belum juga bangun sampai hari itu tiba?"
"Kita akan mengucap sumpah pernikahan di depannya. Tidak perlu pesta mewah, aku tidak masalah. Yang terpenting bukan pestanya, tapi prosesnya. Aku akan membawa pendeta kesini andaikata Lisa memang belum mau membuka matanya. Biar dia tetap bisa melihat, meski dalam wujud yang berbeda."
Tanpa aba-aba Jisoo memeluk tubuh Seokjin di depannya. Tak peduli lalu-lalang orang di sekitar mereka. Juga tak menyadari tatapan sendu Namjoon yang memandang mereka dari jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason || Lizkook ✔
FanfictionBagi Jungkook, Lisa sesederhana angin yang berhembus. Pembawa ketenangan. Pembawa kesejukan. Dan bagi Lisa, pertemuannya dengan Jungkook seperti oase di padang pasir. Memberikannya alasan untuk bertahan. Lisa yakin, setiap hal punya alasannya masing...