Dokter muda dengan name tag Kim Jisoo itu melangkah menyambangi sebuah kamar yang selalu ia datangi kala waktu menunjukkan tengah malam. Jisoo melepas snelli yang masih melekat di tubuhnya, lantas mendekat pada ranjang pasien. Menatap lamat-lamat wajah damai adik bungsunya.
Tangannya terulur mengusap sayang puncak kepala gadis itu. Menyalurkan seluruh kasih sayang yang dimilikinya. Mengabaikan tetes demi tetes air mata yang perlahan menganak sungai di pipi.
"Maaf, Lisa, Kakak selalu datang selarut ini. Ada banyak hal yang memang harus diselesaikan. Kau tidak marah, kan?" Jisoo melirih. Menatap sayu wajah pucat adiknya.
Lisa. Iya, Lisa. Lalisa Manoban teman baru Jungkook. Lalisanya. Adik kandungnya.
"Bersabarlah sebentar lagi, ya. Kakak janji kita semua akan kembali berkumpul."
Setelahnya, Jisoo mengecup sayang kening Lisa sebelum melangkah menuju sofa dan membaringkan tubuh lelahnya disana. Tanpa tahu bahwa ada sepasang obsidian yang menatap sendu pergerakannya.
"Maaf, Kak."
****
"Kapan, sih, kau keluar dari sini?" Taehyung bertanya, sembari mulutnya sibuk mengunyah apel yang ada di nakas.
"Merindukanku?" balas Jungkook.
"Cih, dalam mimpimu saja." Ia berdecih, lantas kembali mengunyah.
"Dia bukan rindu, hanya kehilangan sumber traktiran saja." Jimin yang ada di sudut ruangan menyahut.
Jungkook mendengus, sedang Taehyung tersenyum tak berdosa. Sesekali Jungkook melirik pada pintu, menunggu kedatangan Lisa. Berniat mengenalkan Lisa pada Taehyung dan Jimin.
Tapi nihil, yang datang justru Yoongi dan sesosok perempuan berambut sebahu di belakangnya. Lagi-lagi Jungkook mendengus. Itu Yoonji. Untuk apa pula Yoongi membawa Yoonji?
"Kak Yoongi!" Taehyung bangkit dari duduknya, lantas melirik Yoonji yang masih berdiri di belakang pintu.
Pemuda dengan senyum kotak itu segera mendekatkan diri pada Jimin, berbisik. Jimin yang mengerti situasi segera mengajak Taehyung keluar ruangan, memberikan keluarga itu privasi kendati Jungkook berusaha menahan kedua sepupu itu untuk tetap tinggal.
"Kak, kami pergi dulu ke kantin. Katanya Taehyung lapar," ucap Jimin.
Yoongi mengangguk. "Ya, pergilah, Jim. Kasihan dia nanti jadi kurus."
Taehyung mendelik, tidak terima dijadikan umpan. Tapi pelototan mata Jimin membuat nyalinya menciut. Pada akhirnya Taehyung hanya bisa pasrah.
Lantas Yoongi beralih mendekati Jungkook, membuat yang lebih muda hanya bisa menghela napas.
"Yoonji ingin menjengukmu, Kook," ujarnya.
Merasa percuma untuk mendebat, pada akhirnya Jungkook hanya mengangguk. Setelahnya Yoongi memberi isyarat pada Yoonji untuk mendekat. Gadis itu tampak ragu melangkahkan kakinya. Terlalu takut menerima penolakan. Jungkook memang tidak pernah terang-terangan menunjukkan penolakannya, tapi Yoonji cukup peka untuk membaca tatapan mata Jungkook.
"Kak, bagaimana keadaanmu?" tanya Yoonji pelan.
"Aku baik. Sudah lebih baik dari sebelumnya."
"Aku membawa buah-buahan untukmu, semoga lekas sembuh. Aku minta maaf, Kak."
Jungkook mengernyit. "Minta maaf untuk apa?"
"Untuk datang tiba-tiba di kehidupan kalian. Untuk menghancurkan semuanya. Sungguh, aku benar-benar tidak bermaksud. Aku hanya ingin diakui, itu saja. Aku tidak akan minta apa-apa," jelasnya.
Jungkook menghela napas. Tangannya terulur mengusap kepala Yoonji. Tidak menerima hadirnya bukan berarti membenci sosoknya.
"Sudahlah, bukan sepenuhnya salahmu. Aku saja yang belum bisa menerima kenyataan."
Yoonji mengangguk canggung, merasakan usapan tangan Jungkook di kepalanya.
"Sepertinya aku harus bergegas. Sekali lagi, semoga lekas sembuh, Kak Jungkook." Yoonji membungkukkan badannya, lantas segera keluar dari ruangan Jungkook.
Jungkook menatap Yoongi, ingin meminta penjelasan. Namun urung, ia lebih memilih menghembuskan napasnya.
"Kapan aku bisa pulang, Kak?"
Yoongi mengerjap, tersadar kalau sedari tadi dirinya justru melamun. "Ah, ya, dua sampai tiga hari lagi tergantung kondisimu," jawabnya.
"Kakak sedang memikirkan apa?"
"Tidak ada. Hanya beberapa urusan kantor, tidak perlu dipikirkan." Yoongi mengusap surai Jungkook.
Jungkook tidak percaya sebenarnya, tapi dia terlalu malas untuk mendebat Yoongi. Dia mengantuk, dan mendengar suara Yoongi malah membuatnya semakin mengantuk. Salahkan DNA mereka yang membuat Jungkook memiliki hobi tidur yang sama dengan Yoongi.
"Kak, siapa dokter yang menanganiku semalam?" Jungkook menatap Yoongi penasaran.
"Kenapa memangnya?"
"Perempuan, ya?" Bukannya menjawab, Jungkook malah mengajukan pertanyaan lagi.
"Bocah ini." Yoongi gemas sendiri. Memakan adiknya sendiri dosa tidak, sih? "Kalau iya memangnya kenapa? Kau mau dengan perempuan yang lebih tua darimu, ha?"
"Bukan begitu, Kak! Daripada dengan kakak-kakak, lebih baik aku bersama Lalisa," katanya santai.
"Mimpi saja sana. Kau pikir Lisa mau denganmu, huh? Tukang merajuk, menyebalkan, tukang tidur, mau bunuh diri pula. Sudah gila memang."
Jungkook menggeplak pundak Yoongi, peduli setan dengan kesopanan. Kakaknya ini, baru kemarin menangisinya, sekarang malah sudah keluar kata-kata mutiaranya.
"Sepertinya Kak Seokjin tertarik dengan dokter yang semalam," ucap Jungkook.
Yoongi terbatuk, tersedak air yang sedang diteguknya. "Apa katamu?"
"Iya, begitu. Dari tadi dia menyebut-nyebut dokter itu, dokter yang semalam, dokter cantik. Terus begitu sampai aku bosan. Memangnya secantik apa, sih, Kak? Sampai bisa merusak tatanan dunia begitu."
Hening sesaat, sebelum Yoongi terbahak hingga matanya menghilang. "Memang cantik, sih, seperti malaikat. Bagus juga kalau Kak Seokjin tertarik dengan wanita. Memang sudah waktunya menikah." Yoongi mengusap matanya, menyeka air yang keluar saat tertawa tadi.
Pintu terbuka, menampilkan Seokjin dengan wajah masamnya. "Sudah puas membicarakanku? Kasihan sekali aku, punya adik hobi menggosip seperti kalian."
Seokjin menatap lekat Jungkook yang tidak berhenti tertawa. Meringis dalam hati kala bekas membiru itu menyembul dari balik baju pasien Jungkook. Seolah dirinya bisa merasakan sakit yang sama dengan Jungkook malam itu. Lantas beralih menatap Yoongi yang juga menatapnya, ikut merasakan kekalutan Yoongi malam itu. Ah, sungguh, bahkan tidak ada kata yang bisa menjabarkan bagaimana sayangnya Seokjin pada dua makhluk menyebalkan di hadapannya ini.
"Cantik sekali, ya, Kak? Kenalkan padaku, dong." Jungkook menatap Seokjin dengan mata bulatnya.
"Ya, cantik. Cocok sekali menjadi kakak iparmu. Sayangnya aku tidak terlalu memperhatikan namanya," jawab Seokjin.
Yoongi berdiri. "Sepertinya aku lapar, aku akan membeli makanan dulu. Titip adikku, ya, Kak."
"Apa-apaan kalimatmu itu? Dia ini juga adikku."
"Sudahlah, jangan memperebutkan aku begitu. Aku tahu aku menggemaskan. Jadi, sudah, ya." Jungkook menyahut dengan senyum menyebalkannya.
"Yoon, ayo pergi. Tinggalkan saja kelinci ini di sini. Biar dipungut orang."
Jungkook tertawa. Sejauh yang diingatnya, mereka tidak pernah tertawa selepas itu lagi semenjak dia siuman. Hanya ada tangisan, permintaan maaf, juga kekhawatiran yang tertuju untuknya.
"Oh iya, Kak." Yoongi berbalik di depan pintu, menatap Seokjin. "Kalau tidak salah, namanya Kim Jisoo. Dokter Kim Jisoo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason || Lizkook ✔
FanfictionBagi Jungkook, Lisa sesederhana angin yang berhembus. Pembawa ketenangan. Pembawa kesejukan. Dan bagi Lisa, pertemuannya dengan Jungkook seperti oase di padang pasir. Memberikannya alasan untuk bertahan. Lisa yakin, setiap hal punya alasannya masing...