19. Mendatangi

4.6K 591 33
                                    

Jungkook mengalihkan atensinya kala mendapati presensi Yoongi berdiri di depan pintu kamarnya. Yoongi melonggarkan dasi yang membelit lehernya, lantas duduk di tempat tidur Jungkook. Membuat Jungkook yang sudah mengantuk itu jadi mengernyit heran.

"Ada apa, Kak?"

"Tidak ada. Hanya ingin menemuimu saja." Yoongi berucap santai, semakin melonggarkan dasi hingga akhirnya terlepas.

"Apa hari ini melelahkan?"

"Ya, begitulah. Ada banyak sekali meeting hari ini."

Yoongi melepas sepatunya, lantas merebahkan diri di samping Jungkook. Tanpa aba-aba Yoongi menarik tubuh Jungkook dan memeluknya. Menjadikan adiknya itu sebagai guling.

Diperlakukan begitu, Jungkook hanya terkekeh. Sudah biasa. Sejak kecil Yoongi memang seperti itu. Akan datang ke kamar Jungkook lalu memeluknya erat ketika merasa harinya terlalu berat. Katanya, lelah Yoongi bisa hilang dalam sekejap kalau sudah memeluk adiknya.

"Kak, kau ini sudah tua. Masih saja suka peluk-peluk. Tidak malu?" cibirnya.

"Biarkan saja. Biar mereka iri karena tidak punya adik sepertimu," balas Yoongi.

Jungkook hampir terlelap ketika tiba-tiba Yoongi beranjak dari posisinya. Secepat kilat duduk di tepian kasur sembari mengambil beberapa tissue dari nakas.

Pemuda bergigi kelinci itu tak bisa menyembunyikan kekhawatiran ketika netranya dengan jelas menangkap bercak merah pada tissue yang digunakan Yoongi. Kakaknya mimisan, dan Jungkook tahu itu bukan pertanda baik.

"Kak!" Jungkook membalik tubuh Yoongi, ikut mengambil tissue dan membersihkan darah yang masih keluar.

"Tidak apa-apa, Jungkook, aku akan mengurusnya." Yoongi hendak beranjak, namun tangan Jungkook keburu menahan lengannya.

"Tetap di sini, Kak, biarkan aku membantumu."

Mata Jungkook sudah berkaca, tidak tega melihat Yoongi seperti ini. Sejak kecil, Yoongi mudah mimisan jika kelelahan. Bukan perkara serius, tapi Jungkook tetap saja ketakutan. Melihat darah keluar dari lubang hidung kakaknya, membuat hatinya serasa diremas.

Yoongi lelah, imunnya menurun. Itulah kenapa Yoongi mimisan lagi setelah sekian lama tidak pernah kambuh.

Lima menit kemudian pendarahannya berhenti. Jungkook memegang kening Yoongi yang terasa lebih hangat dibanding biasanya. Menatap Yoongi dengan tatapan sarat kecemasan.

"Istirahatlah, Kak, jangan bekerja besok," ucapnya.

"Pekerjaanku menumpuk, Kook, aku tidak bisa terus melimpahkannya pada Kak Seokjin," balas Yoongi.

"Tapi kesehatanmu lebih penting, aku tidak mau melihatmu sakit. Tolong dengarkan aku." Jungkook sudah menangis sekarang, dan Yoongi dengan cepat memeluk adiknya.

"Baiklah, baiklah, jangan menangis. Maafkan aku sudah membuatmu khawatir."

Sejujurnya Yoongi memang lelah. Pekerjaan di kantor, juga perkara yang tidak kunjung selesai jelas menyita seluruh pikirannya. Raganya mungkin saja terlihat bersantai, tapi tidak dengan otaknya.

Hah, Yoongi jadi menyesal mendatangi kamar Jungkook malam ini. Kalau tahu begini, Yoongi lebih memilih tidak bisa tidur saja dibanding harus membuat adiknya dilanda kecemasan karena dirinya. Lagipula, kenapa harus mimisan di depan Jungkook, sih? Kan bisa nanti saja kalau Jungkook sudah tidur. Yoongi jadi kesal sendiri.

****

Yoongi tidak bekerja. Jungkook benar-benar tidak mengizinkan Yoongi melakukan pekerjaan apapun, bahkan memasak sekalipun. Jungkook juga memilih tidak pergi kuliah hanya demi memastikan Yoongi menuruti ucapannya. Jadi sepanjang hari Yoongi dikurung oleh adiknya sendiri di dalam kamar.

"Sampai kapan mau menungguiku di situ terus, Kook?" tanya Yoongi. Pasalnya, sejak subuh hari tadi, Jungkook terus duduk di tepi kasur dan memandangi Yoongi. Seolah Yoongi akan hilang kalau Jungkook berkedip.

"Sampai aku yakin kalau kau sudah sembuh," balasnya.

Yoongi memutar mata. "Aku cuma sedikit demam, bukan sekarat."

"Jangan berbohong. Kakak sudah tidak pernah mimisan lagi beberapa tahun ke belakang, kalau sekarang terjadi lagi, berarti ini memang serius," ucapnya.

"Kemarilah," tangan Yoongi menepuk sisi di sebelahnya. "Aku ingin tidur."

Jungkook menurut, merebahkan dirinya di samping Yoongi. Dan tanpa buang-buang waktu lagi, Yoongi langsung merengkuh tubuh Jungkook untuk dijadikan guling seperti semalam. Jungkook bisa merasakan suhu tubuh Yoongi yang masih hangat, meski sudah lebih baik dari tadi malam.

Baru sepersekian detik matanya menutup, Yoongi dikejutkan dengan suara bel rumah yang berbunyi. Yoongi menggeram, melepaskan diri dari adiknya.

"Kenapa susah sekali untuk tidur dengan memeluk adikku?" gerutunya.

Jungkook terkekeh. "Itu pasti Yoonji, aku yang menyuruhnya datang."

"Untuk apa?"

"Untuk memasak, memangnya apa lagi? Aku tidak bisa memasak, memangnya Kakak mau mati kelaparan?"

Yoongi mendengus. Sudah tahu tidak bisa memasak, tapi malah mengurungnya di kamar. Jungkook tidak peduli dengusan Yoongi, anak itu sudah keluar untuk membukakan pintu.

Kepala Yoonji menyembul dari balik pintu, lantas tanpa aba-aba masuk dan duduk di tepian. Mengabaikan Jungkook yang mengomel karena ditinggalkan.

"Kenapa tidak menungguku, sih?"

"Kau lama," balas Yoonji.

"Ih, menyebalkan," dengusnya.

"Jangan mengomel terus, nanti Kak Lisa tidak suka padamu lagi bagaimana."

"Tidak akan. Lisa hanya suka padaku," ucap Jungkook percaya diri.

"Percaya diri sekali," cibir Yoonji.

"Memang begitu, kok. Sudahlah, sana memasak. Yoongi hyung sudah lapar."

Yoonji memutar mata, meski akhirnya berdiri juga dan pergi ke dapur. Yoonji tidak terlalu pandai memasak sebenarnya, tapi karena Jungkook memaksa, jadi yah, jangan salahkan Yoonji kalau rasanya jauh dari kata enak. Yang penting bisa makan, kan?

****

Seokjin menatap bangunan di hadapannya. Sebuah flat kecil di daerah Gwangju. Yang kata Jimin dan Taehyung adalah tempat tinggal ibu dan dua saudari Lisa yang lain. Seokjin berdiri disana, bersama Taehyung dan Jimin. Sengaja belum mengajak Yoongi dan Jungkook karena mereka belum yakin benar akan diterima dengan baik.

"Kak," panggil Jimin. "Yakin mau masuk?"

Seokjin mengangguk mantap. "Kita tidak bisa membuang waktu lagi, Jim. Lebih cepat lebih baik, kan?"

"Tapi, Kak, bagaimana kalau ternyata ibunya Lisa itu galak? Bagaimana kalau dia marah-marah? Bagaimana kalau kita diusir?" Itu Taehyung, dengan segala pikiran rancunya.

"Bisa diam tidak?" Jimin menatap sinis.

"Aku hanya bertanya, kenapa tidak terima begitu?" protesnya.

"Kau berisik."

"Ayo masuk." Seokjin melangkah. "Bagaimanapun juga, mereka harus tahu apa yang terjadi."

Maka dengan keyakinan penuh meski sempat meragu, Seokjin lantas melangkah mendekati pintu. Menghembuskan napasnya gugup, menoleh sejenak pada Jimin sebelum akhirnya memantapkan hati dan mengetuk pintu.

Seokjin benar-benar gugup sekarang. Dia bahkan rela meninggalkan pekerjaannya di kantor hanya untuk ini. Biar sajalah, nanti malam dia akan lembur untuk menyelesaikannya. Yang penting sekarang adalah menemui keluarga Lisa. Seokjin ingin semuanya cepat menemui titik terang. Tidak tega melihat Jisoo menangis tiap malam, tidak tega juga melihat Lisa terus bergelung dengan alat-alat penunjang hidup yang bisa dilepas kapanpun.

Dan jantung Seokjin seolah dipacu dengan cepat kala pintu itu terbuka, menampilkan sesosok wanita dengan senyum yang terulas.

"Mencari siapa, Nak?"

Reason || Lizkook ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang