24. Waktu Kematian?

4.7K 624 116
                                    

Jangan lupa di play mulmednya sayang-sayangkuuu..
1313 kata, semoga nggak gumoh deh kalian.
.
.
.
.
.

Jisoo tidak bisa menahan kekhawatirannya saat tiba-tiba Yoongi menghubunginya, bilang kalau Seokjin masuk UGD. Jelas saja secepat kilat Jisoo berlari menuju UGD. Tapi yang dilihatnya disana justru membuat kakinya melemas.

Seokjin ada di sana, berdiri di ruang tunggu dalam keadaan sehat wal afiat. Tapi yang menjadi fokusnya bukanlah Seokjin. Melainkan tiga orang yang selama ini selalu ia pikirkan, ia rindukan.

Langkah demi langkah terasa amat berat bagi Jisoo. Rindunya menumpuk, membuatnya tak sanggup untuk sekadar membuka mulut dan menyapa. Lantas tubuhnya terhuyung saat Jennie berlari dan menghambur di pelukannya, menumpahkan seluruh air matanya di pundak Jisoo.

"Kakak, aku rindu," lirihnya.

Dan pertahanan Jisoo runtuh seketika. Tangannya terulur membalas pelukan Jennie dengan lebih erat. Menyalurkan rindu yang selama ini membelenggu. Terisak disana. Sepasang kakak-beradik itu menangis tanpa kata. Mengurai rindu dengan pelukan.

Tidak peduli dipandang aneh oleh orang-orang di rumah sakit. Jisoo hanya perlu memeluk adiknya. Menumpahkan seluruh rasa di sana. Meringankan beban yang selama ini ditanggungnya sendirian.

"Jangan pergi lagi, jangan ... tetaplah disini. Tetap bersama Kakak, bersama Lisa. Kakak akan memberikan apa pun, apa pun yang kalian minta, tapi jangan pernah pergi lagi." Suaranya teredam di antara isakannya.

Pekae melangkah mendekat, membuat pelukan dua saudara itu terlepas. Tanpa menunggu lagi, Jisoo menghambur memeluk wanita yang dicintainya itu. Semakin kuat terisak di pelukan Pekae.

"Ibu, Ibu aku rindu. Jangan pergi, aku membutuhkanmu, kami membutuhkanmu. Lisa ... maaf, aku tidak bisa menjaganya. Aku, aku bukan kakak yang baik. Maafkan aku, Bu, ampuni aku." Jisoo terbata.

Jimin sudah menangis di tempatnya, dan Seokjin melihat sisi lain dari Jisoo. Perempuan yang selalu berusaha terlihat tegar di depan orang lain, nyatanya tetaplah seorang anak. Matanya sudah berkaca, namun sebisa mungkin Seokjin menahannya. Setelah ini, Jisoo akan membutuhkan seseorang yang bisa menguatkannya. Dan Seokjin ingin menempati posisi itu.

"Kakak," lirih Chaeyoung, ia mendekat. Ikut bergabung memeluk kakaknya, lagi-lagi terisak.

Jisoo melemas, tak mampu lagi menahan tubuhnya. Bersimpuh di hadapan ibu dan dua adiknya. Masih menangis, terlalu bahagia dengan apa yang dilihatnya sekarang.

"Chae-ah, maaf, Kakak tidak bisa menjaga adik."

"Jisoo, anak Ibu, sudah jangan menangis. Jangan menyalahkan dirimu lagi, ini salah Ibu." Pekae membawa kembali Jisoo dalam rengkuhannya. Membiarkan si sulung menangis sepuasnya.

Dirasa cukup, Jisoo kemudian menghapus air matanya, berusaha menguatkan diri untuk membawa ibu dan adik-adiknya menemui si bungsu. Menginjakkan kaki di ruangan yang bisa merenggut adiknya kapan saja.

Tangan Jisoo bergetar kala meraih kenop pintu. Hampir menumpahkan lagi air matanya kalau Seokjin tak segera memberi usapan pada pundaknya. Dan dengan keberanian yang tersisa, Jisoo membuka pintu, membiarkan mereka melihat sendiri keadaan adiknya.

Yang pertama berlari tentu saja Chaeyoung, merengkuh tubuh Lisa dengan erat, menumpahkan tangisnya disana. Sama sekali tidak mau melepas, belum mau memberi kesempatan pada Pekae dan Jennie untuk memeluk Lisanya.

Lisanya berjuang sendirian, Lisanya tersiksa sendirian, bergelut dengan alat-alat berbalut perak itu sendirian. Chaeyoung merasa gagal sebagai kakak dan saudara. Terlambat mengetahui keadaan Lisa. Terlambat menghampiri Lisa. Juga tak ada di saat-saat terburuk Lisa.

Reason || Lizkook ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang