Pecundang!
Begitu mereka memanggilku, mengolok-olok tepat di depan wajahku. Aku hanya bisa menghela napas gusar. ya, memang begitulah kenyataannya.
Au seorang pecundang!
Satu sekolah pun tahu kalau aku tak bisa apa-apa.
Kalian pikir aku hanya akan diam saja sementara harga diri diinjak-injak setiap hari?
Jawabannya ... Iya!
Karena aku terlalu takut, aku terlalu pengecut untuk melawan tatapan memangsa teman-teman sekolahku.
"Aw!" Aku meringis saat Sisil menjambak rambutku.
"Masih berani lo sama gue?" tanya Sisil dengan tatapan merendahkannya, ada lebih dari 3 pasang mata yang menatapku iba tanpa melakukan apa-apa. Dan selebihnya, menatapku remeh dan ada juga yang menatapku jenaka.
"A-ampun, Sil," erangku saat Sisil menjambak rambutku dengan gemas.
"Heh! Denger ya, lo itu–"
Cekrek!
Sisil membeku, begitu juga dengan 12 orang yang ada di lorong tempatku dihakimi Sisil.
"Nice!" seru seseorang, dapat kulihat seorang cowok tengah berjalan ke arah kami–aku dan Sisil–melewati kelompok Sisil yang terpaku di tempat.
Cowok itu mengarahkan kamera yang ia bawa ke arah Sisil yang belum memahami situasi ini.
Karena ...
Satu, jam pulang sudah lewat hampir 1 jam yang lalu .
Dua, ini di lantai 3, dan untuk ke lantai ini perlu menaiki satu-satunya tangga yang ada di depan Sisil, dan lagi ada pintu yang sudah dikunci oleh kelompoknya.
"Siapa lo?" tanya Sisil pada cowok yang berdiri di sampingnya. Sisil mendorongku ke belakang hingga aku terjatuh.
"Lo ngebully cewek ini?" tanya cowok itu acuh sambil melirik ku. Ini pertama kalinya bagiku. Maksud ku ... selama ini orang-orang selalu pura-pura tuli dan buta saat aku diperlakukan semena-mena oleh Sisil dan gengnya.
"Bukan urusan elo!" Sisil menatap angkuh cowok yang mengenakan jaket hitam, membungkus tubuh tegaknya.
"Oh, jadi lo tipe cewek pemenang yang ngerasa paling hebat karena bisa nindas seseorang tanpa masuk ruang BK?"
Ada yang aneh, dari tadi cowok itu bicara sambil menggerak-gerakkan kameranya, mengarahkannya pada Sisil, aku dan 12 orang gengnya.
"Lo belum tahu siapa gue!" geram Sisil congkak, mencoba menggertak cowok di depannya.
"Lo Sisil, kan? anak kepala sekolah," sahut cowok itu santai, membuat Sisil membulatkan matanya.
"Jadi, gue se-terkenal–"
"WOW!" potong cowok itu sambil terkekeh.
"Ternyata, selain sombong tingkat kepedean lo tinggi juga, ya." Cowok itu menghampiriku dan membantuku berdiri. Lagi-lagi aku merasa gugup karena ini pertama kalinya ada yang menolongku.
"Tapi gak papa, gue suka cewek arogan kayak lo," ucapnya lembut. "Oh iya, kenalin, gue anak baru di sini. Nama gue Revan, dan ... " cowok bernama Revan itu menggantungkan kalimatnya, sambil menatap aneh pada Sisil.
" ... Mulai besok, gue yang akan menguasai sekolah ini ...."
Aku harap telingaku salah dengar!
Raut wajah Sisil perlahan berubah muram, nampaknya Sisil sudah menyiapkan kata-kata terpedasnya. Namun, pedasnya kalimat itu harus ia telan lagi.
Revan dengan cekatan memperlihatkan layar kameranya sambil tersenyum senang, memutarkan sebuah Video yang ia ambil barusan saat ia datang.
Wajah Sisil merah padam, tangannya mengepal erat. Komplotannya yang hendak mendekat untuk membantu Sisil terpaksa mundur karena instruksi Revan. Lebih tepatnya mendapat tatapan mengancam Revan.
"Kalau bokap lo lihat, gimana ya?" Revan mengetuk-ngetuk dagunya, berlagak sedang memikirkan sesuatu yang rumit.
"Lo ngancam gue?" Sisil tertawa hambar. "Lo pikir bokap–"
"Oh, bukan gitu maksud gue."
Sisil menggeram tak suka karena lebih dari dua kali ini ucapannya dipotong oleh Revan.
"Maksud gue, coba lo pikir ..." Revan berjalan memutari Sisil yang tengah menyedekapkan tangannya di depan dada.
"Kalau video ini tersebar di sosmed, lalu gue kasih judul 'bobroknya SMA Anggrek' gimana?" ujar Revan sambil menaik-turunkan alisnya.
"Kira-kira apa tang bakal orang-orang lakuin pas mereka tahu kalau pelaku pembullyan itu adalah Putri semata wayang dari seorang kepsek? mau ditaruh mana muka bokap lo?"
Aku meneguk ludah, ini kali pertama seorang Sisilia Saputri mendesah, speechless, mati kutu tak bisa menjawab apapun.
Revan menoleh padaku, menaik-turunkan alisnya sambil mengulas senyum manis, membuatku agak kikuk. Ia lakukan itu sambil menyandarkan dagunya di bahu Sisil yang pasrah.
"Lakuin yang gue mau, kalau pengen bokap lu nggak kenapa-napa," ancam Revan lirih di telinga Sisil, namun masih bisa kudengar dengan jelas
"Atau, lo bisa tetap angkuh dan lihat apa yang bakal terjadi selama 48 jam ke depan."
Dapat kulihat wajah Sisil yang memerah. Bukan, dia bukan dia bukan baper karena ulah Revan, tapi ia bingung, panik, takut dan ... aku menyukai keadaan ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
HONESTY (End)
Krótkie Opowiadaniajujur ... aku sebagian darimu yang selalu menghindari kata itu. jujur ... aku sebagian dari mereka yang dengan mudah meminta orang lain melakukannya. jujur ... aku sebagian dari kalian yang dengan amat sangat mengharapkannyya. dari ku, untukmu ... H...