Benar yang dikatakan Doro, hujan masih panjang, dan aku masih bersemangat. Semangat yang sama seperti anak-anak pergi ke luar rumah atau para remaja yang bersenandung bersama kekasihnya.
Pasokan airku juga masih amat banyak. Aku merasa senang saat semua basah bermandikan hujan, tanaman yang layu tak pernah dirawat bisa segar kembali.
Tak lupa juga aku mengamati. Setelah percakapan Doro usai, aku menoleh ke pelbagai arah.
Dengan mata kecilku aku melihat ...
Sekumpulan anak yang bergerak, maksudku berjalan beramai-ramai di tengah derasnya hujan sambil saling dorong dan tertawa renyah.
Namun, bukan itu yang menarik perhatianku, melainkan pada seorang bocah lelaki yang termenung sendirian.
Aku bertanya-tanya, sedang apakah dia? tidak kah Ia bermain bersama teman-temannya yang lain?
Banyak sekali pertanyaan dalam kepalaku, namun pertanyaan itu cukup Ku simpan saja di hati, 'toh dia juga tak bisa mendengarku.
Cukup lama aku perhatikan bocah itu. Sebelum lebih jauh, aku akan menjelaskan di mana tempat bocah itu termenung.
Ia duduk di tempat parkiran terbuka, duduk disebelah sepeda–yang aku yakin adalah miliknya–yang ada di tengah tempat lahan parkir.
Bermandikan hujan hanya berdua dengan sepeda nya, bocah itu merunduk semakin dalam dan ... kulihat bahunya naik turun dan tubuhnya agak bergetar.
Dia menangis?
Cukup lama bocah itu dalam keadaan seperti itu. Hingga, ia mendongak perlahan, air matanya tersamarkan oleh tetesan ku.
Ia lalu berteriak, teriakan panjang nan lantang. Aku dapat merasakannya, dari teriakannya tersampaikan sebuah kerinduan yang mendalam, tersirat kan penyesalan dan keputusasaan.
Aku terenyuh, lalu aku juga ikut menangis, namun dengan caraku. Akibatnya tetesan ku semakin bergejolak, cambuk-cambuk terbentang di udara di sekitar awan, menggelegar. Fenomena alam yang kalian sebut badai.
Ditambah angin yang bertiup kencang, menemani atas kesedihan tanpa sebab yang kualami.
Aku ingin berkata pada bocah itu, "Jangan berpikir kalau kau menangis sendirian. Lihatlah, alam juga ikut menangis bersamamu."
Waktu bergulir dengan cepat, dan banyak waktu yang dihabiskan dengan menangis, menemani bocah kesepian itu.
Aku tak menyesal, aku malah merasa senang karena setelah ini aku akan pergi ke lain tempat, meninggalkan sebuah kado untuk bocah itu, kado dari alam.
Kado yang akan dimiliki setiap orang, kado yang tak memiliki bentuk padat maupun cair, kado yang tak bisa digenggam, kado itu hanya sekumpulan cahaya.
Kado dariku dan matahari, yang dalam kurun waktu ini mengintip ragu dibalik awan. Sedikit merasa bersalah karena bersinar paling terang hingga terasa panas.
Mendung yang menaungi ku bergerak perlahan, membawaku ke tempat sebelah, berkumpul mendung-mendung lain yang sudah menunggu di sana.
Hari sudah hampir petang dan di saat itu aku turun lagi dengan suasana baru dan semangat baru, tak lupa juga aku memandang sekitar.
Dan dengan mata kecilku aku melihat ...
Sebuah pensil kelabu berujung hitam yang tergeletak malang di samping tong sampah dekat sekolah.
Cukup lama pensil itu tergeletak tanpa bisa melakukan apapun, hingga keremangan malam datang, diikuti seorang pria bertubuh tegap yang berjalan di tengah ku dengan santai.
Iya berhenti di depan pensil pendek itu lalu mengulas sebuah senyum.
"Seni," ia bergumam. Lalu tangannya terulur, memungut pensil malang itu dan memasukkannya ke dalam saku jaket coklatnya dan membawanya pulang.
Hujan
-end-

KAMU SEDANG MEMBACA
HONESTY (End)
Short Storyjujur ... aku sebagian darimu yang selalu menghindari kata itu. jujur ... aku sebagian dari mereka yang dengan mudah meminta orang lain melakukannya. jujur ... aku sebagian dari kalian yang dengan amat sangat mengharapkannyya. dari ku, untukmu ... H...