duskusi ayam jago .2

35 10 0
                                        

Hujan turun dengan semangatnya, membawa suhu dingin yang tak sepenuhnya dingin. Jito merasakannya, Hawa dingin hanya ada di luar bulu yang membungkus kulit, daging, tulang dan darahnya.

Namun, jauh di dalam sana ada bara api yang berkobar-kobar. Bara yang panasnya bagaikan bara pemanggang untuk sate ayam.

Jengger–ayam jago berkepala gagak itu– menatapnya nyalang pada ayam hitam legam di bawahnya. Ayam berbulu dan berkulit hitam gelap nan kelam seperti tempatnya bersembunyi tadi.

"Bang-" Belum selesai Jito berucap, Jengger lebih dahulu melompat turun.

Kepakan sayap beratnya memukul udara keras, menimbulkan suara khas yang menggetarkan hati Jito, apalagi ditambah dengan fitur slow motion dengan efek tetes hujan yang menambah kesan dramatis, action, cinematic, sad. Apapun yang Jito pikirkan.

"Lama tak jumpa ...

CEMANI!

Jengger menatap tajam pada jago berdarah hitam di hadapannya.

"Lama tak jumpa juga ...

JENGGER!

Walau bodoh, Jito tetap menyadari ada yang aneh, selain kedua ayam jantan yang berhadapan di bawah hujan diiringi petir dan angin kencang.

Untung bukan topan :v

Jengger memundurkan kaki kirinya, sikap waspada yang jarang ia tunjukkan.

Bulu di sekitar lehernya mengembang, lebar dan terlihat gahar.

"Oh! kaki kanan di depan?" sindir Cemani yang juga memundurkan kaki kirinya perlahan.

"Kau–"

"Kau sudah bukan temanku, Cemani!!" potong Jengger dengan tatapan mengancam.

Ptok?

Ayam-ayam lain yang sudah bertengger, dipaksa untuk singgah dari zona nyaman dan teduh mereka. Rasa penasaran yang membujuk sekumpulan kelompok ayam be-rotak kecil, bodoh dan mudah kagum.

"Penasaran adalah rasa lapar yang menakutkan," ujar Doro, merpati kelabu dengan satu sayap yang mengawasi dari sarangnya yang ada di atas kandang ayam tepat.

Ada apa dengan Jengger?

Jito membatin, Jengger yang ia kenal selama ini adalah sosok pejantan paling santai dengan tempramental tak terkontrol.

Se-marah apapun, Jengger tak akan memasang sikap membunuh pada lawan yang ada di depannya. kecuali ...

~~~

Kita beralih sebentar ke sebelah kandang ayam. Ada sosok hewan berkaki dua, berambut panjang yang tengah berbaring di ranjang.

Spesies unik yang dinamakan Human. Mari kita panggil dia dengan sebutan Lukman.

Lukman beranjak bangun saat mendengar suara keributan dari samping rumahnya, suara gaduh yang mengalahkan gelegar guntur dan hujan.

Lukman segera bangkit saat suara ayam mulai terdengar riuh dan serentak. Dengan langkah panjang, Lukman menuju ke samping rumah walau tahu akan derasnya hujan.

Ia masuk ke kandang dan melerai dua ekor ayam jago yang saling serang dan saling menghindar, cekatan dan ... kesialan untuk Lukman Yang tak peka akan situasi.

Sebagai harga yang harus ia bayar agar kedua jago perkasa itu mundur adalah, luka-luka ringan yang pasti meninggalkan jejak memalukan di wajah dan lengan.

"Bodoh!" sindir Doro sambil kembali memasuki sarangnya. Jito mendongak sesaat sebelum Doro masuk sarang.

Lalu kembali ia fokuskan matanya pada 'ring' yang masih panas karena wasit tak tahu diri, ditambah teriakan pendukung Jengger yang menggila.

"ADAW!" jerit Lukman lantang namun memalukan. Lalu, tanpa pikir panjang Lukman melempar Jengger ke kanan,  lantas menyambar Cemani dan melemparnya ke kiri sambil berteriak

"DIAM!"

Ajaib, semua ayam yang sedari tadi berteriak-teriak tak karuan mendadak bungkam. Jengger bangkit lalu menatap tajam pada Cemani yang juga melakukan hal yang sama padanya.

Lukman geleng-geleng kepala lalu mengurung kedua yang itu berjauhan. Ia menatap aneh sekumpulan penonton beragam usia seraya menggaruk pelipis heran.

"Untung puasa, kalau enggak, aku udah makan sate siang ini!" gerutunya.

Setelah Lukman keluar dari kandang, suasana kembali mencekam. Genderang perang kembali ditabuh, namun bukan perang panas yang memproduksi keringat.

Kini tiba saatnya ronde 2!

PERANG DINGIN!

Perang tanpa ujung, bukan Infinity atau uroboros karena tak ada yang abadi hingga lebaran nanti.

Pertanyaannya adalah, siapa yang duluan?

Jito hanya memperhatikan dalam diam. Memangnya ia bisa apa selain menonton dua ayam yang saling mengawasi pergerakan masing-masing.

Ia ingat akan kata-kata induknya, "Leave everything as is," ujar Jito mengingat.

HONESTY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang