senyuman pecundang .3

26 17 8
                                        

Alu ingin menangis, mataku sudah memanas ingin segera dibasuh air.

Tapi, menangis tak bisa memecahkan masalah, menangis tak bisa membuat pintu gudang terbuka lebar, menangis tak bisa mengembalikan ponsel ku yang tergeletak di luar gudang; menangis tak bisa menghidupkan lampu yang padam, dan menangis tak bisa mengusir ketakutan ku pada kegelapan.

Sebagian besar keadaanku sudah ku ceritakan. Sekarang, hanya tinggal kronologinya.

~~~

Aku mengekori Eki menuju gudang lama yang letaknya di pojok sekolah. Ia lalu mendorongku ke dalam, merebut ponselku, menyiramku dengan air bercampur tepung dan memenjarakan ku di gudang yang kotor, berdebu dan suram.

"Happy birthday!" serunya sambil melangkah meninggalkanku bersama kelompoknya.

Ia benar, ini memang hari ulang tahunku. Tapi, haruskah aku senang karena mendapat surprise dari Eki dan geng-nya?

Aku sudah pasrah pada keadaan. Aku menyandarkan punggungku pada pintu gudang dan duduk sambil memeluk lutut ku.

Hawa dingin mulai menusukku perlahan, aku menggigil. Lalu, mengulas senyum kecut.

Mendapat gelar pecundang, nasib buruk di hari spesial, keluarga berantakan, nilai yang selalu jelek, bakat nggak ada ...

Adakah yang lebih buruk dari ini?

Jegrek!

Aku membelalak, saat pintu gudang tiba-tiba terbuka. Sayangnya, aku langsung terjungkal ke belakang, pandanganku buram karena kacamataku yang terlepas dari tempat bertengger nya.

"Nih ..."

Aku melihat seseorang menyodorkan sebuah benda yang tak lain adalah kaca mata pada ku.

Tangan ku terulur untuk meraihnya, namun sayang, orang itu menarik kembali tangannya, membuat ku kecewa dan takut.

"Apa yang mereka lakuin sama lo?" tanya orang itu.

"Kayak kenal suaranya ..." batinku.

"Sekarang, elo berubah jadi bisu?"  tanya nya lagi. Aku mengatupkan mulutnya rapat-rapat lalu menunduk dalam-dalam.

"Kaca … kacamata gue, Please ...." aku mohon. Dapat kudengar helaan napas kasar orang itu

"Jawab dulu pertanyaan gue tadi."

Aku kembali bungkam, jujur aku takut jika orang ini tahu dan dia melapor, terus Eki dan gengnya dapat hukuman dan aku pasti akan kena imbasnya, menjadi pelampiasan Eki yang kesal.

"Oke, gue ganti pertanyaan." Orang itu kembali mendengus kesal sambil duduk di depanku.

"Kenapa lo enggak nangis waktu dikunci di dalam gudang?"

Aku mengangkat daguku dan tersenyum kecut, menggeleng pelan dan hendak berkata ...

"Nangis nggak bisa mecahin masalah?"

Itu bukan aku, tapi orang di hadapanku yang berkata demikian.

"Kalau lo nggak pengen nangis, terserah!" Orang itu menyerahkan kacamataku dengan kasar, lalu berdiri dan pergi melewati ku begitu saja.

"Tapi ingat ...." Orang itu berhenti di ambang pintu, aku masih setia mendengarkan tanpa menoleh sedikitpun.

"Lo bisa teriak minta tolong, biar orang lain tahu kalau lo lagi susah!"

Bibirku bergetar, pertahanan ku runtuh dan air mataku luruh.

Padahal aku sudah berusaha sekuat tenaga agar tak menangis, namun mata ini mengkhianati keteguhan ku, berkomplot dengan hatiku yang bergejolak meminta, merengek, meraung dan menjerit.

Dan di detik itu juga, keteguhanku hancur bersama kesialan yang menempel bagai kulit pada daging.








"Udah nangisnya?"

Aku buru-buru mengusap mata ku kasar, merutuki dan mengutuk kebodohan ku. Padahal, aku kira sudah tak ada orang, tahunnya ia masih di sini.

Kalau tahu begitu aku lebih memilih menangis di pinggir jalan atau di toilet.

Aku bergegas mengenakan kacamata bulat ku dan terperangah saat mendapati 3 orang cowok berdiri dengan santai di depan pintu gudang. Artinya, mereka melihat aku menangis, melihat aku histeris sambil menjambak rambutku frustasi.

"Re, lanjutin aja nangisnya, kita nggak papa kok," ujar Roi santai, Dodi dan Revan mengangguk bersamaan.

Mana bisa begitu!

Aku mencoba untuk berdiri, namun kembali jatuh. Aku merasa lemas dan pusing. Dodi segera membantu ku berdiri, diikuti Roi dan Revan.

Aneh sekali, aku tak pernah mengenal mereka, bertemu 'pun bisa dihitung jari. Tapi di saat orang-orang yang kukenal tutup mata, kenapa malah orang asing yang mengeluarkan tangan mereka tanpa kuminta?

"Re, kita anter lu pulang, ya?" tawar Dodi. Aku hendak menolak, Tapi Dodi langsung menyahut, "Udah deh, lo aman kok sama kita."

Aku bingung, resah dan sebagainya. Aku hanya tak ingin menyuguhkan mereka drama, tak ada cemilan lain seperti komedi, yang ada hanya drama air mata dan umpatan serta makian pedas.

HONESTY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang