senyuman pecundang .2

37 19 13
                                        

Sudah seminggu ini Sisil tidak berulah. Aku bisa sedikit bernapas lega. Setidaknya, salah satu orang yang suka membullyku lenyap (bukan secara harfiah lho.)

Dan, ya! Cuma salah satu, masih ada orang lain lagi yang mem bullyku. Dan mirisnya, semua berjenis kelamin wanita, sama sepertiku.

Aku heran, kenapa cewek suka sekali mem bully cewek? di manakah solidaritas antar cewek?

Aku sama sekali belum pernah melihat ada cowok yang ditindas oleh cewek. Jika memang benar-benar ada, pasti akan sangat WOW!

"Di sini elo ternyata ..."

Aku mengangkat daguku, lalu agak menoleh ke samping. Ada Revan bersama ketiga temannya yang berjalan mendekat ke arahku.

"Re-Revan?"

"Ngapain lo duduk di sini sendirian?" tanyanya sambil menatap sekeliling. Oh iya, tempatku duduk sekarang ada di bawah pohon beringin raksasa yang ada di belakang gedung sekolah. Ya ... Begitulah keseharian ku selama jam istirahat.

"Cuma ... Baca buku," jawabku sambil memperlihatkan sebuah buku yang tengah ku baca pada Revan yang sudah berdiri di depanku. Dan seperti biasa, ia selalu membawa kamera kesayangannya.

Revan menganga. "Lo baca buku horor di tempat kayak gini?" ujarnya tak percaya setelah memperhatikan cover dari buku di tanganku.

"Ke-kenapa emang?" tanyaku gugup sembari membenarkan kaca mata bulat ku. Revan terlihat memikirkan sesuatu.

"Enggak," sahutnya cepat. "Sini, gue pinjem buku elo bentar."

"Hah?" bingungku. Revan mendecak, lalu merebut bukuku secara paksa.

"Pinjem bentar doang, nggak bakal gue ilangin kok."

Aku hanya bisa pasrah saat Revan merebut bukuku lalu menyandarkannya pada pohon beringin, agak jauh dariku. Kemudian, ia segera menyetel kameranya.

"Ini cewek yang waktu itu, Van?" tanya salah seorang teman Revan yang berjarak lima langkah dariku. Seorang cowok berambut panjang dengan wajah flat.

"Hm." Revan menanggapi dengan deheman singkat, matanya masih fokus ke kamera. Aku jadi gugup saat ditatap sedemikian rupa oleh orang asing, bagiku.

"Terus, namanya siapa?" tanyanya lagi pada Revan. Bukankah akan lebih efisien jika bertanya langsung padaku?

Revan menoleh pelan, lalu ...

"Hehehe, gue nggak tahu," jawabnya dengan cengiran lebar. Ya! Alu memang tak pernah berkenalan saat kali pertama bertemu.

"Nama?" tanya cowok gondrong itu dingin. Dan yang mengejutkan, cowok itu sudah berdiri tegap, tepat di hadapanku.

"Nama lo," ulangnya lagi. Aku gagap seketika saat mendapat tatapan dingin menusuk itu.

"Re-Rea," jawabku terbata. Sumpah, aku benar-benar gugup.

"Oh. Kenalin gue Ed itu Revan." Ia menunjuk Revan yang masih sibuk sendiri.

"Dan yang belakang Roi, terus yang kanan Dodi," sambung Ed sambil menunjuk Roi dan Dodi yang melambai padaku.

Aku mengangguk susah. Tanpa sengaja, ekor mataku menangkap sebuah sosok, aku menoleh pelan, jantungku berhenti seketika.

Di sana, tak jauh dariku ada Eki yang menatapku aneh dengan evil smirk nya.

Just information, Eki salah satu dari tiga orang yang gemar membully ku, selain Sisil dan miss X, aku resah!

"Siapa itu?" tanya Ed yang ternyata mengikuti arah pandang ku. Mulutku hendak menjawab, namun urung karena kedatangan Sisil. Anehnya, Sisil datang seorang diri. Sekali lagi SEORANG DIRI.

"Nih!" sungutnya sembari memberi sebotol Pocary pada Revan.

"Thank, honey." Revan menerima dengan senyuman lebar, berbanding terbalik dengan Sisil yang wajahnya ditekuk, berbanding dengan Ed yang wajahnya tetap triplek, berbanding dengan Roi dan Dodi yang menahan tawa dan aku ... hanya melongo. Honey?

"Wuih, pacar baru, Van?" tanya Roi menggoda.

"Iyalah," jawab Revan mantap sambil mengalungkan lengannya ke leher Sisil. Roi dan Dodi menggeleng-gelengkan kepala sambil terkekeh.

Aku menautkan kedua alisku, dari kaca mataku, Sisil terlihat sangat enggan untuk berdekatan dengan Revan.

Terpaksa!

Itulah yang tertulis di benakku. Tanpa sadar, aku menyunggingkan senyum tipis, dan mirisnya Ed memergokiku.

Ia lalu menoleh kebelakang, memperhatikan Revan yang meminta Sisil untuk mencium pipinya. Dan dengan sangat terpaksa, Sisil memberi sebuah kecupan yang amat singkat dan tak ikhlas.

"Lo kenal sama Sisil?" tanya Ed tiba-tiba, aku sedikit terhenyak karenanya.

"Eh, eng-enggak terlalu kenal kok. Cuma sebatas tahu aja."

Ed mengangguk, lalu pergi meninggalkanku –Revan, Sisil, Roi dan Dodi– begitu saja.

Drt ... Drt ... Drt ...

Ponselku bergetar, aku merogoh saku dan mengeluarkan sebuah hp lusuh jadul dan tidak ada kerennya sama sekali.

Jantungku berdegub kencang saat aku mengeja sebuah nama yang tertera pada layar. "Eki." Tiga huruf itu menggetarkan hati dan jiwaku.

Dengan susah payah, aku menggerakkan jariku, memaksa untuk membuka pesan yang Eki kirim sebelum aku benar-benar mendapat masalah besar.










😈😈😈

"Pulang sekolah, gue tunggu di gudang lama!"

HONESTY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang