Hari sudah pagi, mentari terbit dan memancarkan sinarnya, merah kejingga an yang disebut 'sun' dan diikuti kata 'rise'.
Seharusnya begitu, tapi tidak pagi ini padahal waktu sudah menunjukkan pukul 6 lebih, tapi hari masih terlihat gelap. Mendung menghalangi si raja siang.
Semudah itukah mendapat gelar Raja, hanya karena bersinar paling terang? padahal bersanding dengan awan saja ia redup.
Ku kuruyuuuk!
Kokok dari seekor ayam jago.
"Buat apa kamu berkokok di jam segini?" tanya ayam jago lain yang lebih besar. Para ayam memanggilnya Jengger, jago terkuat di kandang ini.
"Bukannya ini memang waktunya berkokok, ya?" tanya ayam yang tadi berkokok.
"Dengar, Jito, hanya karena hari masih petang bukan berarti ini masih masuk jadwal!"
"Ta-tapi ..."
"Tak ada penolakan, jika kau melawan aturan, lebih baik angkat jalumu atau keluar dari kandang!"
Jito, si ayam jago muda itu hanya mengangguk pasrah mengalah karena ia tak punya suara, ia tak punya kuasa, pamornya rendah.
Janger 'pun memberi isyarat agar Jito ikut bertengger di dahan sebelahnya.
"Ingat ini, jadwal kita mulai pukul 02:00 atau paling lambat pukul 03:25." Jengger menjelaskan.
"Lalu nanti waktu subuh, hampir adzan, juga setelahnya sampai pukul 05:25."
Jito mengangguk mengerti walau ada yang mengganjal di hati.
"Bang," panggil Jito memberanikan diri. Ia bertekad akan bertanya walau tahu konsekuensinya, Jengger murka.
Tapi itu lebih baik daripada mengangkat Jalu dan duel dengan jengger.
"Sebenarnya saya sudah lama pengen tanya, tapi takut abang murka."
Jito memejamkan matanya, ia takut sewaktu-waktu mendapat patokan maut dari Jengger.
"Cepat tanya, jangan buang-buang waktu pagi yang berharga!" bentak Jengger.
Jito menelan ludah susah, paruhnya bergetar lantaran takut.
"Se ... Sebenarnya, untuk apa kita berkokok?" Jito sudah pasrah setelah menanyakannya, ia yakin akan mendapat setidaknya 2 patokan tepat di belakang kepalanya.
Ia memejamkan matanya rapat-rapat, berharap rasa sakitnya akan segera berlalu. Namun, setelah lama ia menunggu, rasa sakit itu tak kunjung sampai. Jito memberanikan diri membuka matanya perlahan.
Ptok?
Ia heran saat mendapati jengger ternyata juga memejamkan matanya.
Tidurkah?
"Kau bertanya untuk apa?" suara jengger yang berat membuat Jito menahan napas. Ia selalu heran, kenapa tindak-tanduk jengger begitu memukau, bahkan banyak induk langganan yang secara terang-terangan memuja Jengger.
"Pernahkah kau berpikir, untuk apa angin berhembus?"
Jito membungkam paruhnya, otaknya belum mampu mengikuti laju otak Jengger.
"Untuk apa tanya?" Jito merasa bodoh.
Jengger melirik tajam Jito yang seketika tersentak, tajamnya lirikkan Jengger menyayat nyali Jito yang setipis tisu bekas, lusuh dan robek sana sini.
"Dengar anak muda, tak semua pertanyaan butuh jawaban dan tak semua jawaban berasal dari pertanyaan!"
Jito kembali meneguk ludahnya, belum ada makanan yang melewati paruhnya, tapi Jito sudah merasa kenyang akibat disuguhi topik yang berat, buah dari kebodohannya.
~~~
Langit bergemuruh, sama seperti perut Jito. Perlahan gerimis turun, anak ayam dituntun oleh induk mereka mencari tempat berteduh.
Jengger dan Jito bergeming, tempat mereka bertengger cukup teduh untuk melindungi bulu tiga warna mereka.
Diam-diam, Jengger menatap lurus ke bawah kandang berkaki tinggi yang di bawahnya.
Kilatan di matanya menandakan ancaman.
Jito agaknya menyadari perubahan air muka Jengger.Ia ikut melirik ke bawah kandang. Namun sayang, ia tak menemukan apa-apa. Instingnya sama tumpulnya dengan otak dan indera tubuhnya.
Satu tetes, dua tetes dan seterusnya. Gerimis jadi hujan sungguhan, bukan hanya mendung dan guntur belaka.
Semakin deras!
Jito menyerah, matanya tak menemukan apa pun.
TIBA-TIBA
Jengger memasang sikap waspada, Jito panik bukan main. Sudah lama Jengger tak memasang posisi bertarung seperti itu.
Posisi yang konon katanya bisa membunuh jago lain sekali serang.
"Ada yang aneh!" pikir Jito.
Perlahan seekor ayam jantan berbulu hitam legam kel uar dari bawah gelapnya kandang. menghiraukan bulu hitam nya yang basah. Jago itu menengadah, menatap Jito dan Jengger datar.
Jito membelalak saat menyadari warna dari jago yang di bawah itu, ia menoleh pada Jengger cemas.
Paruh Jengger bergetar saat menyebut nama jago di bawahnya.
CEMANI!

KAMU SEDANG MEMBACA
HONESTY (End)
Storie brevijujur ... aku sebagian darimu yang selalu menghindari kata itu. jujur ... aku sebagian dari mereka yang dengan mudah meminta orang lain melakukannya. jujur ... aku sebagian dari kalian yang dengan amat sangat mengharapkannyya. dari ku, untukmu ... H...