senyuman pecundang .5

28 12 9
                                        

Kalian percaya kalau Karma itu ada? jika iya, bisakah kalian menunjukkannya padaku? Pada pecundang yang tak pernah menang!

Bisakah kalian menunjukkannya padaku? pada pengecut yang selalu takut!

Aku pun berharap karma itu nyata, lebih nyata dari rasa sakit yang selalu kuderita.

"Mulai kapan?" Ed bertanya dengan suara berat nan datar, ia membelakangi ku yang berdiri mematung dalam keadaan bingung.

Kini, kami (aku dan Ed) ada di rooftop, berdua saja setelah Ed mengusir Disya. Aku masih bergeming, menanti penjelasan Ed atas pertanyaannya.

"Sejak kapan lo jadi bahan bulanan?" ulangnya lagi sedikit lebih panjang. Aku maju perlahan, dengan ragu, aku mendekat dan berdiri disamping Ed.

Ia tengah memandang lapangan yang masih ramai, sebab Eki dan Dodi masih ada di bawah sana.

Ed  tak berbalik, Ia hanya melirikku sesaat.

"Sejak ... 4 minggu ini," jawabku lirih. Kembali kubuka memori-memori kelam, memori-memori yang menyesakkan dada hingga membuatku sulit bernapas.

Dulu ...







Aku hampir lupa tepatnya hari apa, tapi yang pasti, hari itu hari paling sial bagiku. Orang tuaku bertengkar, selalu. Ayahku ketahuan telah beristri, bahkan Jauh sebelum menikahi ibuku.

Sejak saat itu, hubungan ayah dan ibuku semakin buruk, parah! Hingga tak jarang aku kena amukkan dari Ibuku.

Tak cukup di situ, hari-hariku di sekolah yang semula biasa saja, kini berubah total sejak Alfred –ketua ekskul basket– mengajak ku jalan sepulang sekolah.

Aku tak tahu kalau Alfred sedang pacaran dengan Disya. Hingga, Disya datang ke kelasku dengan muka dua nya, ia menangis histeris dan berkata aku telah merusak hubungannya, rela dibayar untuk melakukan apa saja dan ...

Disya bilang aku anak haram, anak dari rahim kupu-kupu malam.

Aku diam saja?

Tidak! aku mendorongnya pelan, ia jatuh dan kepalanya terantuk ujung meja.

Darah segar mengalir, orang-orang panik, Disya menatap kosong pada cairan merah kental yang mengucur.

Dan aku? aku tersenyum simpul, ada rasa lega saat aku mencelakainya, beban berat ku sedikit terangkat.

Sejak saat itu, semua benar-benar berubah tanpa kusangka.

Orang-orang yang ku panggil teman menghilang, orang-orang yang ku panggil sahabat lenyap. Tak ada lagi yang tersisa, hanya kosong dan hampa.

"Gue pikir lo kuat," ucap Ed datar di sela-sela cerita ku. Aku menoleh dan menatapnya tajam.

Apa maksudnya?

"Gue pikir, elo nggak bakalan terpengaruh sama keadaan," sambungnya tanpa melepas pandangan dari lapangan yang sudah sepi.

"Lo selalu mikir kalau kisah elo udah paling sad, kan? " Kini Ed merenggangkan tubuhnya dan menghadapku.

"Kalau orang-orang manggil elo pecundang, lo mau apa? diem aja, kan?"

Aku mengepalkan tanganku erat, sampai buku-buku jari kuku memutih.

"Kenyataannya, lo menerima julukan pecundang itu." Ed merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa lembar foto dan mengamatinya sendiri, membiarkan rasa penasaran menghampiriku.

"Lo lupa kalau ada lebih dari 1000 orang manusia, ada 1000 lebih orang dengan berbagai macam cerita." Ed mengerutkan dahi saat memperhatikan salah satu foto, terus bicara tanpa menoleh padaku.

"Berarti, ada lebih dari 100 orang dengan cerita yang bahkan lebih sad dari punya elo." Ed menatapku penuh.

Ia memberiku 2 buah foto, aku menerimanya dengan dahi berkerut. Di foto pertama ada ayahku dan seorang wanita yang menggendong seorang bayi laki-laki yang amat lucu.

Aku menahan napas saat memperhatikan foto yang kedua, ada ayahku, Ibuku dan ... aku?

Aku mengangkat daguku, menatap Ed penuh kebingungan.

"Kalau mereka masih nganggap elo pecundang, lo tinggal buktiin ke mereka kalau elo itu pemenang." Ed mengangkat tangannya lalu mengacak rambutku pelan, Ia lalu berlalu begitu saja dan berhenti tak jauh dari pintu rooftop.

"Mulai sekarang, lo nggak perlu jadi pengecut. Soal mereka yang bully elo, serahin aja sama Revan, Roi sama Dodi." Ed kembali melangkah, aku memaksakan kakiku untuk menghentikannya.

"Tunggu!"

Ed berhenti tanpa berbalik.

"Sekarang ..." Ed kembali bersuara, "lo harus berusaha buat neken mental elo, gue bakal balik lagi kalau lo udah jadi pemenang." Ed menoleh pelan, menatapku sekilas dengan sorot teduh.

"Dan lagi …" sambung Ed. "Panggil gue kakak, kalau lu nggak mau kualat.

Aku membelalakkan mataku.

Foto, kakak, dan ...

Ed lalu melangkah pergi, aku menelan ludah dan tersenyum kecut.

Jadi, selama ini ...

Senyum di bibirku berganti dengan cairan bening yang mengalir dari mataku. Kupaksakan sebuah senyum haru pengantar kepergian dari ... kakak tiriku.





Desiran racau merebak tak berguna
Eratkan ego dan memuncak gila

Pacuan tuk menjadi hilang jiwa
Remuk redam rasa di benaknya

Empati hirap dari akal dan raga
Sarana tuk menambah kacau yang nyata
Insan lain tak ada yang mengerti gusar-nya

By : LhiaLii

senyuman pecundang

-end-

HONESTY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang