analisa penghapus .1

54 23 0
                                    

Aku adalah penghapus, baru dan masih tersegel tak tersentuh.

Terpajang indah di etalase toko peralatan sekolah bersama rekan-rekan penghapusku yang lain.

Di ujung sana, ada beberapa pensil dan pulpen. Ada yang tergeletak, dan ada yang berdiri dengan disandarkan, yang pastinya harganya mahal.

Ada beberapa penggaris dan jangkar yang menatapku aneh. Juga, ada beberapa siku dan busur yang senyumnya tak pernah luntur.

"Bagaimana keadaannya sekarang, Gladis?" Itu pertanyaan Rio -sang pemilik toko- pada seorang wanita yang amat cantik. Leher jenjang dengan kulit putih susunya.

"Kacau! Setelah semuanya, T masih minum," gerutu gadis bernama Gladis, dengan raut wajah sedih.

"Sekarang dia di mana?"

Gladis menghela napas kasar. "Ia di rumah. Sedang menggambar dengan pensil barunya yang ia pungut di tong sampah."

Rio mengangguk mengerti. "Ya, aku berharap ia tak buat masalah lagi."

Gladis mengangkat dagunya secara tiba-tiba, bola matanya membulat.

"Lagi?! Apa maksudmu dengan lagi?" tanya Gladis penasaran. Rio segera mengatupkan mulutnya rapat-rapat, berusaha menghindari sorot tatapan tajam Gladis.

"Rio, apa maksudmu dengan lagi?" ulang Gladis menekan suaranya.

Dari sini, aku sama sekali tak mengerti konflik apa saja yang telah mereka bicarakan.

Terlihat, Gladis mengacak rambut frustasi setelah Rio membisikan beberapa kata padanya. Menyuapi telinganya dengan beberapa kalimat yang membuat wajahnya kian menyuram.

Apa yang sudah terjadi, apa yang belum terjadi dan apa yang kini tengah terjadi, tak ada yang tahu.

Sebagai 'sebuah penghapus' itu semua bukan urusanku.

Tugasku hanya menghapus goresan tak penting dari sebuah pensil. Tugasku hanya membenarkan sebuah kekeliruan dalam dunia menggambar.

Manusia dan pola pikirnya, sudah sangat jauh dari gapai-an tanganku.

Sebagai 'sebuah benda mati' aku hanya ingin digunakan sebagai mana tugas yang harus ku emban. Menutur sapa dengan pensil yang sering berbuat kesalahan.

Aku tak menyalahkan, karena dari kesalahan itu terkadang muncul karya baru, tanpa diduga tanpa dinyana. Indah dengan segala coretan nya.

"Seni dari lukisan."

Aku lupa, tapi seseorang pernah mengatakannya, di sini, di toko ini.

"Tanpa penghapus, aku bisa melihat sketsa kehidupan yang tak beraturan."

"Jangan mulai!" sahut Rio malas kala itu.

"Ayolah, kau tahu, kawan?" Pria itu mengetuk-ngetuk meja kaca ber-irama. Menciptakan sebuah nada dari keheningan singkat di antara mereka.

"Gambar adalah kehidupan, sketsa adalah sebuah impian, outline adalah sebuah kerja keras dan arsir adalah sebuah hasil, buah tangan dari impian dan kerja keras kita!"

Rio memandang datar pada satu-satunya pelanggannya petang itu, di jam yang harusnya toko tutup.

"T, kau kacau. Jangan sampai ketahuan minum, aku sudah tak bisa melindungi mu, kawan." Rio menepuk bahu temannya pelan, menyalurkan kehangatan melalui kontak fisik bermediasi tangan.

"Kupikir, sudah seharusnya kau menulis tentang 'penghapus' pada daftar senimu." Rio menawarkan, sebuah usul yang langsung ditolak mentah-mentah oleh pria berwajah gahar itu.

"Aku sudah dapat penghapus. Jauh lebih lama sebelum kau membuka toko ini," sahut pria itu. Kemudian, ia melangkah pergi meninggalkan Rio yang mematung sambil mengusap bekas jahitan di lengan kirinya.

Kembali ke masa sekarang. Setelah diskusi serius yang tak bisa kudengar, Rio mengulurkan tangannya dan meraih tubuh putihku yang masih terbungkus plastik dari pabrik.

"Hanya ini yang bisa kuberikan." Rio menyerahkan tubuhku dan diterima Gladis dengan satu air mata yang luruh.

Tanpa basa-basi, Gladis langsung berlari membawaku pergi. Meninggalkan Rio yang -aku lihat- tengah menahan rasa sakit di hatinya .

Walau sebuah benda mati, aku yakin bukan patah hati terhadap lawan jenis yang Rio dapati. Lebih ke ... Patah hati pada sang sahabat sejati.

Ya, aku bisa melihat emosi-emosi seperti itu. Seperti aku melihat emosi pada sorot mata Gladis.

Sedih, kecewa dan ... Menyalahkan diri sendiri.

HONESTY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang