jeritan pensil .2

75 25 17
                                        

Ada sebuah tempat yang namanya rumah, ada juga tempat yang namanya penjara.

Entah kenapa manusia sering menyebutnya berbeda. Apa karena isinya? apa karena bangunannya?

Entah.

Tapi yang pasti, bagiku sama saja. Tempat berteduh dari tetes hujan, dari terjangan topan dan dari sengatan sang raja siang. Tempat berkumpul dan tempat berlindung.

Aku selalu menyukai yang namanya rumah, karena di sana aku merasa aman dan nyaman.

Setelah semua kesialan yang menimpaku dan setelah drama dalam hidupku. Akhirnya, aku kembali menjalani kodratku.

Garis sebuah pensil!

Ingatkah kalian pada pria yang memungutku di hari kemarin? pria besar, postur tubuhnya seperti seorang atlet, wajahnya gahar namun hatinya lembut.

Setiba di rumahnya, pria itu lantas mengelapku dengan sebuah tisu, lalu menjauhkanku dari perapian yang nyalanya menghangatkan.

Aku masih tak menyangka bahwa hari seperti ini akan tiba. Diriku 'yang mana sebuah pensil lusuh' kembali dipergunakan layaknya pensil pada umumnya.

Aku yakin, pria itu adalah seorang seniman sejati.

Malam berakhir, begitu pula hujan. Kini, mentari hangat menyambut, bersama sejuknya embun dan kabut.

Pria itu belum jua tidur, semalaman ia pergi entah kemana  dan baru kembali sekitar 16  menit yang lalu bersama seorang wanita, cantik, anggun dan dewasa.

"Tempat ini tetap sama, walau sudah sepuluh bulan aku tak ke sini." Wanita itu bicara sambil melihat sekeliling. Menilai beberapa lukisan yang terpajang indah di dinding.

"T, kau tak melakukannya lagi, kan?" tanya si wanita sedikit khawatir. Pria itu tersenyum manis seraya mendekatkan wajahnya pada si wanita.

Sontak, pipi wanita –berjaket hitam tebal– itu memerah.

"T, Hentikan!" Wanita itu mendorong pria yang ia panggil dengan sedikit malu. T tertawa riang. Lalu mengusap kepala si gadis dengan lembut.

Pemandangan yang biasa bagiku, melihat seorang pria dan wanita bermesraan.

"Kau ingin teh hangat, kopi atau susu cokelat?" tawar T.

"Hm, bagaimana kalau telur setengah matang dan es buah?" Sahut si wanita. T kembali tertawa riang, bagai seorang bocah yang mendapat mainan baru dari sang ibu.

"Ya ampun Gladis, kebiasaanmu tak pernah berubah." T menggeleng-gelengkan kepalanya kagum, lalu kembali mengusap kepala wanita yang tingginya hanya sebahunya.

Dan, hari itu kulalui dengan keadaan biasa, juga sedikit berbunga-bunga. Hanya menonton daily life dari seorang seniman yang kurang kompeten dalam hal bersih-bersih.

Ia kotor, tak sekalipun membersihkan catnya yang tumpah di lantai, tak sekalipun membuang sampah pada tempatnya.

Yang membuatku heran, bagaimana mungkin Gladis betah berada di tempat ini sepanjang hari? tempat ini memang tak berbau busuk. Tapi seorang wanita yang menawan berada di sini ...

"Kau masih tak tahu caranya membuang sampah?" sindir Gladis tanpa melepas pandangan dari buku, seraya menarikan pulpennya di atas kertas. Seminggu setelah aku kembali mengerjakan keahlianku.

"Seni," jawan T sambil menggoreskanku lembut. Membuat sketsa untuk sebuah gedung yang dinamakan kafe, tanpa menoleh pada Gladis.

"Bungkus cat berserakan, kuas dan kanvas bernoda cat warna-warni adalah definisi seni yang sesungguhnya."

Gladis menoleh sesaat, T terkikik geli karena Gladis yang kebingungan.

"Banyak sekali definisi seni yang bisa kujelaskan padamu."

"T, berhentilah meracau tak jelas, sebentar lagi deadline."

T menoleh, menatap Gladis penuh kelembutan.

"Kau tahu, honey? bahkan lampu lalu lintas adalah sebuah seni, seni sejati ...."

Aku sangat ingin tertawa saat T mengatakannya dengan aksen yang aneh, juga nadanya yang ... Bagaimana aku menjelaskannya?

Kalian pernah melihat sebuah teater atau oprah? kira-kira seperti itulah, aku juga tak terlalu yakin.

"T, kau bicara apa sih? aku sama sekali tak paham!" Gladis melempar sebuah gumpalan kertas, tepat mengenai kepala T yang entah ada isinya atau tidak.

"Itu dia!" T meletakanku, lalu segera berdiri dan berbaring di sofa. Meletakan kepalanya di paha Gladis.

"Inti dari seni adalah ... Tak bisa dipahami," jelas T sembari memeluk erat perut rata Gladis. "Tak bisa dimengerti dengan hanya sekali lihat," sambung T.

Galdis meletakan buku dan penanya, lalu mengusap lembut kepala T.

"Seperti derita dan putus asa, kau tak akan bisa mengerti hanya dari tulisan atau penjelasan. Tapi kau akan benar-benar paham saat merasakannya."

Isakan mulai terdengar, bukan dari Gladis. Tapi dari sang seniman.

Ya! Bocah besar itu menangis lirih dalam dekapan sang wanita dewasanya.

HONESTY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang