senyuman pecundang .4

30 13 3
                                    

Dan ... Disinilah aku, di depan rumah sendiri seperti orang asing. Berdiri ditemani 3 orang cowok yang menawariku bantuan, seperti teman yang sudah lama kenal.

"Kayaknya kalian pulang aja–"

Prang!

Jantungku bergetar hebat saat suara yang kerap kudengar itu menyambut.

"Van, kayaknya lo semua kudu balik deh."
Suaraku bergetar saat mengatakannya, Revan, Roi dan Dodi hanya menatap datar, pandangan mereka tertuju ke belakang ku tepatnya kearah pintu rumahku.

Aku menelan ludah susah, merasa bersalah pada teman baru yang sudah berbaik hati mengantarkan ku.

Dodi menghela nafas. "Lo baik-baik aja kan?"

"Kita bakal balik, kalau lo ada masalah, cerita aja," saut Roi diangguk Revan. Aku mengangguk, setidaknya mulai hari ini ada manusia yang benar-benar bisa kusebut teman. Ada manusia-manusia yang bisa kusebut sahabat.







Benarkah?

Hari ini aku sendirian lagi, tak ada Revan, Dodi maupun Roi. Tak ada dalam artian ... Mereka sibuk.

Mungkin salahku karena terlalu berharap lebih.

Aku berjalan menuju perpus yang berada di lantai 3, dari sini aku bisa melihat lapangan yang ada di bawah. Terlihat amat ramai.

Aku Berhenti sejenak, menyipitkan mata minus ku. Mencoba memperjelas, ada apa di bawah sana? Jujur, ramainya tak wajar, tak seperti ramai di hari-hari biasa.

Kalau aku tak salah lihat, di tengah lapangan ada Eki yang tengah mengepalkan kedua tangannya, di depannya ada Dodi yang memegang kamera milik Revan. Selain itu, aku tak tahu dan aku tak bisa mendengar cukup jelas.

Yang jelas, saat Dodi memperlihatkan layar kamera pada Eki lalu entah karena apa, Eki maju perlahan dan mengecup pipi Dodi.

Sontak perlakuan Eki mendapat hadiah riuh dari anak-anak lain.








"Halo pe-cun-dang!"

Aku membelalakkan mataku penuh, lalu berbalik seketika. Mulutku menganga mendapati Disya –salah satu dari 3 orang yang gemar membully ku– Atau bisa kita Panggil dia Miss X.

Disya memandangku lembut lalu menyunggingkan sebuah senyum yang amat manis, memperlihatkan gigi gingsul nya.

"Udah lama ya, kita nggak ketemu." Disya tersenyum ramah padaku. Namun sayang, bagiku senyum ramah itu adalah petaka.

Hanya Disya yang membully ku tanpa kelompok, ia sendirian. Tapi karena dia lah aku jadi bahan bulanan. Wajah cantiknya menipu semua orang.

Aku kembali menelan ludah susah.

"Rea ... ayo main."

Suara manjanya bagaikan alaram bahaya untukku. Disyia menarik lenganku lembut, menuntunku melewati perpustakaan dan menuju rooftop.

Keringat dingin bercucuran, aku hanya pasrah, menanti kesialan apa yang ada di depan.

"Wah, udah sampai nih,"  ucapnya riang. "Kamu merem dong, aku punya surprise buat kamu lho ..."

Tubuhku bergetar hebat, aku sungguh tak berani melawan.

Lalu, pelan-pelan ku tutup kedua mataku seraya berharap, mimpi buruk akan segera berakhir!

"Rea ... siap-siap ya?"

Aku mengangguk kaku, dapat kudengar suara pintu yang terbuka pelan. lalu ...

"Siapa lo?!"  teriak Disya.

"Pergi, gue nggak mau lihat muka busuk lo!"

Aku tak berani membuka mataku, aku terlalu takut, aku terlalu pengecut.

"Lo nggak tahu siapa gue? gue ini Disya, anak dari donatur terbesar—"

Aku mengatupkan mulutku rapat-rapat saat tiba-tiba saja suara Disya yang terpotong. suara teriakan tertahan terdengar lirih, berurutan dan berkali-kali. Lalu, isakan lirih pun menyusul.

Ada apa ini?

"Mau sampai kapan lo merem?"

Deg!

Suara ini? aku kenal suara berat ini, suara yang ada di gudang waktu itu. Aku membuka kelopak mataku yang terlindungi oleh lapisan kaca.

Setelah mataku benar-benar terbuka, kini mulutku ikut terbuka, lebar dan menganga.

"Ed?" tanyaku tak percaya. Ed hanya mematung sambil menatapku datar. Aku melirik ke samping, lalu terperangah Karena Disya sudah berderai air mata.

"Apa yang terjadi?"

Tidak, aku tidak bertanya, hanya sekedar membatin.

Karena Yang kulihat –selain menangis– pakaian Disya juga robek di bagian depan, tiga kancing teratasnya hilang. Lagi-lagi aku tersenyum tipis melihat Disya yang tengah menutupi bagian dadanya sambil berjongkok.

Rasa takutku hilang seketika, berganti rasa geli yang menggelitik perut. Ingin sekali aku mengulas senyum lebar, namun Ed terus memandangku lekat.

Ia mengambil napas dalam-dalam, memegang pundak ku lalu menatap tepat pada mandi coklat ku.

"Ada yang perlu kita bicarakan."

HONESTY (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang