Hujan deras mengguyur, membasahi sebuah gedung tua di pojokan kota yang jauh dari hingar-bingar kehidupan, jauh dari keramaian metropolitan.
Langitnya gelap dan gemercik hujan selalu jadi momen bagi sebagian orang, terutama dia, pemuda yang tengah memaku matanya pada buku usang penuh coretan.
"Gail!" panggil seseorang dari belakang, pemuda bernama Gail itu sesegera mungkin berbalik. Tapi, hanya kesunyian yang ia dapatkan. Tak ada siapapun di belakangnya.
Sedikitnya ia percaya hantu. Jadi, nyalinya sedikit tersentil oleh sebuah suara yang lagi-lagi memanggil namanya, namun lebih lengkap.
"Abigail Sunfall!"
Dan disaat Abigail berbalik ke depan ...
"DOR!"
Sebuah tangan terulur, telunjuk dan jari tengah berada tepat di dahi Gail, memvisualkan sebuah pistol.
"Apa maksudmu?" tanya Gail sengit, ia paling benci dikagetkan, apalagi oleh orang di depannya.
"Tenanglah Gail, jariku tak akan membunuhmu, setidaknya untuk saat ini belum," bisik Pemuda itu di telinga Gail, ia lalu ia menyerobot buku di meja dan membuat Gail berteriak.
"Ein!" Gail menatapnya nyalang.
"Apa? aku hanya mau baca," kilah Ein, ia kelihatannya tak peduli sama sekali.
"Hm, banyak plot hole dan ... Gaje!" Ein membuka lembar demi lembar, membaca tiap kalimat dan memeriksa titik dan koma.
"Ah! Di sini ..." Ein menunjuk sebuah kalimat dalam buku. "Kenapa kau harus mengambil sudut pandang sebuah pensil? juga, kenapa konflik si T ini tak jelas?" Ein bertanya sambil terus membaca.
"Dan ini, kau sebut Rea sebagai seorang pecundang harga hanya gara-gara drama dari para wanita saja?" Ein tertawa renyah, tawa yang membuat hati Gail berdesir, adrenalinnya terpacu.
"Dan untuk dua judul terakhir, Kau pikir 3 ekor jago ini sedang berdiskusi? Kawan ... Itu bukan sebuah konteks diskusi yang benar dan seharusnya tak masuk kategori diskusi karena dari definisinya saja itu tak masuk," terang Ein panjang.
"Terlebih di sini, Doro seolah punya 'kemampuan' dari cara kau menuliskan kata sakti."
Gail mengepalkan tanganya erat.
"Hujan? Kau mengambil dari sudut pandang sebuah hujan? ia terus bercerita dan dari penempatan ku, ia tak pernah menetes jatuh. Padahal di awal ia sudah bilang 'aku adalah hujan tetes yang jatuh' dan di sini ketidak konsistenan mu semakin kentara–"
"Ein!" Gail berusaha menekan amarahnya. Ia lalu merebut paksa buku di tangan Ein, beruntung buku itu tak sobek.
"Apa? Kau tak menerima kritik dan saran?" tanya Ein pura-pura polos. "Aku belum selesai, dan lagi, judul terakhir ... Kenapa kau tak menyelesaikan ceritamu?"
"Persetan dengan semua kritik mu!"
Ein menghela napas gusar.
"Gail, sebaiknya kau ubah sikap tempramen itu sebelum sesuatu yang buruk menggigitmu."
"Dan Kau pikir aku peduli?" tantang Gail dengan mata menajam.
Ein duduk di meja di depan Gail, ia lalu menatap ke luar jendela.
"Hujan," lirih Ein. Lalu sebuah petir menggelegar diawali sebuah kilat di langit dan diikuti cambuk beranting yang mengudara dan sebuah suara mirip shotgun.
"Lihat, seperti dalam kisah mu kawan. Alam juga ikut marah, alam juga ikut menangis dan alam akan menghukum," ujar Ein dalam.
"Tu-tunggu. Sepertinya aku menjadi se keren Doro," sambungnya sambil menarik kedua sudut bibirnya.
"Tapi aku akan melompat di bagian cacat dan tuanya," sambungnya lagi.
"Dan kalau kau berkenan, aku akan menebak apa alasan kau menggantungkan cerita terakhir. Kenapa cerita itu tak pernah terselesaikan."
Gail membuang muka acuh. Ia sama sekali tak mengindahkan apapun perkataan Ein. Yang ada dipikirannya sekarang hanyalah sosok seorang gadis yang mungkin kini sedang meringkuk di bawah selimut tebal dalam keadaan kedinginan.

KAMU SEDANG MEMBACA
HONESTY (End)
Cerita Pendekjujur ... aku sebagian darimu yang selalu menghindari kata itu. jujur ... aku sebagian dari mereka yang dengan mudah meminta orang lain melakukannya. jujur ... aku sebagian dari kalian yang dengan amat sangat mengharapkannyya. dari ku, untukmu ... H...